Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MERAWAT HOMOGENITAS

MERAWAT HOMOGENITAS

Bagi mereka yang tidak memiliki relasi sosial yang memadai, maka tentu tidak akan merasakan betapa kehidupan ini sungguh hanyalah terdiri dari satu warna saja. Hal ini tentu terkait dengan relasi sosial yang hanya dengan kelompoknya saja, sehingga hubungan kemasyarakatannya hanyalah terbatas pada relasi yang dibangunnya tersebut. Bisa saja relasi itu hanyalah dengan sesama agama atau lainnya.

Jika kita hidup di dunia pedesaan yang relative homogeen, maka denyut perbedaan itu nyaris tidak dijumpai. Di Indonesia, ada sangat banyak wilayah-wilayah yang sangat homogeen, baik dari sisi kesukubangsaan, keagamaan dan sosial ekonominya. Mereka bergaul dengan sesamanya tanpa ada perbedaan yang riil sebagai masyarakat plural.

Dalam beberapa hari terakhir saya berada di desa tempat kelahiran saya untuk menyambangi orang tua saya –yang tinggal satu-satunya, Ibu—dalam usia yang cukup tua. Meskipun demikian, beliau masih tampak sehat dalam takaran orang seusianya. Rasa kebahagiaan itu terpancar dari sinar matanya yang teduh, sebab anak samata wayangnya itu berada di dekatnya. Memang dalam waktu 6,5 tahun terakhir, saya termasuk jarang hadir bersamanya karena tugas-tugas saya sebagai pejabat structural di Jakarta.

Kehadiran saya di desa ini tentu mengingatkan kembali ingatan saya tentang desa ini pada tahun 1970-an, yang masih sepi belum banyak rumah-tumah berdinding beton, dan jalan-jalan desa yang becek di kala hujan dan gelap sebab belum terdapat penerangan listrik seperti sekarang. Sungguh terdapat perubahan yang sangat signifikan dalam realitas fisik desa dalam tahun-tahun terakhir.

Secara fisikal saya kira sudah sangat berubah. Pun kehidupan ekonomi yang juga sudah berubah. Di masa lalu, kebanyakan hanyalah petani dan buruh tani saja, akan tetapi sekarang sector jasa sudah menjadi bagian dari pekerjaan masyarakat. Sudah ada banyak toko dengan barang atau produk industry, dan juga pegawai BUMN dan swasta yang semakin banyak. Sector pertanian justru sudah tidak lagi bergairah sebagaimana di tahun 1970-1980-an. Terdapat perubahan orientasi kerja di kalangan masyarakat desa.

Namun yang saya kira tetap tidak berubah ialah tentang kehidupan keagamaan dalam konteks pemahaman agama sebagaimana Islam ahl sunnah wa al jamaah atau NU. Maklum mereka mengartikan Islam ala ahl sunnah wa al jamaah itu ialah NU dan bukan lainnya. Makanya semenjak dari dahulu selalu terdapat acara-acara yang dikemas sebagai tradisi Islam, seperti Dzibaan, Tahlilan, Yasinan, Muludan, Rejeban, Suroan, riyayan, dan sebagainya. Akhir-akhir ini, seirama dengan semakin kuatnya pengaruh Habib Syekh dalam bacaan shalawatan, maka juga berlangsung acara grup shalawatan. Jika bulan Rabi’ul awal, maka sebulan penuh ada acara “udukan” atau selamatan dengan nasi gurih untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw. Nyaris setiap malam terdapat acara-acara seperti ini.

Nyaris tidak didapatkan pandangan yang berbeda tentang pengamalan Islam seperti ini. Masyarakat hidup dalam pola paguyuban dalam peribadahan. Didapati di pedesaan Jawa, misalnya kelompok NU dan Muhammadiyah, akan tetapi nyaris juga tidak didapati acara-acara pengajian yang saling menjelekkan, atau membidh’ahkan apalagi mengkafirkan antar penggolongan beragama itu. Hanya biasanya, yang Muhammadiyah beribadah di masjidnya jika jumlahnya cukup banyak, sementara yang NU beribadah di masjidnya atau mushallanya. Meskipun di dalam desa terdapat banyak tempat ibadah –masjid atau mushalla—akan tetapi kemesraan sebagai warga bangsa dan agama itu terjadi secara alami.

Meskipun di era menjelang pilpres 2019, kehidupan sosial nyaris tidak terpengaruh. Tidak ada greget untuk berbeda secara tajam dan saling menyatakan dukungan. Semua berjalan sebagaimana adanya. Jika waktu shalat Magrib, Isyak atau Shubuh, maka mereka datang ke masjid atau mushalla dan melakukan shalat secara berjamaah. Bahkan di dalam pembicaraan sebelum atau sesudah shalat juga sangat monoton, di seputar dunia pertanian atau pergadangan di desa.

Tidak ada perbincangan tentang siapa calon presiden atau wakil presiden. Saya yakin bahwa mereka pastilah mendengarkan berita di televisi atau lainnya, akan tetapi kehidupan mereka tidak terpengaruh dengan berita-berita di televisi. Hoax atau berita bohong juga didengarnya, tetapi hal itu tidak menjadi pokok pembicaraannya. Meskipun gambar-gambar atau baliho-baliho bertebaran di jalan-jalan utama antar kecamatan dan juga di desa-desa akan tetapi mereka tidak terusik untuk menilainya.

Sungguh saya merasakan denyut kehidupan masyarakat desa kita berada di dalam keteraturan sosial yang sesungguhnya. Di sinilah sebenarnya kehidupan yang harmonis dan rukun itu terjadi dengan sempurna. Dan kita merasa nyaman di dalamnya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..