• October 2024
    M T W T F S S
    « Sep    
     123456
    78910111213
    14151617181920
    21222324252627
    28293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

AUSSIE DAN SEDERET INDONESIANIS

 Jam 9.40 am, saya sudah masuk ke ruang tunggu pesawat. Bandara Melbourne. Design bandara dengan multi fungsi. Ada fungsi perdagangan yang lengkap. Tidak ada lorong khusus bagi penumpang, karena ruang masuk menyatu dengan toko swalayan. Jadi kalau masih ada yang mau dibeli tinggal lihat barang, cocok, beli. Simpel. Bertepatan, bersamaan dengan saya, ada  sebanyak 21 peserta short course yang terdiri dari dosen UIN, IAIN dan STAIN seluruh Indonesia di The University of Melbourne. Mereka dibiayai oleh Departemen Agama untuk menimba pengetahuan di Melbourne.

Tiga hari di Aussie memang sangat pendek. Sekurang-kurangnya harus satu minggu.  Baru  mengenal kota dari outward appearance-nya lalu pulang. Bahkan di The University of Melbourne juga hanya numpang lewat. Tidak sempat melihat secara utuh bangunan-bangunannya. Hanya di Asian studies, lalu ke gedung tua, Quadrangle Building, yang didirikan tahun 1854. Padahal sesungguhnya banyak area yang bisa dijadikan sebagai referensi pengembangan fisik perguruan tinggi kita. Paling tidak inspirasinya. Seandainya ada waktu cukup, maka kita bisa lebih leluasa untuk melihat lebih dekat universitas ini.

Ada sebuah pertanyaan dasar, bagaimana universitas ini bisa berkembang menjadi universitas nomor satu di Australia. Bagaimana universitas ini bisa menjadi pusat riset studi kawasan. Bahkan Studi Kawasan Asia, juga dihuni oleh Tim Lindsay dan Abdullah Saeed dan sebelumnya Rickleff, tapi sekarang pindah di National University of Singapura. Banyak ahli Indonesianis yang berasal dari Australia, misalnya ahli NU yang tidak diragukan kepakarannya. Greg Barton yang menulis tentang “Biografi Gus Dur,” Greg Fealy yang bersama dengan Barton menulis tentang “Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama dan Negara.” Kemudian, M.B. Hooker yang menulis tentang “Islamic Law in South East Asia.” Rickleff juga menulis karya monumental tentang “A History of Modern Indonesia Since 1200.” Banyak doktor yang dihasilkan dari tangan dingin mereka ini.

Tentu saja masih banyak nama lain yang menjadi ahli Indonesia. dan mereka memang benar-benar ahli tentang Indonesia. salah satu kelebihan dari peneliti Barat adalah keseriusan dalam melakukan sesuatu. Tidak ada yang dikerjakan hanya sambil lalu. Jika seseorang dianggap sebagai profesor atau guru besar di bidang tertentu maka dia kuasai secara mendalam tentang ilmu tersebut. Dan yang paling penting adalah mereka selalu mengupdate pengetahuannya tentang bidang kajian dimaksud. Makanya, selalu hadir buku-buku baru sebagai konsekuensi dari keterlibatannya di dalam kajian yang dilakukannya.

Memang harus diakui bahwa reputasi atas kepakaran seorang guru besar ditentukan oleh sejauh mana yang bersangkutan mendalami keilmuan yang dikuasainya. Dan mereka eksis di situ. Kepatuhan pada bidang kajian yang ditekuninya inilah yang membedakan dengan kita. Saya merasakan, bahwa setelah saya menulis disertasi tentang pesisir, maka hampir tidak lagi saya melakukan kajian tentang kepesisiran. Padahal saya tahu bidang kajian ini masih sangat langka. Saya lalu menulis berbagai hal yang tidak mendalam, hanya analisis kasar tentang banyak masalah. Bahkan tulisan yang setiap hari bisa dibaca di blog saya ini adalah hanya light writing, tulisan permukaan.

Namun saya masih beruntung,  masih bisa menulis. Meskipun  tidak fokus kepada keahlian saya. Masih banyak profesor yang tidak lagi berkemauan untuk menuangkan gagasan yang mestinya brilian di dalam karya-karya akademis.

Saya dan lainnya tentu perlu belajar dari para pakar Australia, terutama para Indonesianis ini. Pelajaran  yang paling penting adalah tentang konsistensi, kerja keras dan budaya akademis yang luar biasa itu.

Para profesor di Indonesia sekarang sudah lebih sejahtera pasca sertifikasi guru besar. Makanya yang ditunggu adalah seberapa kesejahteraan itu berpengaruh terhadap peningkatan karya akademik yang dihasilkannya. Jika tiga atau empat tahun ke depan ternyata tidak muncul karya-karya akademik yang outstanding dari para profesor, maka berarti bukan perkara kesejahteraan yang menyebabkan mereka tidak menulis akan tetapi karena budaya akademis dan kerja keras yang perlu dipertanyakan.

Wallahu a’lam bi al shawab.   

.

Categories: Opini