PUASA; MEMPERKUAT SENSOR KETUHANAN (10)
PUASA; MEMPERKUAT SENSOR KETUHANAN (10)
Pada hari Selasa, 10 Ramadlan 1440 H atau 14 Mei 2019, jamaah Mushalla Al Ihsan mendapatkan tamu istimewa untuk memberikan ceramah agama ba’da shalat Isya’. Bertepatan hari ini, yang menjadi Imam shalat Isya’ dan Tarawih ialah Ust. Shonhaji, Lc, Al Hafidz, mahasiswa program magister Tafsir Hadits pada UIN Sunan Ampel. Beliau ini menyelesaikan strata 1 pada Universitas Al Azhar Mesir. Tamu yang saya maksud ialah KH. Drs. Abdul Mujib Adnan, MAg, Direktur Ma’had al Jami’ah UIN Sunan Ampel Surabaya. Beliau menyampaikan materi tentang “Puasa sebagai instrumen untuk memperkuat sensor Ketuhanan”.
Pak Mujib, begitu saya memanggilnya, memulai ceramahnya dengan membacakan Al Qur’an, Surat Anfal, ayat 3, yang berbunyi: “innamal mu’minunal ladzina idza dzukirallahu wajilat qulubuhum wa idza tuliyat ayatuhu zadathum imanan wa ala rabbihim yatawakkalun. Yang artinya: “Sesungguhnya orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut Nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambah iman mereka (karenanya) dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakkal.
Ayat ini dapat dipahami bahwa indicator seorang dapat dinyatakan mukmin ialah apabila mendengar nama Allah disebut , maka ada getaran di dalam dirinya. Hatinya bergetar karena asma Allah. Ada getaran positif bahwa Allah adalah Dzat yang menguasai seluruh alam, dijadikan sebagai tempat menyembah dan kepadanya segalanya akan kembali. Dan jika ditunjukkan tentang bukti-bukti kebesaran Allah, maka terus bertambah imannya. Getaran keberadaan Allah dan tanda-tanda kebesarannya itu menyatu dalam dirinya. Iman itu tidak berkurang atau bertambah tetapi terus menanjak naik sampai puncaknya keimanan tersebut.
Iman para Rasul dan Nabi itu terus bertambah dari hari ke hari, dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun. Malaikat itu konstan atau stagnan. Tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan manusia seperti kita ini adakalanya turun dan adakalanya naik atau iman kita itu fluktuatif. Jadi antara malaikat dan rasul itu lebih utama rasul dilihat dari keimanannya. Yang diharapkan dari manusia tentu bisa naik dan tidak terus turun. Dan naiknya keimanan itu adalah indicator keimanan kita kepada Allah yang semakin menguat.
Manusia itu secara kategorikal dapat dipilah menjadi dua dari aspek kecenderungannya. Ada yang berkecenderungan baik dan ada yang berkecenderungan jelek atau ada yang positif dan ada yang negative. Kecenderungan atau respon positif atau negative itu tergantung bagaimana sensor di dalam tubuh kita itu bekerja. Ada yang begitu mendengar nama Allah disebut langsung sensornya merespon positif. Ada orang yang perlu dibantu segera sensornya menyambut positif untuk membantu. Atau contoh lain, di tempat ini dulu adalah rerumputan dan kemudian karena takdir Allah didirikan rumah Allah atau mushalla, maka sensor kita akan merespon untuk memanfaatkan tempat ibadah ini dengan kegiatan keagamaan. Tetapi juga ada yang sensornya merespon dengan negative. Biarkan saja, semuanya akan berlalu. Sepertinya tidak ada keinginan untuk menyambut dengan positif atas upaya kebaikan dan sebagainya.
Puasa yang kita lakukan sebenarnya untuk menumbuhkan response sensor ketuhanan agar lebih peka untuk mendengarkan agar terjadi peningkatan kebaikan dan juga mendengarkan untuk menolak kejelekan. Manusia itu diberi pendengaran melalui telinga, diberikan penglihatan melalui mata, dan diberikan perasaan melalui hati. Namun demikian, ada orang yang potensinya lebih mengarah ke negative. Orang yang seperti ini diberikan hati tetapi tidak digunakan untuk memahami. Mereka diberikan telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar dan diberikan mata tetapi tidak digunakan untuk melihat kebaikan. Semuanya berlalu seperti angin lalu. Orang yang seperti ini adalah orang yang tidak menyadari bahwa yang bersangkutan diberi kenikmatan oleh Allah tetapi tidak digunakannya untuk kepentingan kebaikan. Jika ada orang yang mengajak kepada tindakan kejahatan, maka dengan cepat sensor kita itu menolak, dan sebaliknya jika ada orang yang mengajak kepada kebaikan maka sensor kita itu cepat merespon untuk mendukungnya.
Perintah puasa itu wajib dilakukan oleh umat Islam. Kita berpuasa atau tidak berpuasa itu tidak berpengaruh kepada Allah. Tetapi harus diingat bahwa puasa itu ibadah yang khas. Ibadah yang hanya Allah sendiri yang akan menilainya. Puasa itu ibadah yang sangat personal. Tidak ada yang tahu kecuali pelaku puasa dan Allah saja. Saya bisa berpura-pura puasa di depan orang, tetapi tidak bisa berpura-pura di depan Allah. Jika ibadah lain, misalnya orang membaca shalawat dihargai 1 pahala dan jika pada bulan puasa misalnya dihargai 10 kali pahala. Jadi lipat 10. Untuk puasa itu tanpa ukuran atau tidak berbilang berapa Allah akan menghargai pahalanya. Pahalanya tidak terhingga. Ukurannya ialah maghfirah atau ampunan Allah berbasis keridlaannya.
Kita semua berharap melalui puasa yang merupakan ibadah khusus ini, kita dapat memperkuat sensor di dalam diri kita sehingga potensi kebaikan di dalam diri kita semakin optimal dapat digunakan, dan sebaliknya potensi kejelekan di dalam diri kita semakin terkikis habis. Dan puasa adalah instrument untuk ini semua.
Wallahu a’lam bi al shawab.