PILPRES 2019: YANG ABADI ADALAH KEPENTINGAN
PILPRES 2019: YANG ABADI ADALAH KEPENTINGAN
Pilpres memang sudah diselenggarakan pada tanggal 17 April 2019. Artinya pilpres sudah selesai. Namun demikian gaung pertarungannya masih nyaring di media sosial hingga sekarang ini. Pertempuran di medsos masih sengit antara dua kubu, pasangan capres 01 dan 02. Terutama para pendukungnya masih saling “menyerang” di media sosial sebagai arena pertarungan baru di jagat maya.
Pada pilpres kali ini juga mempertontonkan sesuatu yang “rasanya” terus berlangsung sepanjang hayat kehidupan dunia ini, yaitu kesamaan kepentingan dan benturan kepentingan. Jika kita cermati adagium yang paling tua ialah “kepentingan atau kebutuhan” adalah “kawan abadi”. Orang akan bisa bersama-sama jika memiliki kepentingan yang sama, dan orang akan berseteru jika kepentingannya berbeda di dalam konteks perebutan sumber daya kehidupan.
Ada satu hal yang menjadi kepentingan abadi, yaitu kekuasaan. Yaitu kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi, dan kekuasaan SDM. Ketiganya ini bertali temali antara satu dengan yang lain. Tidak bisa dipisahkan. Bahkan menurut saya, perang yang paling lama di dunia pun disebabkan oleh factor kekuasaan dengan perebutan tiga hal di atas. Sejarah kehidupan manusia yang secara kuantitatif lebih banyak masa perangnya dibandingkan dengan masa damainya, tentu juga disebabkan oleh factor-faktor ini. Perang terbaru di dunia, misalnya ISIS juga difasilitasi oleh tiga factor tersebut. Bukan karena factor agama yang sering dianggap sebagai pemicunya, sebab agama hanya dijadikan sebagai factor penguat peperangan atau konflik dimaksud.
Di Indonesia, memang tidak seperti di negara lain, pertarungan berada di dalam konteks pemilihan presiden. Mereka yang di dalam pilpres ini saling bertempur adalah orang-orang yang di masa lalu juga pernah bersahabat atau orang yang bersahabat juga di masa lalu pernah bertempur. Sebutlah misalnya Amin Rais dengan Prabowo di masa lalu adalah rival yang saling berseteru. Demikian pula Anies Baswedan dan Jokowi dulu adalah sekoci yang kemudian bersimpang jalan. Lalu, Ruhut Sitompul dulu adalah lawan politik yang keras dengan Jokowi, namun sekarang menjadi pendukung yang loyal. Jadi, sebenarnya tidak ada kawan abadi dan lawan abadi, yang ada ialah kepentingan abadi.
Di Indonesia memang tidak mengenal ideology jarak partai. Inilah kehebatan Orde Baru yang berhasil mendekatkan jarak ideology partai. Berbeda dengan Orde Lama yang memeilihara jarak ideology partai secara kuat. Jarak Masyumi dengan PKI sangat jauh, demikian pula NU dengan PKI. Satu dengan yang lain memiliki jarak ideology partai yang secara tegas membedakannya. Makanya, partai membelah dengan tegas batas dukungan kepada partai. Yang Komunis begitu anti Islam dan yang Islam begitu anti terhadap komunisme. Partai dengan nasionalis sekuler juga menjadi jelas bedanya dengan lainnya. Oleh karena itu sampai di pedesaan-pedesaan dikenal dengan tegas siapa partai apa dan siapa memilih siapa.
Orde baru lain ceritanya. Pasca menghasilkan konsep dan aplikasinya mengenai massa mengambang atau floating mass, maka kemudian menghilangkan jarak ideology partai dengan melakukan fusi partai ( 1971) dan kemudian menetapkan Pancasila sebagai asas partai politik (1983). Dan sebagai konsekuensi penerimaan asas ini, maka sesungguhnya sudah tidak ada lagi “jarak ideology”partai politik. Yang terjadi hanyalah pengelompokan parpol dalam wadah yang berkontestasi “semu”dalam lima tahunan. Disebutlah pemilu adalah “pesta demokrasi” dan bukan rivalitas dan riil kontestasi dalam demokrasi.
Di era reformasi memang ada upaya sedikit untuk mengubah haluan jarak ideology partai. Tetapi juga tidak tampak nyata benar. Misalnya Partai Demokrat (PD), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasional Demokrat (NASDEM), GERINDRA dengan ideology nasionalisme-demokrasi, Partai Kebangkitan Bangsa, PAN, berbasis Nasionalisme-religius, sedangkan PKS, PBB dan lainnya berbasis Islam. Yang lainnya saya kira bisa digolongkan ke dalam tiga label ini.
Namun demikian sebagai konsekuensi partai terbuka dan asas yang “kurang lebih” sama, dan hanya common platform-nya yang berbeda tentu dapat menjadi alasan mengapa PDIP bisa berkoalisi dengan PKS, atau PD berkoalisi dengan PKB atau PAN. Nyaris tidak ada yang tabu untuk saling berkoalisi di negeri ini. Semua kawan dan semua lawan. Hanya pada saat kapan mereka menjadi kawan dan kapan menjadi lawan.
Dan inilah yang saya konsepsikan sebagai bertemunya kepentingan. Dalam kasus pilpres 2019, maka PKS dengan ideology keislamannya yang kaffah bisa bertemu dengan Prabowo yang nasionalis minded. Di kasus lain, misalnya pilgub atau pilbub, maka bisa saja seorang tokoh PKS bisa menjadi Gubernur di wilayah yang secara paham keagamaannya tidak sama. Misalnya di Jawa Barat di era Ahmad Heriyawan dan di NTB yang dipimpin oleh Zulkiflimansyah dan sebagainya.
Inilah keunikannya berbagai pilihan politik di Indonesia yang tidak memilah secara ketat tentang siapa berada di mana di dalam afiliasi politiknya. Tentu tidak sama dengan di US yang terpilah secara jelas, dalam Partai Republik dan Partai Demokrat dengan jarak ideology yang jelas. Makanya, yang penting jika ada kesamaan kepentingan, maka siapapun bisa berkawan, dan siapa yang berbeda bisa menjadi lawan. Dan ini bukan hal yang abadi.
Wallahu a’lam bi al shawab.