• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENJAGA TRADISI MENUAI KEARIFAN (1)

MENJAGA TRADISI MENUAI KEARIFAN (1)

Masyarakat Indonesia secara sosiologis dan antropologis dikenal sebagai masyarakat yang sangat rukun dan harmonis. Jika kemudian ada gesekan dipastikan bahwa hal tersebut dipicu oleh factor eksternal dan bukan factor internal.

Di dalam sejarah kehidupan sosial, maka masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki tingkat pemahaman tentang kerukunan dan harmoni yang sangat baik. Semenjak dahulu masyarakat ini dikenal sebagai masyarakat yang religious, mengedepankan kerukunan dan keharmonisan yang didasari oleh watak dasar bangsa ini yang mengedepankan penjagaan terhadap tradisi kebersamaan.

Jika terdapat konflik, sebenarnya dipicu oleh factor kekuasaan atau politik. Misalnya pertarungan antar kerajaan di berbagai wilayah di Nusantara. Tetapi kadarnya tentu sangat local sesuai dengan wilayah di mana peperangan tersebut berlangsung. Misalnya peperangan di zaman kerajaan Singasari, Majapahit, dan sebagainya.

Namun peperangan yang menguras harta dan tenaga ialah di kala kaum penjajah Belanda datang ke Nusantara. Meskipun peperangan tersebut berlangsung secara local, misalnya Perang Banten, Perang Padri, Perang Jawa, dan sebagainya namun demikian terjadi di seluruh Nusantara. Jadi yang memicu terhadap hadirnya konflik ialah keinginan para penjajah untuk melakukan kooptasi politik dan penguasaan ekonomi. Perang tersebut berlangsung dalam waktu yang sangat lama meskipun durasi peperangannya sangat bervariatif. Konon katanya nyaris 350 tahun Belanda menjajah Nusantara. Namun yang sesungguhnya terjadi bukanlah selama itu. Jadi bukan Belanda menjajah Nusantara dalam waktu selama 350 tahun, sebab selama itu pula sesungguhnya terjadi perlawanan secara terus menerus dari masyarakat Pribumi kepada para penjajah dan bahkan juga perlawanan Kaum Cina dan Arab terhadap kaum Belanda.

Lalu, yang tidak kalah menarik ialah pasca kemerdekaan, di mana terdapat munculnya ideology baru, komunisme yang juga berpotensi dan rawan terhadap pertempuran atau konflik sosial. Sebagaimana diketahui bahwa ideology baru ini memiliki sifat sangat penetrative dan agresif, sehingga tentu membawa dampak sosial berupa penolakan dari sejumlah elemen masyarakat, khususnya masyarakat beragama. Munculnya ideology komunis yang beraviliasi ke Cina terutama Partai Komunis Cina (PKC) tentu dapat menyebabkan penolakan yang sangat kuat dari organisasi-organisasi Islam pada waktu itu. Organisasi keagamaan yang berbasis agama tentu sangat bertolak belakang dengan komunisme yang prinsip utamanya ialah atheis atau anti Tuhan.

Di dalam penyelenggaraan negara, ternyata Komunisme memiliki tempat yang sangat strategis, sebab di dalam system pemilu pada tahun 1955 ternyata PKI bisa menjadi pemenang ke empat. Sungguh sesuatu yang tidak diprediksi bahwa PKI sudah mengakar kuat di masyarakat kala itu. PKI memang ideology yang bisa mengakar kuat dalam masyarakat terutama bagi orang-orang yang kurang beruntung. Dengan jargon anti kapitalisme, maka mereka bisa mempengaruhi terhadap “wong cilik” yang tidak beruntung.

Beruntunglah bahwa organisasi-organisasi Islam melakukan perlawanan yang sangat keras terhadap komunisme itu. NU misalnya melakukan gerakan perlawanan yang sangat mendasar dan bergandeng tangan dengan kekuatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) untuk menghancurkan terhadap kekuatan PKI di semua lini kehidupan. Sementara itu organisasi Islam lainnya, seperti Muhammadiyah, Persis, Jam’iyatul Washliyah, Perti, Nahdlatul Wathon dan berbagai lasykar kebangsaan juga melakukan hal yang sama dengan kadar yang berbeda-beda. Semua berada di dalam satu komando menyelamatkan bangsa Indonesia. Tokoh-tokoh PKI pun satu-persatu bisa dilumpuhkan melalui kekuatan bersama antara masyarakat dengan pemerintah.

NU yang melakukan perlawanan paling heroic dalam seputar pemberontakan G30 S/PKI semula dianggap sebagai organisasi yang avonturir, akomodatif, dan permissive, akan tetapi di saat yang tepat justru menjadi garda terdepan dalam membentengi terhadap Pancasila, NKRI dan UUD 1945 serta kebinekaan dari rongrongan Komunisme. Penerimaan NASAKOM atau Nasionalisme, Agama dan Komunisme oleh sementara pihak dianggap sebagai sikap politik yang lembek dan mementingkan kelompok, akan tetapi ternyata dengan sikap ini justru umat Islam secara politik diuntungkan sebab NU bisa masuk ke dalam jantung pemerintahan yang kala itu sudah dikuasai oleh PKI. Melalui masuknya NU di dalam system pemerintahan, maka NU bisa menjadi penyeimbang di dalam berbagai pengambilan keputusan penting demi kelangsungan negeri ini. Jadi ada kalanya memang harus terlibat dalam pemerintahan sebagai check and balance dan di kali lain harus melawan dengan kekuatan penuh. Strategi politik NU seperti ini yang rasanya sekarang banyak dianut sebagai model perpolitikan nasional oleh partai politik di Indonesia. Bukan dari aspek perlawanannya, akan tetapi dari strategi “terlibat” di dalam pemerintahan.

Tampak bahwa factor eksternallah yang memicu terhadap konflik yang sangat keras antara masyarakat Indonesia dengan ideology yang tidak merupakan ideology asli bangsa ini. Apapun namanya, Pancasila adalah ideology bangsa yang lahir dari Rahim bangsa Indonesia. Pancasila lahir dari kandungan Ibu Pertiwi sehingga memiliki relevansi yang sangat kuat bagi bangsa ini.

Bagi anak bangsa, menjaga tradisi mempertahankan ideology kebangsaan merupakan kewajiban ijtimaiyah atau kewajiban kemasyarakatan. Sebagai bagian dari bangsa ini, maka mempertahankan ideology kebangsaan merupakan kewajiban sosial yang tidak bisa dihindarkan. Selama kita berada di bumi Indonesia, hidup dengan tanah dan air Indonesia, dan kita berada di dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, maka kewajiban kita ialah mempertahankan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan.

Saya sependapat dengan para ulama yang menyatakan bahwa Pancasila bagi bangsa Indonesia sudah final dan tidak lagi diperlukan eksperimentasi untuk mengganti dengan ideology lain, yang justru potensial untuk membawa perpecahan, apapun namanya termasuk NKRI Bersyariah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..