PUASA; PERABAIKI KUALITAS IBADAH
PUASA; PERABAIKI KUALITAS IBADAH
Pada Ramadlan hari ke 11, Dr. Chabib Musthafa, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Sunan Ampel Surabaya yang memberikan taushiyah keagamaan pada jamaah Tarawih Mushalla Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency, Ketintang Surabaya. Saya tentu bersyukur karena Sdr Chabib Musthafa bisa memberikan ceramah agama pada forum ini. Saya tentu sangat memahami kapasitasnya dalam hal ilmu keagamaan.
Pak Chabib memulai ceramahnya dengan ilustrasi tentang nama Mushalla ini, yaitu Al Ihsan. Sebuah nama yang menggambarkan tentang tingkatan tertinggi dalam hirarkhi, Iman dan Islam. Ihsan sesuai dengan Sabda Nabi Muhammad saw ialah kita merasa berada di hadapan Allah di saat kita menyembahnya. Di saat kita berdzikir kepadanya, dan di saat kita bertaqarrub kepadanya. Tempat ini nanti akan menjadi saksi bahwa kita adalah orang yang mengagungkan namanya dan kita mengabdikan diri di kala kita hidup di dunia. Semoga semua yang mendirikan dan kemudian meramaikan rumah Allah ini akan menjadi hambanya yang kelak mendapatkan nikmat Allah berupa surga yang dijanjikanya.
Sekarang kita berada di dalam bulan puasa, dan sebagaimana yang sering diungkapkan berdasarkan ayat al Qur’an (Surat Al Baqarah, ayat 183), bahwa “Ya ayyuhal aldzina amanu kutiba alaikumush shiyamu kama kutiba alal ladzina min qablikum laallakum tattaqun”. Yang artinya: “wahai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kamu, agar amu bertaqwa”. Berdasarkan sejarah, ibadah yang paling tua ialah puasa dan setiap umat diwajibkan berpuasa.
Tujuan puasa ialah untuk bertaqwa. Taqwa berasal dari bahasa Arab yang berarti memelihara. Menurut para ahli fiqih ialah: “imtitsalu awamirillah wa wajtinabu nawahihi” yaitu: “menahan diri dari siksaan Allah swt dengan cara mengikuti segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya.”
Ada 4 (empat) indikator ketaqwaan kita kepada Allah sebagaimana disampaikan oleh Sayyidina Ali ibn Abi Thalib Karramallahu wajhah seperti yang dikutip oleh Habib Zen bin Abdullah bin Smith dalam Kitab Manhajus Showi, yaitu: 1) Al Khouf ilal Jalil atau takut kepada Allah seiring dengan sikap mengharap (roja’) pada rahmat Allah. 2) al ‘amalu bil tanzil atau berusaha mengamalkan apa yang telah diturunkan di dalam Al Qur’an, 3) al ‘amal bil Qalil atau qanaah dengan apa yang disedikitkan oleh Allah, dan 4) al isti’dad bil yaumil rahil atau menyiapkan diri menyongsong hari pergantian.
Jika puasa diinginkan untuk mencapai derajat ketaqwaan, maka 4 (empat) hal ini bisa dijadikan ukuran atau standart tentang ketaqwaan tersebut. Apakah kita sudah terus menerus merasa takut menjalankan larangan Allah dan sekaligus berharap agar Allah memberikan rahman dan rahimnya. Apakah kita sudah menjalankan amalan-amalan baik wajib atau sunnah sebagaimana diperintahkan kepada kita, apakah kita istiqamah menjalankan perintah Allah dalam dzikir, dalam ibadah dan dalam berbuat lainnya. Bahkan apakah kita sudah mudawamah di dalam menjalankan ajaran agama tersebut. Dan apakah kita sudah membuat persiapan untuk terjadinya kematian, atau pergantian alam dari alam ruh ke alam barzakh dengan persiapan kelakuan dan tindakan yang menyenangkan Allah. Jika kita bisa mengukur dengan diri sendiri tentang 4 (empat) hal ini, maka berarti kita semakin taqwa kepada Allah swt.
Mengenai ketakutan manusia kepada Allah itu tidak sama dengan ketakutan dengan makhluk. Misalnya ketakutan kepada hewan atau lainnya. Jika ketakutan kepada hal ini kita justru melarikan diri akan tetapi ketakutan kepada Allah justru kita mendekat atau taqarrub kepada Allah dengan cara memelihara amal kebaikan dan menjauhi amalan kejelekan. Di antara cara mendekat atau taqarrub kepada Allah ialah dengan mengamalkan ajaran sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Misalnya shalat, puasa, zakat dan sebagainya.
Shalat merupakan ibadah yang penting. Untuk memahami apakah shalat kita itu sudah baik atau belum, maka harus ditinjau dari hal-hal di sekeliling shalat. Misalnya mengapa justru pikiran aneh-aneh itu datang di waktu shalat. Contohnya datangnya pikiran bagaimana bisa ada demontrasi mahasiswa, bagaimana kita menyelesaikan hutang dan sebagainya. Makanya, harus kita lihat bagaimana wudlu kita, bagaimana pakaian kita, bagaimana makanan kita dan sebagainya. Hal-hal di sekeliling shalat itu berpengaruh terhadap jiwa dan fisik kita di waktu menjalankan shalat. Contoh berwudlu untuk membasuh muka, maka caranya ialah dari atas ke bawah dan seterusnya dengan urutan yang benar. Jika wudlunya baik dan lingkungan ibadah lainnya juga baik, maka shalatnya pasti baik. Ini cara kita mengukur diri sendiri. Akan tetapi ukuran sebenarnya tentu Allah yang menentukan.
Sebagaimana tadi saya contohkan bahwa amalan yang istiqamah itu sangat penting. Amalan yang terus menerus dilakukan dengan keikhlasan dan kepatuhan itu sangat mendasar. Saya memiliki pengalaman terhadap orang yang sudah mati dan dikuburkan. Saya sering ikut masuk dalam lobang kubur dan bau orang yang akan dikubur itu berbeda-beda. Ini ada contoh. Orang yang sudah meninggal tetapi kain kafannya dan badannya itu masih utuh. Ketika ada orang yang membuat lobang pemakaman, ternyata makam disebelahnya terkikis dan menyebabkan posisi orang yang dimakamkan itu terbuka. Dan subhanallah ternyata jenazah orang itu masih utuh. Kain kafannya masih putih bersih dan badannya masih utuh. Untuk membuktikan maka saya pegang dan ternyata benar. Lalu, saya bertanya kepada orang-orang di situ dan tidak ada orang yang tahu. Sampai tiga bulan saya terus mencari makam siapa yang utuh itu, akhirnya diketahui bahwa orang itu bernama “Fulan”. Orang ini tidak memiliki keistimewaan dalam hal agama. Orang biasa saja. Tetapi ada satu yang diingat oleh masyarakat sekitar ialah keistiqamahan si “Fulan” dalam hal shalat. Beliau ini selalu datang mendahului Muadzin dan jika belum datang Muadzinnya, maka Beliau membersihkan masjid. Itu yang terus dilakukan sampai beliau meninggal. Rupanya amalan semacam ini menyenangkan Allah, maka Allah memberikan rahman dan rahimnya, bahwa jasadnya utuh tanpa kerusakan.
Cerita-cerita ini menggambaran bahwa semua orang berpeluang untuk mendapatkan kasih sayang Allah tetapi yang diperlukan ialah keistiqamahan di dalam menjalankan perintah Allah dan Allah terkesan dengan amalan kita itu.
Semoga puasa ini dapat menjadi jalan bagi kita semua untuk mengamalkan ajaran Islam dengan tingkat keistiqamahan yang terjaga.
Wallahu a’lam bi al shawab.