KONSERVATIF-FUNDAMENTALISME AGAMA PADA ERA DEMOKRATISASI (2)
KONSERVATIF-FUNDAMENTALISME AGAMA PADA ERA DEMOKRATISASI (2)
Di dalam tulisan ini, saya akan secara khusus menyoroti tentang kelompok konservatif-fundementalisme dari aspek aksi damai yang dilakukan oleh eksponen alumni 212 yang dilakukan beberapa saat yang lalu. Hiruk pikuk kehidupan beragama menjadi semakin menampakkan variasinya di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini.
Aksi damai yang dilakukan oleh alumni 212 di Monas itu memang luar biasa dilihat dari jumlah peserta yang sangat banyak. Kita belum pernah melihat suatu unjuk rasa dengan jumlah yang sangat besar dan dalam keadaan tertib. Mereka berpakaian yang sama –kebanyakan pakaian muslim dan muslimah—dan melakukan aksi yang simpatik. Misalnya memungut barang-barang bekas yang digunakan selama unjuk rasa berlangsung dan juga dengan tertib datang dan pulang balik ke tempatnya masing-masing. Mereka datang dari seantero Indonesia dengan biaya sendiri dan berpartisipasi karena panggilan untuk menyukseskan unjuk rasa.
Inilah suatu drama kolosal dari pentas para penganut konsevatif-fundementalisme agama di Indonesia yang sangat menonjol. Di dalamnya terdapat berbagai elemen organisasi, yang secara sengaja hadir sebagai pengamat atau partisipan, yang beridelogi atau tidak atau bahkan ada yang sengaja datang atau sekedar meramaikan saja. Semua dating bersamaan di sini dengan tujuan untuk meramaikan gerakan alumni 212.
Moment seperti ini tentu juga tidak steril dari nuansa politik, misalnya dengan hadirnya Gubernur DKI, Anies Baswedan yang secara lingkungan sosial berada di dalam kategori ini –meskipun dalam wilayah politik—dan juga Prabowo Subiyanto, calon presiden dari koalisi Gerindra dan sebagainya.
Saya kira memang ada banyak kepentingan yang saling bertali temali dengan gerakan alumni 212 ini. ada yang pragmatis, ada juga yang ideologis. Semuanya menyatu dalam perhelatan akbar dalam unjuk rasa tersebut. Jika Prabowo hadir tentu terkait denan dukungan politik yang akan dimainkannya pada tahun 2019, demikian pula Anies juga untuk merawat konstituennya yang kebanyakan juga berasal dari kelompok ini, sedangkan ada juga yang ideologis misalnya ialah mereka yang menegakkan bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid artinya yang ingin mendirikan khilafah Islamiyah dan penerapan Islam secara kaffah.
Dengan sangat mudah untuk menengarai keterlibatan HTI di dalam acara ini. Aksi alumni 212 benar-benar menjadi panggung gerakan HTI dan eskponen lainnya yang memiliki keinginan untuk melakukan perubahan baik dari sisi politik maupun pemahaman keagamaan. Dari sisi politik ialah keinginan untuk ganti presiden dan dari apsek pemahaman keagamaan ialah keinginan untuk menerapkan ajaran Islam yang puris dan konservatif bahkan radikalistis atau penerapan syariah secara kaffah dan pendirian khilafah Islamiyah. Meskipun tidak didapati adanya pidato-pidato yang heroic dengan gerakan-gerakan khilafah sebagaimana aksi 212 tahun lalu, akan tetapi melihat fenomena semaraknya bendara HTI dan juga outward appearance lainnya, maka dipastikan bahwa gerakan konservatif-fundamentalis memperoleh momentum di saat ini. Gerakan aksi 212 merupakan representasi dari semakin menguatnya performance Islam konservatif fundamentalisme di Indonesia.
Sungguh bagi kaum penggerak Islam wasthiyah, tantangan ini bukanlah sesuatu yang ringan-ringan saja. Rasanya tidak bisa lagi berpikir bahwa mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut Islam wasathiyah, sehingga tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan. Sudah saatnya diperlukan kontra gerakan ini dengan pola dan model yang bervariasi. Mereka itu terdiri dari anak-anak muda yang idealis dan terpelajar, sehingga gerakan mereka tentu lebih canggih dan memasyarakat, misalnya penggunaan media sosial dan sebagainya.
Saya menjadi teringat yang disampaikan oleh Haidar Bagir pada waktu ada pertemuan dalam Islamic Higher Education Professor (IHEP) Summit (7-8/12/2018) di Bandung bahwa jejaring masjid di perumahan-perumahan sudah dikuasai oleh kelompok ini. Hal senada pernah juga diungkapkan oleh pimpinan Wanita Islam pada waktu ada acara di Bandung yang juga menyatakan hal yang sama. Jadi saya kira sudah bukan lagi berita hoax tentang penguasaan jejaring masjid-masjid oleh kelompok konservatif-fundamentalis ini.
Para penganut Islam wasathiyah yang kebanyakan generasi X dan berada di pedesaan tentu tidak banyak memahami tentang tantangan ini. Makanya, generasi muda NU, Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya yang berwajah wasthiyah harus “cancut taliwondo” atau berjuang keras agar penetrasi gerakan ini tidak semakin “menggila”. Kita sudah diambang “pertentangan dan rivalitas” untuk memperebutkan sumber daya manusia dan sumber daya instrument keagamaan. Jadi semua komponen penganut Islam wasathiyah pun harus bergerak secara seiring dan sejalan.
Dan saya kira masih ada peluang untuk melakukannya dengan sekuat tenaga. Jangan sampai terlambat sebagaimana terjadi di Mesir yang berakibat fatal bagi keberlangsungan bangsa dan negara.
Wallahu a’lam bi al shawab.