• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PUASA; INSTRUMEN MEMPEROLEH RIDLA ALLAH (7)

PUASA; INSTRUMEN MEMPEROLEH RIDLA ALLAH (7)

Setelah selesai mengikuti jamaah tarawih di Mushalla al Ihsan, Perumahan Lotus Regency, Ketintang Surabaya, pada jum’at malam saya bergegas ke Tuban, tepatnya ke Desa Sembungrejo, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban. Tentu untuk pulang kampung menjenguk orang tua saya yang sudah usia lanjut. Ada kewajiban harus datang dua pekan sekali ke sana, dan sekaligus datang ke Mushalla Raudlatul Jannah di depan rumah saya.

Dan seperti biasanya, saya harus memberikan taushiyah, khususnya di bulan Ramadlan terhadap para jamaah shalat tarawih yang kebanyakan ialah kawan saya waktu kecil dan tetangga saya yang menjalankan tarawih berjamaah di Mushalla tersebut. Ada rasa gembira melihat jamaah shalat tarawih yang cukup banyak di Mushalla tersebut.

Kali ini saya membicarakan tentang puasa sebagai instrument untuk memperoleh ridlanya Allah swt. Puasa Ramadlan adalah salah satu rukun Islam yang memiliki kekhasan dibandingkan dengan ibadah lainnya, sebab di dalam puasa seseorang harus menahan tidak makan, minum dan kegiatan seksualitas di siang hari serta perbuatan lainya yang bisa membatalkannya. Puasa merupakan kegiatan ibadah kepada Allah yang mensyaratkan fisik yang sehat dan badan yang kuat. Jika seseorang sakit maka dapat menggantinya di hari lain atau membayarkan fidyah sesuai dengan aturan fiqhnya.

Di dalam ibadah puasa dan shalat tarawih ada sebuah doa yang dilantunkan oleh umat Islam, ialah yang berbunyi: “asyahadu an la ilaha illallah. Astaghfirullah. Nas’aluka ridlaka wal jannah wa naudzubika min sakhawatika wan nar”. Yang artinya kurang lebih ialah: “Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Ampuni kami ya Allah. Kami memohon ridlamu dan surgamu dan jauhkan kami dari siksa api neraka”. Sebuah persaksian yang mendalam bahwa tidak ada yang wajib disembah, dan diyakini keberadaannya kecuali Allah dan sekaligus permohonan ampunan kepada-Nya dan juga permohonan yang sedemikian tulus agar selalu mendapatkan ridla Allah swt dan dijauhkan dari panasnya api neraka.

Yang dimohon kepada Allah ialah keridlaannya. Maka bacaannya bukan dinyatakan memohon surganya Allah baru kemudian memohon ridlanya Allah. Tetapi jelas yang kita minta ialah ridlanya Allah dahulu dan surga baru mengikutinya. Di kalangan ahli tasawuf, misalnya Hasan Basri, Beliau sangat mengedepankan keridlaan Allah, sebab jika Allah meridlai apa yang kita lakukan, maka pasti Allah akan menyenangkan kita. Allah akan membahagiakan kita jika kita menyenangkan Allah swt.

Mungkin sebagai perumpamaan fisikal di dunia ini adalah gambaran tentang relasi antara orang tua dan anak atau kakek nenek dengan cucunya. Jika anaknya menyenangkan atau membahagiakan orang tua, pastilah orang tua akan berusaha seoptimal mungkin untuk membahagiakannya. Bahkan orang tua akan selalu memberikan kepada anaknya tanpa anak tersebut memintanya. Sama dengan kebahagiaan atau kesenangan kita menyenangkan hati cucu kita. Masyaallah karena kebahagiaan dari cucu kita itu, maka kita akan memberikan semua yang dimintanya bahkan yang belum dimintanya.

Saya pernah memperoleh ungkapan dari sahabat saya, namanya Abu Hasan, dulu adalah karyawan Fakultas Dakwah. Dia pernah bercerita: “jika kitab itu nyah nyoh (bahasa Jawa yang berarti memberikan sesuatu tanpa perhitungan untuk kebaikan), maka Allah juga akan nyah nyoh kepada kita tanpa perhitungan”. Ungkapan ini pantas kita renungkan karena sesuai benar dengan prinsip di dalam Islam, bahwa Allah bisa saja memberikan rizki kepada kita bighairi la yahtasib tanpa kita duga kapan rizki itu datang. Tentu dengan syarat bahwa kita juga suka memberikan sedekah, infaq atau pemberian apapun yang bisa kita lakukan untuk kebaikan.

Kerelaan tentu bukan sesuatu yang mudah didapatkan, akan tetapi juga bukan sesuatu yang tidak mungkin diperoleh. Yang penting ialah usaha untuk memperolehnya. Dan sebagaimana kita ketahui kata kuncinya ialah “menyenangkan Allah”. Seorang hamba harus menyenangkan Allah dengan mengamalkan kebaikan dan menjauhi larangannya. Seseorang harus menjalankan agamanya dengan benar, sesuai dengan kaidah agama yang benar. Orang harus selalu berusaha untuk mengingat atau berdzikir kepada Allah. Berdzikir di kala istirahat, bekerja, di rumah, di kantor, di dalam perjalanan dan segala tempat dan waktu. Fi kulli makanin wa zamanin.

Puasa sebagaimana doa yang kita lantunkan menggambarkan bahwa puasa adalah medium untuk memperoleh keridlaan Allah. Ada banyak upaya yang bisa dilakukan untuk menjemput hal tersebut. Ada qiyamul lail, ada tadarrusan, ada kajian dan juga berdakwah baik secara lesan maupun tulisan yang bisa dilakukan. Prinsipnya ialah sampaikanlah walaupun itu satu ayat, ballighu anni wa lau ayatan. Kita meyakini bahwa dengan amalan yang baik pada bulan puasa, insyaallah ramadlan akan menjadi instrument dalam kerangka memperoleh keridlaan Allah swt. Kita yakin bisa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..