• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERKUAT TEKNOLOGI INFORMASI DALAM PENDIDIKAN TINGGI

PERKUAT TEKNOLOGI INFORMASI DALAM PENDIDIKAN TINGGI

Saya diundang oleh Dr. Ah. Ali Arifin, Drs, MEI., Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Sunan Ampel Surabaya dalam acara ramah tamah dan halal bil halal untuk jajaran pimpinan, dosen dan tenaga kependidikan, Selasa, 18 Juni 2019. Acara ini digelar di ruang pertemuan FEBI dan dihadiri oleh para pimpinan, dosen dan staf tenaga kependidikan. Hadir pada acara ini ialah Dr. Ah. Ali Arifin, Drs, MEI., Drs. Nurkholis, MEd. Admin., PhD, Prof. Dr. Faishal Haq, dan sejumlah dosen lainnya.

Saya merasa berbahagia sebab di dalam acara ini hadir Prof. Faishal Haq, beliau adalah kyai yang sangat mumpuni di dalam ilmu keislaman dan berkemampuan sangat baik dalam ceramah-ceramah agama. Tugas saya tentu adalah memberikan motivasi bagi para dosen –khususnya dosen muda—untuk semakin kreatif di dalam program pembelajaran, sebab tantangan kita tentu semakin besar menghadapi era revolusi industry 4.0, dan era disruptif sekarang ini.

Ada tiga hal yang saya sampaikan di dalam forum ini, yaitu: pertama, bahwa ada beberapa tantangan terkait dengan pendidikan tinggi ialah matinya kepakaran. Sebuah buku yang ditulis oleh Tom Nichols, “The Death of Expertise” adalah wake up call untuk kita semua bahwa dunia kita sedang menghadapi suatu kenyataan bahwa kepakaran yang dahulu menjadi kekuatan kita akan dihabisi oleh teknologi informasi (TI).

Sambil berseloroh saya sampaikan kepada Prof. Faishal Haq, bahwa kepakaran beliau di bidang ilmu agama sekarang sudah direbut oleh Google. Kyai Google ini luar biasa sebab bisa memberikan jawaban yang sangat cepat terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang agama. Semua ada di situ, sehingga kalau orang bertanya tentang agama tidak perlu datang ke kyai. Sekarang kyai itu ada di tangan kita melalui teknologi android. Orang bertanya tentang fiqh, hukum Islam, perbandingan madzab dan soal-soal pelik lainnya cukup dengan Google Search. Selesai dan terjawab.

Anak-anak SMA atau Madrasah Aliyah tidak perlu bertanya kepada gurunya, tetapi cukup ke Ruangguru untuk menanyakan jawaban atas persoalan pembelajaran yang dihadapinya. Akhir-akhir ini banyak sekali aplikasi yang menyediakan ruang bagi para siswa untuk memperoleh bimbingan belajar melalui aplikasi. Rasanya semuanya selesai melalui HP Android.

Kedua, sebuah pernyataan dari Prof. Clayton Christensen, Guru Besar dari School of Business Harvard University, bahwa dalam 10-15 tahun ke depan akan terjadi penutupan kurang lebih 50 persen college atau perguruan tinggi di Amerika Serikat. Dari sebanyak 4000 perguruan tinggi, maka 2000 di antaranya akan tutup karena terdesak oleh penerapan TI. Bukankah ijazah sudah tidak lagi dijadikan sebagai ukuran kemampuan seseorang. Bahkan Google beberapa bulan yang lalu membuat pengumuman akan merekrut tenaga kerja tanpa ijazah. Sebuah tamparan bagi dunia pendidikan yang luar biasa. Bukan maksud Google untuk mereduksi terhadap kapasitas alumni pendidikan akan tetapi memang dia butuh seseorang yang ahli dan memiliki kapasitas praksis atau aplikatif untuk memenuhi kebutuhan SDM Google.

Jadi harus benar-benar diperhitungkan bagaimana kita mengelola pendidikan tinggi ini dalam kerangka agar prediksi Prof. Christensen tersebut tidak menjadi bagian dari pengalaman di Indonesia. Kita memang harus akui bahwa institusi pendidikan itu relative stabil dalam menghadapi goncangan perubahan zaman, akan tetapi dewasa ini saya kira kita tidak boleh terlena dengan stabilitas yang kita rasakan.

Ketiga, kita menghadapi cara belajar anak-anak milenial. Ada beberapa cara belajar anak milenial yaitu: belajar dari pengalaman, eksplorer, petualang, instan dan praktis, kecenderungan tarhadap IT, kolaboratif, dan multitasking. Anak-anak milenial itu senang belajar mengenai pengalaman dan bukan pengetahuan. Pengetahuan bisa dibaca dari media TI. Tetapi pengalaman hanya bisa didapatkan dari orang yang mengalami apa yang diceritakan.

Bagaimana seorang dosen bercerita tentang Imam Syafi’i sebagai pemuka madzab di dalam Islam padahal dosennya tersebut belum pernah datang ke makamnya. Dosen yang pernah datang ke makam beliau, maka akan bisa bercerita tentang apa yang dilihatnya dan dialaminya dalam perjalanan ke pemuka-pemuka madzab dimaksud. Orang mengajar bahasa Inggris tetapi belum pernah datang ke negeri asal bahasa Inggris, atau dosen mengajar bahasa Arab dan belum pernah berkunjung ke negeri asal bahasa Arab.

Anak-anak muda itu suka temuan baru. Makanya dosen harus bercerita tentang temuan baru berbasis riset yang dilakukannya. Anak-anak muda itu suka temuan baru berbasis pada petualangannya di media TI. Dosen harus mengimbanginya dengan kemampuan yang sama dengan anak-anak muda itu, meskipun dalam kapastitas kurang lebih. Jangan menjadi dosen yang sama sekali tidak menguasai teknologi informasi yang paling dasar. Era sekarang menuntut dosen untuk terus menerus menemukan sesuatu baik teori, konsep atau hal-hal praksis bagi mahasiswanya.

Anak muda juga menyukai kolaborasi atau kerja sama. Program pendidikan harus disetting dengan cara pendidikan base on collaboration. Sajikan masalah yang kemudian dicari jawabannya berdasar atas kemampuan kolaborasi. Sudah saatnya program pendidikan diarahkan untuk membangun kemampuan kolaboratif dimaksud. Jack Ma bukanlah ahli TI sebab dia adalah guru Bahasa Inggris, akan tetapi bisa mengembangkan alibaba.com karena kemampuannya untuk berkolaborasi dengan ahli di bidang IT, ekonomi dan sosial lainnya.

Oleh karena itu, mari kita isi institusi pendidikan kita ini dengan program pembelajaran berbasis IT, sebab hanya dengan cara seperti ini, maka kita akan survive di era disruptif sekarang ini. FEBI harus menjadi agen bagi penerapan TI dalam proses pendidikan sekarang dan masa yang akan datang.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..