MENYIAPKAN PERUBAHAN IAINU TUBAN
MENYIAPKAN PERUBAHAN IAINU TUBAN
Saya sebenarnya sudah pernah memberikan semacam arahan agar STITMA Tuban menjadi Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Tuban di kala saya menjabat sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) tahun 2014 yang lalu. Saat itu memang saya menginginkan agar sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyan (STIT) menjadi institute Agama Islam dengan tujuan untuk memperluas akses bagi pengembangan kelembagaan pendidikan Islam, khususnya pada Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam.
Namun sayangnya bahwa uluran tangan saya tersebut tidak direspon secara memadai oleh pimpinan STITMA di kala itu, dengan alasan bahwa interest mahasiswa untuk prodi selain tarbiyah itu rendah. Maka lewatlah waktu yang penting tersebut, dan dalam sekian tahun STITMA tetaplah menjadi perguruan tinggi yang hanya menyediakan layanan pendidikajn ketarbiyahan.
Beberapa PTAI tentu ada yang cepat merespon, misalnya STAI Sunan Giri Bojonegoro, STIT Bani Fatah Jombang, STAI Uluwiyah Mojokerto, STAI Raden Rahmat Malang dan sebagainya. Target saya pada watu pertama ialah sebanyak 20 PTAI yang mengembangkan status kelembagaannya. Saya bersyukur bahwa lembaga-lembaga yang berkembang secara institusional tersebut akhirnya juga berkembang, dan bahkan ada yang sudah menjadi universitas, misalnya IAI Raden Rahmat sudah menjadi Universitas Raden Rahmat Malang.
Semalam, 02/03/2019, saya bersama pengurus NU Kabupaten Tuban dan pimpinan STITMA Tuban membahas tentang perubahan status menjadi Institut dalam waktu dekat. Hadir, KH. Mustain, Ketua Cabang NU Tuban, Ahmad Zaini, MSI, Ketua STITMA dan beberapa pengurus lainnya. Pada prinsipnya mereka meminta saya untuk terlibat secara lebih aktif di dalam proyek pengembangan kelembagaan STITMA menjadi IAINU Tuban. Mereka secara serempak menyatakan bahwa IAINU memerlukan kekuatan baru untuk mempercepat proses perubahan dimaksud.
Saya sempaikan 3 (tiga) hal: pertama, pada prinsipnya saya bersedia menjadi tim bahkan jika diperlukan untuk menjadi ketua tim pengembangan IAINU Tuban dalam menyiapkan percepatan dimaksud. Saya siap menjadi bagian dari pencapaian visi IAINU sebagai perguruan tinggi berkualitas dengan memanfaatkan peluang saya untuk ke Tuban dalam kerangka mengunjungi orang tua (emak) saya di Tuban. Dengan menjadi bagian dari tim pengembangan maka ada dua hal yang bisa saya manfaatkan upaya untuk mencapai visi IAINU dan sekaligus pulang kampong.
Kedua, jika pencapaian visi IAINU ini kita sepahami, maka saya berpikir perlunya untuk menghandle suatu tim yang kuat, yang terdiri dari orang dalam dan orang luar. Orang dalam yang berdasarkan talentanya memiliki pandangan perubahan sangat diperlukan untuk bercerita tentang apa yang sesungguhnya terjadi di sini. Pilih secara tepat tentang orang dalam ini, sebab motor terbaik bagi manajemen perubahan ialah agen internal yang kuat dan visioner. Saya yang akan menghandle orang luar yang selama ini saya kenal telah memberikan kontribusi bagi pengembangan kelembagaan di UIN Sunan Ampel Surabaya. Dahulu saya teringat bahwa untuk mengembangkan kurikulum di Sekolah Unggulan Bina Anak Shaleh (BAS) Tuban yang dikelola oleh Pak KH. Fathul Huda –sekarang Bupati Tuban—adalah tim yang saya handle dalam kerangka curriculum development yang menjadi patokan bagi pengembangan kelembagaan.
Tim ini mula-mula akan bekerja dalam kerangka memetakan masalah-masalah yang menjadi problem selama ini di STITMA. Di dalam kepentingan ini, maka diperlukan manajemen berbasis pada problem solving, sehingga setiap masalah akan bisa dicari solusinya. Saya menyarankan agar dibuat matrik “peta masalah” yang mencakup lima hal, yaitu: masalah, akar masalah, alternative solusi, solusi utama, personal in charge, time line dan pembiayaan. Peta masalah ini menjadi sangat penting dalam kerangka untuk membedah apa yang seharusnya perlu dilakukan.
Saya mengharap ada forum konsinyering untuk membahas “peta masalah” ini sehingga bisa secara serius akan dapat menemukan konsepsi-konsepsi mendasar tentang “apa yang terjadi, bagaimana terjadi dan bagaimana ke depan”. Diperlukan keseriusan untuk menjawab tantangan ini dari pimpinan NU dan pimpinan STAI dan segenap stakeholder yang dimilikinya. Saya tetap optimis bahwa ke depan IAINU akan memiliki kemampuan berkembang mengingat bahwa potensinya cukup besar.
Semenjak Pak Zaini memimpin STITMA, maka perkembangan sudah sangat banyak dirasakan termasuk kepastian jumlah mahasiswa, kepastian proses pembelajaran, kepastian anggaran, dan kepastian pengembangan kelembagaan. Semua pimpinan NU mengakui bahwa STITMA sudah jelas kelaminnya. Jika dahulu jumlah mahasiswa saja tidak diketahui, maka sekarang sudah jelas. Lebih dari 1400 mahasiswa dengan keuangan yang jelas. Mereka sudah bisa “menepuk dada” tentang anggaran dan potensinya.
Ketiga, setelah transformasi maka ada banyak hal yang harus dilakukan, yaitu menyiapkan kurikulum berbasis KKNI, menyiapkan akreditasi bagi prodi baru dan menyiapkan kelengkapan struktur kelembagaan IAINU. Tentang akreditasi, saya nyatakan bahwa setelah di awal memperoleh akreditasi prodi C, sebagai konsekuensi pembukaan prodi baru, maka dalam 2 (dua) tahun harus sudah disiapkan akreditasi baru dengan sekurang-kurangnya akreditasi B. Kita bisa dituntut oleh pelanggan jika sampai meluluskan sarjana strata satu dan belum terakreditasi B. Sekarang memang semakin rumit dalam memperoleh status pengakuan lembaga pendidikan tinggi. Misalnya di masa lalu hanya cukup dengan 7 (tujuh) syarat saja, maka sekarang menjadi 9 (Sembilan), antara lain: visi, misi, tujuan dan strategi, lalu pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, pamong, tata kelola, SDM, sarana prasarana dan outcomenya.
Saya kira memang sudah saatnya mengejar kualitas pendidikan, sebab RPJMN tahun 2019-2024 telah mengamanatkan bahwa pendidikan berkualitas harus menjadi tuntutan dan bukan hanya sekedar pemenuhan akses dan pemerataan pendidikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.