PERTARUNGAN IDENTITAS POLITIK PASCA PILPRES 2019
PERTARUNGAN IDENTITAS POLITIK PASCA PILPRES 2019
Pilpres 2019 ternyata menyisakan problem terutama yang terkait dengan politik identitas. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa di dalam pilpres ini ternyata sarat dengan politik identitas, di mana memilih pasangan presiden dan wakil presiden itu didasarkan atas pilihan identitas keagamaan. Konon yang berkembang di media sosial, bahwa memilih pasangan cawapres 02 itu identic dengan memilih untuk kepentingan umat Islam dan sebaliknya memilih cawapres 01 itu identic dengan memilih bukan untuk kepentingan umat Islam.
Jika menggunakan hasil pilpres tahun 2019, dapat diketahui bahwa ada sebanyak 44,95 persen memilih paslon 02 dan sebanyak 55,05 yang memilih paslon 01. Dengan demikian, maka dapat digambarkan bahwa yang memilih paslon dengan kepentingan agama Islam adalah sebanyak 44,95 persen, dan yang selain itu sebanyak 55,05 persen. Memang banyak di dalam pemberitaan melalui media sosial bahwa paslon 01 dikaitkan dengan kebijakan untuk memberikan akses kepada kelompok Tionghoa dan juga isu komunis dan seterusnya. Sedangkan dari sisi paslon 02 dikaitkan dengan gerakan-gerakan radikal yang berada di belakang paslon ini.
Saya melihat bahwa tegangan ini tidak akan segera berakhir. Menyimak pelaksanaan pilpres 2019 ternyata media sosial sungguh memiliki pengaruh luar biasa. Kekuatan pengaruh tersebut dapat dilihat dari realitas berbagai tindakan politik yang didasari oleh keyakinan keagamaan. Gaung pertarungan politik identitas tersebut sesungguhnya sudah terasa semenjak pilkada DKI, yang mempertemukan Paslon Ahok, Anies dan AHY. Dan kemudian babak kedua, antara paslon Ahok versus Anies. Kemenangan Pasangan Anies untuk melenggang menjadi Gubernur DKI tersebut bereuforia dalam pilpres 2019.
Sebagaimana diketahui bahwa pasangan Prabowo dan Sandi juga didukung oleh mereka yang selama ini mendukung Anies dari sisi dukungan partai politik dan juga sebagian tokoh-tokoh Islam yang berafiliasi kepada paslon 02. Di antara mereka adalah orang-orang yang selama ini sangat kritis terhadap kebijakan Pak Jokowi dan di dalam banyak hal selalu menyuarakan pilihan berdasarkan keyakinan agama. Di dalam orasi-orasi yang disampaikan atau pemberitaan melalui media sosial yang terus didengungkan ialah tentang pilihan politik berbasis agama. Masih bisa diingat doa politik yang dilantunkan oleh pendukung kelompok 02 yang mengindikasikan politik berbasis identitas agama tersebut.
Media sosial memang bisa menjadi sarana efektif dalam berkampanye. Dilihat dari aspek ini, maka politik identitas tersebut akan dapat menjadi massive sebagai bagian dari begitu melubernya informasi yang terus bergelora. Teori-teori yang dikembangkan di masa lalu, misalnya oleh Wilbur Schramm dengan proposisi “medium it self is the massege” saya kira masih relevan untuk melihat betapa dahsyatnya pengaruh media di dalam pilpres 2019. Media sosial menjadi sarana ampuh untuk menggerakkan orang di dalam melakukan tindakan.
Dalam kasus pembakaran Kantor Polsek di Madura, ternyata pemicunya ialah pemberitaan di media sosial. Demikian pula pembakaran terhadap Vihara di Sumatera Utara beberapa waktu yang lalu juga dipicu oleh media sosial. Dan saya kira ke depan pengaruh media sosial akan semakin kuat seirama dengan semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang bisa mengakses media sosial. Kepemilikan HP, yang mencapai angka 146 persen dari penduduk Indonesia menjadi kata kunci betapa ke depan kita akan berhadapan dengan cyber war yang dahsyat.
Bagaimana kita menghadapi tahun-tahun ke depan dengan semakin menguatnya politik identitas dimaksud. Saya kira yang diperlukan ialah agar kita terus mengembangkan gerakan Islam wasathiyah atau moderasi beragama. Ada beberapa hal yang diperlukan untuk dilakukan: Pertama, melakukan pemetaan secara detail tentang wilayah-wilayah yang sementara ini sudah menjadi “home base” bagi kalangan Islam radikalis. Saya kira organisasi-organisasi Islam mainstream belum memiliki data akurat tentang wilayah-wilayah yang sudah “dikuasai” oleh Islam radikalis ini. Padahal, tanpa memiliki data yang akurat, maka dipastikan bahwa program gerakan moderasi beragama tidak akan tepat sasaran.
Kedua, diketahui bahwa kaum radikalis itu memiliki kekuatan ideology yang sangat mendasar. Mereka berkeinginan agar ideology yang diyakininya dapat diterapkan secara menyeluruh. Saya berkaca pada beberapa orang yang sudah terpapar ideology HTI ternyata bahwa mereka lebih suka melepas pekerjaannya dibandingkan dengan melepas keyakinan tentang ideologinya tersebut. Rejeki bisa dicari di mana saja, akan tetapi ideology itu tidak tergantikan. Oleh karena itu yang bisa dilakukan ialah bagaimana agar mengeliminasi terhadap pengaruh ideology ini dari wilayah-wilayah yang sudah menjadi “kawasan” binaannya. Masyarakat kita ini memiliki kelenturan untuk berubah tetapi juga memiliki ketahanan untuk bertahan menghadapi pengaruh eksternal.
Ketiga, tetap memelihara wilayah-wilayah yang selama ini belum terkena pengaruh virus radikalisme. Saya yakin masyarakat Indonesia hakikatnya ialah masyarakat yang di dalam beragamanya lebih cenderung dan memilih Islam yang moderat. Corak keberagamaan seperti ini yang sesungguhnya menjadi trend di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi kelompok yang sadar akan bahaya radikalisme bagi NKRI untuk terus bertahan dan mengembangkan Islam moderat di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Kita belum terlambat untuk melakukan gerakan ini, dan saya kira kita juga punya kekuatan untuk mengeliminasi pengaruh radikalisme di tengah kehidupan kita. Sekarang harus dimulai.
Wallahu a’lam bi al shawab.