PUASA; MENINGKATKAN KUALITAS KEIMANAN (20)
PUASA; MENINGKATKAN KUALITAS KEIMANAN (20)
Oleh: Ning Izmi Nugraheni
Pada bulan Ramadhan yang kini telah memasuki hari ke-19, Dr. Chabib Musthafa, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Sunan Ampel Surabaya yang memberikan taushiyah keagamaan pada jamaah tarawih Mushalla Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency, Ketintang Surabaya. Tentu dengan taushiyah yang disampaikan, saya sangat bersyukur karena untuk ke sekian kalinya saudara Chabib Musthafa bisa memberikan ceramah seputar agama di bulan yang penuh berkah.
Pada kesempatan ini, Jika sebelumnya Pak Chabib memulai ceramahnya dengan bentuk ilustrasi tapi kini ada yang berbeda. Pak Chabib memulai ceramahnya dengan menceritakan sebuah kisah yang cukup menginspirasi, yaitu kisah antara sang penggembala domba dan singa. Tak hanya itu, terdapat makna tersirat dan hikmah yang luar biasa di balik kisah tersebut. Tentu akan menjadi lebih baik jika kita memetik hikmah dalam kisah tersebut sebagai sebuah pembelajaran demi sebuah perubahan ke arah yang lebih baik lagi. Pak Chabib mengutip Karya Kyai Asrori Magelang (Kyai asli Orang Jawa) yang berjudul Hikayatul Badiah yang juga merupakan kutipan dari karya Imam Nawawi yang berjudul Asy-Syifa.
Kisah tersebut menggambarkan sebuah cerita bahwa terdapat salah seorang penggembala domba. Suatu hari, tiba-tiba terdapat seekor singa yang datang menghampiri domba-domba milik sang penggembala domba. Lantas, seekor singa itu ingin memakan seekor dombanya. Namun, sang penggembala tak menginginkan dan bahkan menghalangi singa itu untuk memakan seekor domba miliknya.
Pak Chabib melanjutkan kisah tersebut bahwa seketika pada saat itu juga terjadi sebuah perbincangan yang tidak biasa antara sang penggembala dan seekor singa itu. Sebab mana mungkin ada seorang manusia dapat berbicara dengan hewan. Singa berkata ‘Maa Haqquka wa Maa Rizquka’ yang artinya dalam bahasa indonesia ‘Apa hak kamu dan apa yang menjadi rezeki kamu’. Singa melanjutkan perbincangannya dan ia berkata, sebab terdapat makhluk yang jauh lebih utama dan mulia disana. Singa itu kembali bertanya ‘Maukah aku tunjukkan padamu makhluk itu?’. Kemudian, singa itu pun memberitahu sang penggembala, jika kamu menginginkan makhluk itu. Kau dapat temui makhluk tersebut di balik pegunungan.
Namun, sang penggembala masih belum juga memutuskan keinginan untuk pergi ke pegunungan yang disampaikan oleh singa. Dalam benak Sang penggembala masih saja terfikirkan dan berat hati untuk meninggalkan hewan ternaknya sebab ia khawatir dengan keadaan domba-domba miliknya jika ia harus pergi ke pegunungan. Akhirnya, Sang penggembala pun bertanya kepada singa ‘Lalu siapa yang akan menjaga domba-domba milikku jika aku pergi ke pegunungan itu’. Singa pun menjawab seketika itu juga ‘Berangkatlah, Aku yang akan menjaga seluruh domba milikmu’. Kemudian, pada akhirnya barulah ia memutuskan diri dan rela hati meninggalkan dombanya untuk berangkat ke pegunungan.
Seketika, tibanya di pegunungan dan dilihatnya memang terdapat makhluk dibalik pegunungan tersebut. Ternyata makhluk yang dimaksud oleh singa yakni sosok yang menjadi suri tauladan umat Islam baik dari segi perkataan dan perbuataan yang melekat padanya sifat-sifat yang luar biasa, yaitu Siddiq (Jujur), Amanah (Bertanggung Jawab), Tabligh (Menyampaikan), Fathonah (Cerdas). Makhluk itu bernama Nabi Muhammad SAW. Pada saat itu juga, sang penggembala itu akhirnya angkat ba’iat lalu masuk Islam.
Sang penggembala itu bernama Salama Al-‘Aqwa dan bapaknya Sinan ibn Abdullah yang telah meriwayatkan 77 hadist. Salama meninggal 74 Hijriah tepat saat usianya 80 tahun.
Maka pembelajaran dan hikmah yang dapat dipetik dari kisah Sang Penggembala dan Singa, yaitu Al-Iman wa Al-Amanah yang artinya Iman dan Tanggung Jawab.
Dalam At-Takrifat menurut Al-Jurjani (wafat pada 816 H), iman secara bahasa adalah membenarkan dengan hati. Sementara menurut syariat, iman adalah meyakini dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan.
Definisi ini sejalan dengan dikemukakan Ibnu Hazm AL-Andalusi Al-Qurthubi (wafat pada 456 H) dalam Al-Fathlu fil Milal. Sedang, Ibnu Hazm menyampaikan keyakinan hati dan pengakuan lisan itu harus berlangsung secara bersamaan. Menurut para ulama lain, amal perbuatan adalah konsekuensi dari iman itu sendiri.
Sudah tentu dengan kisah sang penggembala yaitu Salama Al-‘Aqwa yang memiliki amanah atau tanggung jawab yang besar pada hewan ternaknya mencerminkan keyakinan hati yang teguh dan kuat jika hewan ternak yang telah dianugerahkan kepadanya perlu dijaga dan dirawat dengan sebaik mungkin. Tergambarkan saat Salama menghalang-halangi singa memakan seekor domba miliknya dan tak segera memutuskan untuk meninggalkan hewan ternaknya itu.
Bahkan, tak hanya itu sebab keyakinan hati, kesungguhan dalam megawal dan menjaga dombanya. Ia mendapat sesuatu yang jauh lebih besar yang tak terbayangkan. Ia dapat bertemu dengan Rasulullah dan yang akhirnya membuatnya masuk Islam.
Demikian sama halnya dengan shalat tarawih pada bulan Ramadhan bulan penuh berkah ini. Bulan istimewa sebab hanya sekali hadir dalam setahun. Kita semestinya berupaya untuk lebih mendekatkan diri pada Allah dan menjaga hubungan serta komunikasi kita dengan Allah (hablun mina Allah). Dengan itu akan dapat meningkatkan kualitas keimanan kita. Bahkan, tak hanya itu sebab dengan kesungguhan kita dalam menjaga dan mengerjakan shalat tarawih walaupun bersifat sunnah insha Allah kita mendapatkan hadiah yang jauh lebih besar. Allah melimpahkan kepada kita pahala dan menghapus dosa-dosa yang telah kita lakukan di masa lampau. Maka, kenapa terdapat istilah kata ‘Kembali Suci’ jika telah memasuki Hari Raya Idul Fitri.
Sebagaimana hadist Nabi diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim yang berbunyi ‘Man qama ramadhona imaanan wa ihtisaban iqfiro lahu ma taqoddama min dzanbihi’ yang artinya ‘Barang siapa ibadah (tarawih) di Bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau”.
Demikian disampaikan oleh Pak Chabib pada ceramhnya, siapa-siapa menginginkan iman yang baik maka perlu menjaga amanah dengan baik pula sebab amanah atau tanggung jawab merupakan bentuk implementasi dari kualitas keimanan seseorang. Maka, semakin menjaga amanah atau tanggung jawab, maka semakin meningkat pula kualitas keimanan seseorang.
Kita ketahui secara seksama sebagaimana di atas bahwa Amanah atau tanggung jawab juga merupakan salah satu sifat yang dimiliki Nabi Muhammad SAW, tentu dengan harapan sebagai umat Islam dapat mencontoh sifat amanah yang dimiliki oleh Rasulullah dengan menerapkan nilai-nilai tanggung jawab pada setiap apapun yang kita hadapi dan kerjakan. Serta, kapan pun dan dimana pun kita berada.
Demi meningkatkan kualitas keimanan kita sudah seharusnya mulai dari hari ini kita menanamkan setiap saat nilai-nilai tanggung jawab pada setiap apapun yang telah Allah berikan kepada kita saat ini, baik itu berupa pekerjaan, tugas, keluarga, teman, atau pun organisasi dengan penuh kesungguhan dalam mengerjakan sebab hal itu menjadi penanda jika iman kita kuat dan kita insha Allah mendapatkan sesuatu dari Allah yang jauh lebih besar berkat tangggung jawab, keimanan, serta kesungguhan serta ikhlas dalam mengerjakan suatu hal apapun.
wallahu a’lam bi al shawab