Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KETIKA ANAK MUDA MENCARI JATI DIRI (1)

KETIKA ANAK MUDA MENCARI JATI DIRI (1)

Sesungguhnya banyak anak muda Indonesia yang hebat. Berdasarkan realitas empiris bahwa banyak karya anak muda Indonesia yang hebat di tingkat nasional maupun internasional. Berbagai kompetisi yang dilakukan baik di tingkat olimpiade internasional maupun Olimpiade Sain Nasional (OSN), maka banyak karya yang hebat dan menonjol.

Demikian pula para siswa di lembaga pendidikan Islam juga banyak yang menuai keberhasilan. Di Kementerian Agama terdapat Kompetisi Sains Madrasah (KSM) dan kompetisi robotic yang baik dan menghasilkan produk-produk inovatif yang sangat mendasar. Bahkan juga karya-karya penelitian para siswa madrasah yang hebat di dalam berbagai bidang: ilmu sosial, sain dan teknologi serta agama dan keagamaan.

Semua realitas ini memberikan satu gambaran bahwa anak-anak muda Indonesia sesungguhnya memiliki peluang untuk bersaing atau berkompetisi di era yang akan datang. Dan melalui pembinaan atau bimbingan yang intensif akan dapat dipastikan bahwa akan semakin banyak muncul inovasi-inovasi baru yang berharga di masa mendatang.

Hanya saja yang menjadi perhatian ialah bagaimana dengan keberagamaan mereka ini. Pertanyaan ini dimunculkan sebab berdasarkan hasil survey akhir-akhir ini menggambarkan bahwa semakin banyak anak-anak muda kita yang tertarik dengan ajaran-ajaran yang menyimpang dari keinginan untuk membangun keutuhan negara, berdasar atas 4 (empat) pilar consensus kebangsaan, yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan.

Anak-anak muda kita semakin intoleran terbukti dengan survey yang dilakukan oleh Alvara Research center, bahwa pada aspek persepsi terhadap negara Islam yang perlu diperjuangkan untuk penerapan Islam secara kaffah mencapai 23,5%. Selanjutnya mahasiswa yang tidak mendukung penerapan ideologi Islam mencapai 16,8%, mahasiswa yang setuju dengan Khilafah sebagai bentuk pemerintahan yang ideal dibanding NKRI mencapai 17,8% dan mahasiswa yang setuju dengan pernyataan bahwa saya siap berjihad untuk tegaknya negara Islam/Khilafah mencapai 23,4%. Survey ini memang dilakukan terhadap para mahasiswa, akan tetapi menurut saya bisa menggambarkan tentang bagaimana kecenderungan anak-anak muda kita itu terhadap apa yang akan dilakukan mendatang.

Kita paham benar bahwa para generasi muda inilah yang akan menggantikan posisi apapun di antara generasi yang lebih tua. Mereka adalah penyambung estafeta kepemimpinan bangsa dalam level apapun. Sehingga kehadiran mereka sungguh merupakan tantangan dan solusi untuk masa depan bangsa. Jika mereka baik saat ini tentu akan baik pula di masa mendatang. Itulah sebabnya tanggung jawab generasi yang lebih tua menjadi sangat berat, yaitu untuk mewariskan sejarah masa lalu dan merenda sejarah masa depan. Jika kita berhasil maka berhasillah kita mengemban beban sejarah itu dan jika kita gagal maka hancurlah masa depan bangsa tersebut.

Saya kira generasi tahun 60-an dan 70-an, secara umum tentu berhasil mengembang tanggung jawab sejarah itu dengan tetap konsisten menjaga 4 (empat) pilar consensus kebangsaan. Dan semua ini tentu adalah hasil didikan para pendahulu yang dengan susah payah mempertahankan nasionalisme dan kebangsaan kita. Generasi 60-an dan 70-an itulah yang sekarang sesungguhnya memiliki tanggungjawab yang sangat besar untuk menjelaskan sejarah bangsa di masa lalu, yang berupa catatan emas perjalanan bangsa Indonesia kepada generasi 80-an, 90-an dan 2000-an. Jadi, di pundak ini terdapat beban sejarah yang berat yang harus diwariskan kepada generasi pelanjut untuk Indonesia di masa mendatang.

Padahal, sebagaimana catatan survey yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah menemukan guru cenderung intoleran. Penyebabnya dapat digolongkan dalam 2 (dua) hal, yaitu: (1) guru tinggal di masyarakat yang homogeen, (2) tinggal di kota besar yang majemuk tidak menjamin guru bergaul dengan orang-orang yang berbeda paham dengannya. (Paul Suparno, Kompas, 13/12/2018).

Temuan ini memberikan gambaran bahwa anak-anak muda kita yang terutama terdiri dari mereka yang lahir pada tahun 2000-an akan mengalami masalah di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada tahun-tahun mendatang. Secara singkat bisa dinyatakan bahwa jika para guru yang mengajar mereka adalah para guru yang intoleran, maka dipastikan akan menghasilkan anak didik yang juga tidak toleran. Masalah ini saya kira merupakan hal yang harus memperoleh pencermatan serius di kalangan pengambil kebijakan. Data-data yang terungkap ini harus menjadi basis bagi pengambilan kebijakan tentang dunia pendidikan nasional.

Apa yang dilakukan oleh guru itu merupakan cerminan bagi perilaku siswanya atau perilaku dosen adalah perilaku para mahasiswanya. Jika kemudian para guru atau para dosen mengajarkan kepada mitra didiknya berbasis pada tindakan intoleran, maka mitra didiknya juga akan dipastikan seperti itu, dan bahkan lebih. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Saya kira memang diperlukan rumusan kebijakan yang lebih “tegas” dari para policy maker untuk mengambil peran yang lebih jelas di dalam menangani para pendidik agar ke depan tidak lagi didapatkan para guru atau dosen yang tidak sejalan dengan tujuan bernegara dan berbangsa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..