PUASA: MEMBANGUN UKHUWAH (12)
PUASA: MEMBANGUN UKHUWAH (12)
Yang menjadi penceramah pada kultum di Mushallah Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency, Ketintang pada tanggal 12 Ramadlan 1440 H ialah Ustadz Shonhaji, Lc, Al Hafidz, mahasiswa program Magister Tafsir Hadits pada Program Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Beliau adalah lulusan Universitas Al Azhar di Mesir untuk program Studi Islam, dan sekarang mengajar pada Kelas Bahasa Arab pada mahasiswa UIN Sunan Ampel.
Beliau menyampaikan materi dengan tema: “Perlunya Menjaga Ukhuwah Islamiyah di Era Milenial”. Mengawali ceramahnya, Ustadz Shonhaji menyampaikan bahwa kita sekarang sedang berada di era Milenial, yaitu suatu era di mana teknologi informasi begitu dominan di dalam kehidupan kita. Era ini adalah era di mana media sosial begitu menguasai terhadap kehidupan masyarakat kita. Semua serba HP dan semua serba gadget dan semua serba mudah diakses baik informasi yang baik maupun informasi yang jelek. Semua ada di media HP yang telah menjadi teman karib kita. Media sosiai bisa merekatkan persaudaran dan juga bisa merenggangkan persaudaraan.
Islam sebenarnya sangat menekankan betapa pentingnya persaudaran sesama umat Islam atau ukhuwah Islamiyah. Hadits Nabi sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dinyatakan: “Perumpamaan orang-orang Mukmin kasih mengasihinya, sayang menyayanginya dan santun menyantunnya bagaikan satu tubuh yang jika satu anggotanya menderita sakit maka menderita keseluruhan tubuh”. Atau di dalam hadits lain, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim, bahwa “Almuslimu lil Muslimi kal bunyan yasyuddu ba’dhuhu ba’dhan”, artinya: “seorang muslim dengan muslim lainnya itu seperti bangunan, saling menguatkan satu dengan lainnya”.
Hadits ini memberikan makna bahwa mengumpamakan persaudaraan antar sesama umat Islam dengan analogi tubuh tentu sangat tepat. Sebagaimana diketahui bahwa antara satu anggota tubuh dengan lainnya itu berhubungan secara sistemik. Satu dan lainnya tidak bisa dipisahkan. Misalnya jika tubuh kita gatal di dada, maka seluruh tubuh terasa sakitnya, dan jika sakit panas maka seluruh tubuh juga akan merasakannya. Dan mengumpamakan antara seorang muslim dengan lainnya seperti bangunan juga sangat tepat, sebab memang begitulah seharusnya antara satu orang dengan orang lainnya dalam relasi sosial.
Jadi antara satu orang muslim dengan orang muslim lainnya itu seharusnya seperti pertautan antar anggota tubuh tersebut. Jika ada seseorang yang merasakan kesedihan, maka rasa kesedihan itu juga menjadi perasaannya. Jika ada saudara muslim kita yang menderita, maka pastilah penderitaan itu kita rasakan. Inilah perumpamaan Rasulullah bahwa persaudaran antar sesama muslim itu seperti satu tubuh atau satu bangunan. Pilar, dinding, genteng, bata, semen dan sebagainya bisa merekat kuat karena dipersatukan. Oleh karenanya bangunan yang kuat ialah bangunan yang saling mengikat satu dengan lainnya.
Kita sekarang ini sedang hidup di tengah teknologi informasi dan salah satu turunannya ialah media sosial. Kalau kita lihat perkembangan media sosial sekarang ini sungguh sudah melampaui batas, sebab media sosial dijadikan media untuk saling menyerang dengan informasi satu kepada lainnya. media sosial telah menjadi alat untuk saling menyalahkan, saling mencemooh, saling merendahkan dan bahkan mengkafirkan. Makanya, media sosial lalu menjadi ajang untuk saling berkontestasi untuk membenarkan kelompoknya sendiri.
Media sosial dijadikan media untuk membenarkan perilakunya dan menyalahkan perilaku kelompok lainnya. Media sosial yang seharusnya bisa dijadikan sebagai medium untuk saling berbuat baik malah sebaliknya. Ini adalah dampak dari teknologi informasi yang sekarang sedang semarak di dunia dan juga di Indonesia.
Kita ini seharusnya menggunakan media sosial untuk saling mengingatkan dan saling menasehati sesama umat Islam agar bersatu dan menjaga persaudaraannya. Jangan saling bercerai berai. Islam mengajarkan agar kita ini menjadi saleh spiritual dan juga saleh sosial. Jangan hanya saleh spiritual saja. Sebagaimana contoh, orang Islam yang hafal Al Qur’an dan ibadahnya juga sangat baik, akan tetapi karena berita bohong dan perbedaan lalu saling membunuh. Yang membunuh Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah Ibnu Muljam, seorang dari Golongan Khawarij, yang saleh spiritual tetapi tidak saleh sosial. Dia hanya membenarkan pendapatnya sendiri dan kemudian dengan bekal keyakinan itu, maka dia membunuh orang Islam, Sayyidina Ali Karramahullah wajhah, saudara sepupu dan sekaligus menantu Rasulullah saw.
Yang dibutuhkan ialah orang yang saleh spiritual dan juga saleh sosial. Orang yang tidak diragukan keimanan dan keislamannya secara spiritual tetapi juga memiliki kepedulian yang sangat baik kepada sesama manusia. Islam mengajarkan tentang hablum minallah dan juga hablum minan nas. Artinya, orang harus menyeimbangkan hubungan dalam bentuk ibadah kepada Allah dan juga menjaga hubungan dengan sesama manusia, misalnya jangan saling menyakiti, saling mencemooh, dan bahkan saling mengkafirkan. Dan yang digunakan salah satunya ialah media sosial.
Itulah sebabnya sekarang ini yang berbicara bukan hanya mulut tetapi juga tangan. Dengan kita menggunakan HP, maka yang berbicara bukan mulut tetapi tangan kita semua. Allah menyatakan bahwa yang akan ditanyai besuk di hari kiamat itu bukan hanya mulut tetapi juga tangan dan kaki kita. Tangan akan mewakili mulut untuk berbicara karena melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji melalui media sosial. Allah berfirman di dalam Surat Yasin, ayat 65: “al yauma nakhtimu ‘ala afwahihim watukallimuna aidihim wa tasyhadu arjulihim bi ma kanu yaksibun”, yang artinya: “Pada hari ini, Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”.
Puasa yang kita lakukan sekarang hendaknya menjadi pengingat agar kita terus menjaga lesan dan tangan kita dalam menggunakan media sosial agar kita tidak menyesal di kelak kemudian hari. Dan kita semestinya bisa.
Wallahu a’lam bi al shawab.