JAGA ANAK KITA DARI GERAKAN RADIKAL
JAGA ANAK KITA DARI GERAKAN RADIKAL
Pada hari Ahad, 16 Juni 2019, saya diundang oleh kawan-kawan alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya untuk memberikan taushiyah dalam rangka halal bil halal. Hadir di dalam acara itu, Pak Abdurahman Chudhori, Drs., MM, Pak Sulhawi Rubba, Drs., MSi dan kawan-kawan alumni IAIN Sunan Ampel, tahun 1998. Dan Alhamdulillah saya masih bisa mengenal wajahnya satu persatu, meskipun dari sisi nama saya terkadang lupa. Jadi andaikan bertemu di ruang public lainnya tentu saya mash mengenal bahwa mereka adalah mahasiswa-mahasiswa saya di masa lalu.
Pada saat yang penting ini, saya menyampaikan hal mendasar yang menjadi tantangan kita sebagai umat Islam Indonesia, yaitu tantangan radikalisme dan ekstrimisme dalam beragama. Sesungguhnya jika kita bicara mengenai radikalisme tentu sudah sangat banyak yang membahasnya atau menulisnya. Tema ini sangat banyak dikaji dan dibicarakan terutama di era semakin meningkatnya gerakan radikalisme di tengah kehidupan masyarakat kita.
Saya memang tidak pernah bosan untuk berbicara tentang dampak radikalisme bagi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Saya merasakan denyut radikalisme yang semakin menguat di era akhir-akhir ini. Gerakan radikalisme dan ekstrimisme tersebut semakin menguat di berbagai level masyarakat. Makanya, seharusnya tidak hanya counter wacana yang dilakukan, akan tetapi harus counter action. Jika mereka telah menyasar berbagai segmen masyarakat kita, maka kita juga harus membentengi masyarakat kita dengan kekuatan penuh.
Di dalam forum halal bi halal ini, maka saya sampaikan 3 (tiga) hal, yaitu: pertama, ucapan selamat berhari raya, “ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aidin wal faizin wal maqbulin kullu ‘amin wa antum bikhair”. Sudah saatnya di hari raya Eid al Fithri ini, kita semua saling memaafkan atas semua kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Perilaku yang tidak sesuai dengan syariat Islam agar bisa dimaafkan.
Sebagaimana para Ustadz menyampaikan bahwa dosa kita kepada Allah akan bisa diampuni langsung oleh Allah, akan tetapi kesalahan kita kepada orang lain, mestilah dimaafkan oleh orang lain dulu, dan baru Allah memaafkannya. Inilah beratnya kesalahan terhadap sesama manusia. Ada haqqul ‘adam yang harus diselesaikan di antara manusia dalam kesalahan atau kekhilafan yang dilakukannya.
Kedua, saya merasa berbahagia berada di tengah-tengah para alumni IAIN Sunan Ampel (kini UIN Sunan Ampel), sebab ternyata bahwa para mahasiswa saya di masa lalu itu ternyata sudah menjadi Orang. Orang dengan huruf O besar. Hal ini menandai sebagai kategori tentang ketercapaian visi dan misi yang dahulu pernah dicitakannya. Ada di antara mereka ini yang sudah menjadi dosen, menjadi doctor, menjadi pengusaha, menjadi politisi, menjadi kyai, menjadi guru, menjadi pendamping masyarakat, dan menjadi apa saja yang bermanfaat bagi dirinya, keluarganya dan masyarakatnya.
Semua ini didapatkan tidak hanya berbekal kemampuan hard skill akan tetapi juga soft skill. Jika hard skill adalah kapasitas yang diperoleh melalui bangku kuliah, dengan perolehan ijazah, maka soft skill diperoleh melalui persinggungannya dengan dunia nyata di dalam kehidupan dan pengalaman yang terukur. Tidak pernah terbayangkan di masa lalu mahasiswa IAIN yang hard skill-nya di bidang ilmu keislaman ternyata menjadi pengusaha ayam sukses. Ada yang menjadi pengusaha konstruksi, ada yang bermain di dunia politik dengan menjadi bupati dan bahkan gubernur atau menteri. Semua ini karena kemampuan soft skill yang dimilikinya.
Ketiga, saya merasa berbahagia sebab di acara ini dinyanyikan “Lagu Indonesia Raya”. Lagu kebanggaan kita semua sebagai bangsa. Dan bahkan diteriakkan “NKRI Harga Mati”. Alangkah bahagianya melihat mahasiswa saya di masa lalu itu tetap berada di dalam kesetiaan terhadap Pancasila dan NKRI. Kebahagiaan seorang dosen atau guru ialah melihat keberhasilan mahasiswa itu dan mereka semua tetap berada di dalam kesetiaan terhadap nusa, bangsa dan negaranya.
Kesetiaan kepada negara yang bersanding dan bernafas dengan keislaman inilah yang membuat kita semua merasakan bahwa Indonesia akan terus lestari dengan falsafah dan dasar negara, landasan yuridis dan bentuk kenegaraan yang tidak akan diubah oleh masa. Negara ini harus lestari sebagaimana yang diwariskan oleh leluhur kita. Tidak boleh berubah. Tidak lapuk karena hujan dan tidak lekang karena panas. Sekali merdeka tetap merdeka, sekali Pancasila pantang berubah, dan sekali NKRI tetap selamanya seperti itu.
Oleh karena itu, marilah kita jaga anak kita. jangan sampai mereka terjerembab ke dalam ideology lain yang tidak jelas juntrungannya. Indonesia kita yang besar ini jangan sampai dijadikan eksperimen dengan penerapan ideology lain yang akan mengoyak kesatuan dan persatuan bangsa.
Caranya ialah dengan selalu check and recheck terhadap aktivitas anak-anak kita yang berada di luar jangkauan kita karena sekolah atau kuliah. Amati mereka di dalam kegiatan keagamaannya. Check mereka dalam aktivitas organisasinya. Check siapa saja yang menjadi jejaringnya. Di era yang seperti ini, perhatian orang tua harus diperkuat agar anak kita tidak jatuh ke dalam pelukan ideology lain yang menyesatkan. Sekali mereka terkena racun ideology yang merusaknya, maka rugilah kita semua. Tidak hanya keluarga yang merugi tetapi juga masyarakat dan bangsa secara keseluruhan.
Sebagai orang tua sudah selayaknya kita membentengi anak-anak kita dan keluarga kita dari pengaruh negative yang semakin nyata di hadapan kita. dan jangan pernah berpikir bahwa anak kita dipastikan selamat dari dampak gerakan radikal dan ekstrim, terkecuali kita menyaksikannya sendiri tentang apa yang dilakukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.