Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KEWAJIBAN IJTIMA’IYAH UNTUK MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN TINGGI

KEWAJIBAN IJTIMA’IYAH UNTUK MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN TINGGI

Rabo, 16 Januari 2019, saya menghadiri acara workshop yang diselenggarakan oleh Pesantren Hidayatullah Surabaya untuk membahas persiapan pesantren tersebut dalam mendirikan universitas. Hadir sebagai narasumber selain saya ialah Dr. Asep Saiful Hamdani, MPd, dosen Fakultas Tarbiyah dan ilmu Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya. Hadir dalam acara ini ialah Dr. Abdurahman, pengurus pusat Hidayatullah, dan segenap jajaran pimpinan yayasan dan Sekolah Tinggi Lukman Hakim Surabaya. Keinginan untuk mendirikan universitas sesungguhnya sudah digagas 10 tahun yang lalu, hanya saja dalam kurun waktu tersebut belum dilakukan tindakan nyata dengan menghasilkan proposal pendirian universitas.

Saya menyampaikan tiga hal terkait dengan workshop untuk merumuskan proposal universitas Hidayatullah tersebut, yaitu: pertama, Kita bersyukur bahwa upaya untuk mengembangkan pendidikan terus diupayakan. Sebagai lembaga pendidikan, Pesantren Hidayatullah sebenarnya sudah memiliki distingsi, yaitu menjadi lembaga pendidikan kader. Pesantren Hidayatullah didirikan dalam rangka untuk mendidik kader-kader da’i yang memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan yang memadai untuk menjadi agen dakwah Islam. Dan saya lihat di dalam hal ini, Pesantren Hidayatullah sangatlah berhasil. Bahkan sering saya jadikan sebagai prototype pendidikan yang secara etikal dan moral dapat mendidik santrinya untuk berjuang di manapun ditempatkan.

Pantaslah rasanya pada moment yang baik ini saya menyampaikan apresiasi yang sangat tinggi. Saya merasa menjadi bagian dari Pesantren ini, sebab saya termasuk orang yang terlibat secara langsung dalam mendirikan STAI Lukman Hakim dan juga STAIS di Gunung Tembak di Balikpapan. Bahkan saya pernah mengajar selama dua tahun di lembaga pendidikan yang bermarkas di Balikpapan tersebut.

Kedua, saya melihat ada dua tantangan yang harus dihadapi oleh institusi pendidikan, yaitu tantangan masa depan yang tentu saja harus disikapi dengan keinginan untuk terus berubah, sebab pendidikan adalah soft infrastruktur dalam pengembangan SDM. Saya menyatakan ada 2 (dua) tantangan baik internal maupun eksternal. Tantangan internal ialah semakin menguatnya keinginan untuk mengekspresikan diri sebagai umat beragama, khususnya umat Islam. Ada kecenderungan beragama yang semakin tinggi. Berbeda dengan dunia barat yang modernisasi menyebabkan orang lari dari agama, tetapi di Indonesia justru sebaliknya. Semakin modern masyarakat justru semakin beragama. dan yang lebih menggembirakan adalah yang beragama itu para generasi muda.

Tantangan internal berikutnya ialah semakin menguatnya kelas menengah muslim di Indonesia. Jika mengacu kepada prediksi ahli-ahli ekonomi maka Indonesia akan memiliki kelas menengah dalam jumlah besar tahun 2030-an. Mereka merupakan segolongan masyarakat yang sadar akan dirinya dan masa depan keluarganya. Makanya mereka harus memperoleh layanan pendidikan dan agama yang relevan dengan statusnya dan potensinya.

Yang termasuk tantangan eksternal ialah semakin menguatkan pengaruh era revolusi industry 4.0. Kita semua menyadari bahwa tantangan ini tidak sederhana sebab pengaruhnya bercorak sistemik. Dengan hadirnya era digital atau teknologi informasi yang maju, maka akan mempengaruhi seluruh performance kehidupan. E-digital, ekonomi digital, e-government, e-banking bahkan juga e-konstruksi bangunan dan sebagainya. Bahkan juga kendaran smart yang pada tahun 2015, Daimler dan Volvo sudah memperoleh lisensi untuk memproduksinya. Nanti akan banyak pengemudi truck di AS yang kehilangan pekerjaannya. Sama juga akan hilangnya pekerjaan penjaga toko, penjaga pom bensin, kasir toko bahkan pengacara dan pendidik. Di tengah arus digitalisasi yang terus menggelinding, maka Institusi pendidikan harus mengantisipasinya dengan baik.

Ketiga, saya berkeyakinan bahwa dengan kebersamaan, maka semua yang mustahil direngkuh akan bisa dicapai. Dan saya yakin akan kebersamaan tersebut di tengah Pesantren Hidayatullah. Maka ada beberapa langkah yang mesti dipersiapkan, yaitu:

  • memetakan problem yang dihadapi oleh pesantren Hidayatullah dalam mendirikan universitas. Dari pertemuan ini bisa dicari solusinya yang tepat.
  • membuat agenda atau time schedule yang utuh dan terukur. Penjadwalan kegiatan ini sangat penting untuk menjadi pedoman secara mendasar, kapan menyelesaikan problem-problem utama pendirian universitas.
  • Membentuk team yang kuat, baik dalam membangun visi dan misi Universitas Hidayatullah maupun kemampuan teknis operasional terkait dengan pemenuhan delapan standart pendidikan nasional.
  • Mengembangkan jejaring, yaitu melakukan kerja sama dengan pihak-pihak terkait terutama Dikti dan BAN PT untuk memberikan asistensi tentang penyusunan proposal pendirian universitas ini.
  • Menyusun proposal lengkap dengan memperhatikan 8 (selapan) standart nasional pendidikan tinggi dan mengisinya dengan kelengkapan content proposal dimaksud, misalnya kurikulum, SDM, dan pemenuhan standart lainnya.
  • Memproyeksikan sarana prasarana, kepemimpinan dan SDM universitas dan juga kesiapan merger beberapa perguruan tinggi di bawah bendera Pesantren Hidayatullah.

Langkah-langkah ini perlu dikongkritkan dengan konsepsi dan kesamaan pemahaman dari seluruh pemangku kepentingan di Pesantren Hidayatullah agar tujuan untuk sesegera mungkin merengkuh berdirinya universitas Hidayatullah akan bisa terealisasi. Kata kuncinya ialah kerja keras dan kebersamaan.
wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..