MEMBANGUN INDONESIA MELALUI KEPEMIMPINAN SPIRITUAL
MEMBANGUN INDONESIA MELALUI KEPEMIMPINAN SPIRITUAL
Saya tentu bersyukur diundang oleh Prof. Babun Suharto, Rektor IAIN Jember, untuk memberikan materi tentang “Kepemimpinan Spiritual”, 03/05/2019. Sebuah materi yang penting di tengah gelegak duniawi yang semakin kuat dan makin meningkatnya disorientasi dan distrust yang terus menggema di kalangan masyarakat kita. acara ini diiukti oleh seluruh pejabat di lingkungan IAIN Jember. Yaitu Rektor, Wakil Rektor, Kepala Biro, Direktur Pasca, Kepala Lembaga, para pejabat eselon 3 dan 4 dan lainnya.
Di mana-mana muncul distrust yang disebabkan oleh berbagai problem yang menghimpit negeri ini. Orang banyak yang bertanya “siapa lagi yang bisa dipercaya di negeri ini”. Ada semacam keraguan bahwa bangsa kita sesungguhnya adalah bangsa hebat yang bisa mengambil pelajaran dari masa lalu untuk membangun masa depan.
Semakin menguatnya perilaku permissiveness yang terus menggelora di banyak elemen bangsa ini, tentu semakin memperkuat asumsi bahwa kita adalah bangsa yang sakit, dan diperlukan penyembuhan total berbasis pada nilai spiritual yang agung. Di dalam banyak kenyataan bahwa mereka memahami agama, tetapi nilai agama tidak dijadikan sebagai pedoman di dalam melakukan tindakan. Agama hanya memasuki ruang ritual dan tidak memasuki ruang kehidupan yang lebih luas.
Berbagai tindakan koruptif dan abuse of power yang tersaji di hamparan kehidupan kita sebagai bangsa, semakin menegaskan bahwa bangsa ini sedang menghadapi kegalauan tentang orientasi masa depan. Tindakan koruptif yang menjerat para elit partai politik, birokrat dan juga kaum pengusaha sungguh membuat keraguan bisakah bangsa ini keluar dari jerat-jerat masa sekarang yang membelenggu. Bisakah kita mengagungkan kembali trust, kejujuran, keadilan, semangat membangun yang kuat dan kemampuan mandiri untuk membangun peradaban yang adiluhung.
Di sinilah letaknya upaya untuk membangun kepemimpinan spiritual yang sesungguhnya telah menjadi pengalaman bangsa ini di masa lalu. Kita ini dikenal sebagai bangsa yang religious, bangsa yang memandang kerohanian atau spiritualitas itu sesuatu yang sangat penting. Oleh karena itu, upaya untuk membangkitkan kembali spiritualitas di dalam kepemimpinan merupakan upaya yang cerdas agar institusi yang sedang berada di dalam kewenangan kita itu semakin baik dari sisi akuntabilitasnya dan semakin maju inovasi dan pengembangannya untuk memenuhi keinginan maju di kalangan anak-anak muda milenial yang terus bergerak cepat.
Spiritual intelligent adalah seperangkat kecerdasan yang berbasis pada nilai-nilai agama. Hanya manusia yang diberkahi oleh Allah swt dengan kecerdasan ini. Kita memiliki sejumlah kecerdasan sebagai konsekuensi Tuhan menciptakan manusia sebagai sebaik-baik ciptaannya. Manusia memiliki kecerdasan rational atau rational intelligent atau disebut juga sebagai intellectual quotient. Yaitu kecerdasan intelektual yang basisnya adalah logika pengetahuan yang berkoridor pilihan rational dan untung rugi. Lalu kecerdasan emosional atau emotional intelligent ialah kecerdasan berbasis pada emosi yang berupa kemampuan mengendalikan diri dan memahami orang lain. Di sini terdapat sejumlah emosi yang terkait dengan senang, susah, sedih gembira, dan sebagainya. Lalu ada juga kecerdasan sosial atau social intelligent ialah sejumlah pemahaman dan tindakan tentang bagaimana kita memposisikan diri kita di tengah orang lain, misalnya simpati, antipati atau empati.
Jika manusia memiliki empat inteligensi, maka binatang hanya memiliki insting saja atau naluri saja. Nalurinya tidak berkembang dan hanya diwariskan secara turun temurun. Misalnya, semenjak dahulu cara berkehidupan binatang tidak mengalami perubahan. Dari induknya ke anaknya dan terus seperti itu. Hal ini tentu berbeda dengan manusia yang memiliki empat kecerdasan yang luar biasa. Inilah makna Allah memberikan kelebihan manusia atas makhluk ciptaan lainnya. “Laqad khalaqnal insana fi ahsani taqwim” (Al Qur’an, surat At Tin: 4). “Sesungguhnya kami ciptakan manusia sebagai sebaik-baik ciptaan”.
Di dalam kerangka untuk membangun Indonesia melalui peranan institusi pemerintah, khususnya Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), maka sesungguhnya yang diperlukan ialah bagaimana mengembangkan kepemimpinan dengan basis nilai keagamaan atau spiritualitas. Jika melalui emotional leadership akan menghasilkan orang yang peka terhadap dunia sekelilingnya, lalu melalui social leadership akan menghasilkan orang yang bisa berempati kepada orang lain, maka dengan spiritual leadership akan bisa dihasilkan orang yang tidak hanya memiliki kepekaan terhadap hablum minan nas, akan tetapi juga peka terhadap hablum minallah.
Dengan demikian di saat memutuskan sesuatu, atau mengambil kebijakan tentang sesuatu, maka pertimbangannya menjadi lebih komplit, yaitu menyerahkan keputusannya kepada kepentingan kemanusiaan dan sekaligus juga memasrahkannya kepada kehendak Tuhan. Oleh karenanya tidak ada keputusan yang diambil berasal dari kepentingan dirinya, akan tetapi semata-mata untuk kepentingan kemanusiaan dan ketuhanan. Alangkah indahnya jika seorang pemimpin dapat menihilkan kepentingan individunya dan menempatkan kepentingan tersebut di dalam koridor untuk kepentingan masyarakat dan bangsa secara utuh. Bukan dimaksudkan bahwa pemimpin tidak boleh berkepentingan, akan tetapi tetap saja bahwa kepentingan umum harus berada di atas kepentingan pribadi.
Pemimpin harus memiliki integritas, kejujuran, keadilan, keterbukaan, kesabaran dan pekerja keras. Syarat untuk memperoleh trust dari staf kita jika kita memiliki sifat-sifat kepemimpinan seperti ini. Rasulullah saw. memberikan contoh tentang sifat pemimpin ialah harus shiddiq, amanah, tabligh dan fathanah. Shiddiq ialah jujur, amanah artinya bisa dipercaya, tabligh yang berarti dapat mengembangkan transparansi dan fathanah artinya cerdas secara rasional, emosional, sosial dan spiritual.
Makanya pemimpin harus membangun nuansa kebahagiaan bagi para stafnya. Menurut Anny Mc-Kenzy, agar bahagia di tempat kerja, maka seseorang yang bekerja harus memiliki purpose (tujuan tertinggi dalam bekerja), hope (harapan tertinggi dalam bekerja) dan friendship (pertemanan). Tujuan dan harapan ialah mendapatkan ridha Allah dan menjadikan bekerja sebagai ibadah, bukan sekedar memperoleh gaji atau jabatan, dan yang penting juga harus ada milleau perkawanan di dalam bekerja.
Jika ini dimiliki oleh para pimpinan dan staf, maka kita akan merasakan bahagian dan bekerja menjadi enjoy dan sukses. Ciptakan joy working agar bekerja menjadi nyaman dan menyenangkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.