• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA; IMAN SEBAGAI FONDASI ISLAM (19)

PUASA; IMAN SEBAGAI FONDASI ISLAM (19)

Pada malam 19 Bulan Ramadlan, Alhamdulillah yang hadir sebagai penceramah tarawih ialah Dr. Abdul Halim, Drs., MAg., Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi pada UIN Sunan Ampel Surabaya. Beliau tidak hanya seorang birokrat kampus tetapi juga telah malang melintang dalam dunia dakwah dalam waktu yang cukup panjang.

Beliau menyampaikan tema yang sangat relevan dengan tradisi menjalankan puasa di kalangan umat Islam, yaitu bagaimana kita semua harus menjadikan Iman sebagai landasan di dalam pelaksanaan ibadah kita kepada Allah swt. Tanpa iman yang benar maka ibadah kita akan menjadi sia-sia dan tidak ada maknanya. Pak Halim –demikian saya biasa memanggilnya—menyampaikan awal surat Al Baqarah, yang bunyinya ialah: Alif Lam Mim, dzalikal kitabu la raiba fihi hudan lil muttaqin. Allladzina yu’minuna bil ghaibi wa yuqimunas shalata wa mimma razaqnahum yunfiqun. Walladzina yu’mina bima unzila ilaika wa ma unzila min qablika wabil akhiratihum yuqinun”. Artinya: “Alif Lam Mim, inilah kitab (Al Qur’an) yang tidak diragukan kebenarannya, yang di dalamnya menjadi petunjuk bagi orang mu’min. ialah orang-orang yang beriman kepada yang ghaib dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizkinya. Dan orang-orang yang mempercayai apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan apa yang diturunkan sebelum kamu (Muhammad) dan kepada kehidupan akherat mereka mempercayainya”.

Ayat ini menjelaskan bahwa ada beberapa indicator tentang keimanan dan keislaman seseorang. Iman itu terkait dengan hal-hal yang gaib dan kita harus mempercayainya. Misalnya iman kepada Allah, maka wajib hukumnya kita beriman kepada-Nya tetapi tidak boleh kita berpikir tentang bagaimana wujud atau dzat Tuhan itu. Allah itu Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak ada sekutu baginya. Dan kita wajib meyakini keberadaannya. Lalu, kita wajib percaya kepada Malaikat. Makhluk yang gaib juga. Manusia tidak bisa mengetahui bagaimana bentuknya. Malaikat ini memiliki tugas-tugas yeng berbeda-beda sesuai dengan penugasan Allah. Malaikat itu tidak lelaki dan tidak perempuan, tetapi bukan banci. Tidak berupa fisik, tetapi wujud. Dan umat Islam wajib mempercayainya. Kemudian mempercayai kitab suci. Kitab suci yang kita ketahui sekarang itu mushaf al Qur’an. Kitab suci yang sudah ditulis berdasarkan wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad saw dengan berbagai cara. Ada yang lewat Malaikat Jibril dan ada yang langsung kepada Nabi Muhammad saw. Kitab Qur’an yang asli itu berada di Lauhul Mahfudz dan kemudian diturunkan ke langit dunia dan baru kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Jadi Qur’an yang azali itu sesuatu yang gaib juga. Lalu percaya kepada Nabi-Nabi Allah. Inilah orang-orang terpilih yang dijadikan sebagai utusan Allah. Mereka adalah orang yang ma’shum atau tidak berdosa. Hanya iman kepada Rasul yang berupa fisikal sebab semua rasul ialah manusia yang terpilih. Kemudian iman kepada Hari akhir atau qiyamat, hal ini juga kegaiban. Qiyamat itu pasti datang tetapi tidak ada satupun yang tahu kapan datangnya. Dan yang terakhir ialah iman kepada takdir Tuhan. Kita juga tidak tahu takdir Tuhan kecuali segala sesuatunya sudah selesai. Kita baru tahu “ini adalah takdir Tuhan”. Jadi iman itu “tasdiqu bil qalbi, wa tashdiqu bil lisan, wa tashdiqu bil af’al”. Sebagai contoh di dalam diri manusia itu terdapat ruh atau nyawa. Tetapi adakah kita yang tahu mengenai ruh itu. Tentu saja tidak ada yang mengetahuinya. Bahkan ketika Rasulullah ditanya tentang Ruh, maka dinyatakannya bahwa ruh adalah urusan Tuhan. “Qul: al ruh min amri Rabbi”.

Baru setelah percaya dengan sungguh-sungguh, kita melakukan ibadah kepada Allah dan seluruh ibadah itu bercorak fisikal. Syahadat itu perbuatan fisik, dibaca dan disaksikan. “Kalau kita menikah. Kita baca syahadat dulu”. Shalat juga ibadah fisik, diketahui orang lain. Kita shalat jamaah tentu diketahui orang lain. Demikian pula zakat juga fisikal. Ada pemberi zakat dan ada penerima zakat. Jadi ibadah itu bercorak fisikal. Puasa juga ada dimensi fisikalnya. Orang harus menahan lapar dan dahaga. Dan haji juga ibadah fisikal sebab ada tawaf, sa’i, melempar jumrah dan sebagainya.

Ada cerita di dalam Al Qur’an, ketika ada seorang Suku Badui, yang menyatakan telah beriman kepada Allah, maka Rasulullah diperintahkan untuk membenarkan imannya kepada Allah tersebut. Cerita itu termaktub di dalam Surat Al Hujurat ayat 14, yang bunyinya ialah “Qalatil A’rabu amanna. Qul lam tu’minu walakin qulu aslamna wa lamma yadkhulil imanu fi qulubikum”. Yang artinya: “orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah; “kamu belum beriman, tapi katakanlah Kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu…”.

Ayat ini memberikan gambaran bahwa untuk bisa beribadah dengan benar harus beriman dengan benar. Jika seseorang telah menyatakan tunduk (berislam) tetapi hatinya belum mengindikasikan akan kepatuhannya tersebut, maka dipastikan bahwa yang bersangkutan belum memiliki iman yang sempurna.

Oleh karena itu, iman yang sempurna itu bisa dilihat dari kesungguhan untuk mengamalkan ajaran agamanya. Dan hanya amalan agama yang didasari oleh keyakinan terhadap iman yang bercorak kegaiban tersebut akan menjadi penanda pengamalan agama yang benar.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..