Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PENGUATAN PEREKONOMIAN SYARIAH

PENGUATAN PEREKONOMIAN SYARIAH

Kamis, 13 Desember 2018, saya berkesempatan untuk menghadiri acara Silaknas Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) di Jakarta. Tepatnya di Menara BTN Jakarta. Acara yang dibuka oleh Pak Wimboh Santoso Ketua OJK ini berlangsung dengan sangat memadai sebab tentu dipaparkan tentang peluang pengembangan keuangan syariah di Indonesia.

Ekonomi Syariah memang belum menjadi arus utama di dalam percaturan ekonomi nasional. Berbeda dengan Malaysia yang rasanya perkembangan ekonomi syariah itu sudah sesuai dengan tracknya. Jika saya membandingkan dengan pengembangan ekonomi syariah di Malaysia bukan berarti saya lebih membanggakan Malaysia akan tetapi yang penting adalah ekonomi syariah Indonesia harus bergerak lebih cepat dalam mengejar ketertinggalan itu.

Di dalam kerangka mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia, masih terdapat beberapa tantangan, antara lain: kapasitas kelembagaan, terbatasnya akses, pangsa pasar, SDM terbatas, persaingan fintech dan sebagainya. Di dalam pengembangan kapasitas kelembagaan, sesungguhnya pemerintah sudah memberikan perhatian yang kuat, misalnya Presiden SBY pernah melaunching program GRESS, lalu Presiden Jokowi juga memberikan perhatian yang kuat dengan dibentuknya suatu perangkat kelembagaan Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS).

Melalui penguatan kelembagaan KNKS ini tentu diharapkan agar terjadi percepatan untuk mengembangan keuangan syariah. Hanya saja memang harus diakui bahwa sebagai akibat keterbatasan SDM, maka pengembangan keuangan syariah mengalami sedikit keterlambatan. Misalnya, keterbatasan pengembangan keuangan syariah di berbagai wilayah. Kemudian, kelemahan akses keuangan syariah yang juga dirasakan ialah rendahnya literasi tentang keuangan syariah. Hal ini tentu terkait dengan rendahnya pasar keuangan syariah. Kebanyakan masyarakat masih menggunakan keuangan konvensional di dalam transaksi keuangannya. Makanya, market share keuangan syariah baru mencapai angka 8,58 persen. Dilihat dari asset keuangan syariah per September 2018 ialah sebesar Rp1.265.07 trilyun atau setara dengan USD 91,80 Milyar.

Perkembangan keuangan syariah memang cukup menggembirakan. Pada tahun 2018 terdapat sebanyak 14 BUS, 20 UUS, dan 168 BPRS. Dengan posisi asset 5,29 pere atau sebesar Rp468,82 Trilyun atau setara USD 31,40 Bn. Sementara itu Perbankan Konvensional memiliki asset sebesar 94,08 persen. Di sisi lain, total asset IKNB sebesar Rp99,94 trilyun dengan market share sebesar 4,32 persen. Untuk IKNB tersebut terdapat sebanyak 63 Asuransi Syariah, 47 Pembiayaan Syariah, 6 penjaminan syariah, 51 lembaga keuangan Mikro Syariah, dan 11 Industri Non-Bank Syariah lainnya.

Industry keuangan syariah memang belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap keuangan nasional. Hal ini tentu bukan semata-mata disebabkan oleh kinerja lembaga keuangan syariah akan tetapi disebabkan oleh banyak variabel. Saya mencoba untuk mengidentifikasi 3 (tiga) variabel penting yang belum mendukung secara optimal perkembangan keuangan syariah.

Pertama, variabel sosialisasi perbankan syariah atau keuangan syariah belum menyentuh terhadap grass root, sementara para pemilik modal masih enggan memasukkan dananya pada institusi keuangan syariah. Sebagaimana diketahui bahwa para pemilik modal besar masih sangat mempercayai terhadap perbankan konvensional yang telah bekerja sama sangat lama. Ada semacam keengganan mereka untuk mendukung terhadap pengembangan keuangan syariah ini. meskipun pemerintah sudah memberikan dukungan regulasi dan juga kebijakan tentang keuangan syariah, akan tetapi kenyataannya masih terdapat “rasa enggan” untuk memperkuat keuangan syariah. Terbukti bahwa dana besar yang diperoleh oleh perbankan syariah masih disumbang oleh dana keuangan haji, dengan persentase 60-70 persen.

Kedua, keuangan syariah belum bisa bersaing dengan keuangan konvensional. Masih ada anggapan bahwa keuangan syariah itu lebih rumit, regulasi yang berbelit-belit dan return yang masih tinggi. Modal perbankan syariah yang kebanyakan berasal dari dana haji melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) masih meminta return bagi hasil yang cukup tinggi, sehingga belum bisa bersaing dengan bank konvensional yang rata-rata mematok fix return yang lebih rendah. Selain itu juga pengalaman sejarah bahwa pengelolaan keuangan konvensional sudah mapan dan berkinerja yang lebih baik.

Ketiga, rendahnya literasi keuangan syariah juga bertali temali dengan kesadaran untuk terlibat di dalam keuangan syariah yang rendah. Kenyataan ini misalnya didukung oleh data di Jawa Timur, bahwa literasi keuangan syariah sudah mencapai 29 persen, akan tetapi tingkat penerapan keuangan syariah baru mencapai angka 5 persen. Berarti bahwa terdapat gap antara pengetahuan dan perilaku dalam perbankan syariah.

Kenyataan-kenyataan ini yang saya kira cukup signifikan dalam mempengaruhi terhadap pengembangan keuangan syariah. Tentu masih ada sejumlah variabel pengganggu terhadap pengembangan ekonomi syariah, dan tugas semua insan yang bergerak di bidang keuangan syariah untuk memecahkannya.

Ke depan tentu harus dihasilkan pelaku-pelaku ekonomi syariah yang minded, dan bahkan bisa menjadi promoter di dalam pengembangan keuangan syariah sehingga upaya percepatannya akan bisa diprediksi lebih memadai. Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) harus menjadi penguat dan pendorong terhadap upaya ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..