ISLAMIC HIGHER EDUCATION PROFESSOR SUMMIT 2018 (2)
ISLAMIC HIGHER EDUCATION PROFESSOR SUMMIT 2018 (2)
Pada hari kedua Islamic Higher Education Porfessor Summit 2018, menghadirkan tiga narasumber yang sangat otoritatif dalam bidangnya, yaitu Prof. Dr. Nadirsyah Hussein dari Monash University, Radar Panca Dahana, budayawan, dan Dr. Haidar Bagir, ahli tasawwuf. Acara ini dipandu oleh Prof. Dr. Arskal Salim, Direktur PTKI pada Ditjen Pendidikan Islam Kemenag.
Sebelumnya acara dibuka oleh Pak Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin. Beliau memberikan pengarahan tentang bagaimana meningkatkan peran para gurubesar dalam kehidupan berbangsa dan beragama. Professor itu tidak hanya melakukan pendidikan dan pengajaran akan tetapi juga pengabdian masyarakat. Kita sekarang sedang berada di era disruptif dan era teknologi informasi yang sangat kuat dan massif, maka semua guru besar diharapkan semakin memperkuat perannya di tengah dunia akademik dan sosial kemasyarakatan. Kita sedang menghadapi gerakan konservatisme yang kuat dan terus berkembang, maka para guru besar harus mengusung tema-tema pengabdian masyarakat, riset dan pendidikan berbasis pada moderasi beragama.
Nara sumber pertama, Prof. Nadirsyah, mengingatkan kita semua agar jangan sampai peristiwa di Mesir yang mencoba untuk memberlakukan demokrasi langsung dan ternyata dimenangkan oleh kelompok Mursi atau Ikhwanul Muslimin itu terjadi di Indonesia. Ketika para professor dan tokoh agama di Mesir, khususnya Al Azhar University sadar bahwa kekuatan Ikhwanul Muslimin sudah sangat kuat, dan mereka turun gunung untuk mencegahnya ternyata sudah tidak mampu menahan laju gerakannya. Kekuatan Ikhwanul Muslimin sudah meluber, sehingga gelombangnya sudah tidak mampu ditahan lagi. Kemengan Mursi memaksa militer turun gunung dan menguasai lagi pemerintahan.
Lalu contoh lainnya ialah Amerika Serikat, Donlad Trumph memenangkan pemilihan presiden. Diakibatkan oleh saluran resmi informasi itu berbayar, maka masyarakat dengan terpaksa harus menerima kenyataan melubernya informasi dari team cybernya Trumph. Dengan mengusung tema nasionalisme, maka banyak rakyat yang memercayainya. Padahal, rakyat Amerika itu well inform dalam penggunaan IT. Inilah yang sesungguhnya dikhawatirkan sebab rakyat Indonesia ini masih belum well teknologi informasi. Jadi kalau sekarang perang media sosial tersebut terjadi sangat kuat tentu adalah bagian dari kenyataan tersebut. Banyak media informasi yang berbayar, seperti Kompas, Media Indonesia, Tempo dan sebagainya, sehingga untuk memperoleh informasi yan cepat akkhirnya masyarakat menggunakan saluran tidak resmi dan bisa juga berita hoax dan sebagainya.
Rasanya diperlukan regulasi atau apapun yang bisa memberikan peluang bagi para guru besar untuk menjadi penyebar informasi yang akurat dan bisa mengedukasi masyarakat tentang mana yang benar dan mana yang tidak benar. Perlu para professor menguasai media sosial untuk kepentingan menjaga informasi yang benar dan akurat.
Selanjutnya Radar Panca Dahana memberikan gambaran tentang realitas empiris bahwa kita sesungguhnya banyak melakukan penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar dan Pancasila. System demokrasi kita ini adalah system western atau continental, system ekonomi kita adalah system kapitalis dan bukan system ekonomi sebagai usaha bersama atas system kekeluargaan, kita sudah menyalahi sila-sila di dalam Pancasila tersebut. Semua ini terjadi sebab kebudayaan kita itu disetir oleh system budaya barat yang terjadi semenjak munculnya Bahasa yang distandarisasi oleh pemerintah kolonial tahun 1930-an. Semua harus berstandart Bahasa Indonesia sebagaimana dirumuskan oleh standart bahasa Pemerintah Hindia Belanda. Budaya masyarakat Indonesia itu semestinya ialah budaya kelautan, yang egaliter, yang terbuka bukan budaya gunung pedalaman yang hirarkhis dan bertahap-tahap. Itulah sebabnya Islam dulu diterima oleh masyarakat sebab hadir di wilayah pesisiran dan baru kemudian memasuki wilayah pedalaman. Oleh karena itu, kita harus kembali menghadirkan budaya egaliter, keterbukaan dan tanpa hirarkhi itu untuk menggapai kebersamaan dan kebangsaan.
Sementara itu, Pak Haidar Bagir, menjelaskan tentang kenyataan bahwa kita memang diciptakan Tuhan itu untuk berbeda, bergolongan, berbangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal satu dengan yang lain. Kebenaran itu ibarat kaca yang diturunkan Tuhan ke dunia sehingga pecah berkepng-keping dan kepingannya itulah yang kita anggap sebagai kebenaran.
Ada kepingan yang jatuh di Jawa, Sumatera, India, Arab dan sebagainya. Akan tetapi pecahan-pecahan kaca itu adalah memiliki ruh Tuhan, sebab memang berasal dari Tuhan. Kepingan itu yang kemudian dianggap sebagai kebenaran oleh masing-masing, padahal maksud Tuhan ialah agar kepingan-kepingan itu disatukan sebagai kebenaran Tuhan. Saling mengambil dan memberikan kebenaran sesuai dengan kepingan yang berbeda tersebut. Di dalam tasawuf, tidak ada kebenaran yang satu, sebab semua yang berasal dari Tuhan pastilah mengandung kebenaran. Apapun tafsirannya tentang Tuhan maka di situ dipastikan ada kebenaran.
Jadi jangan menyatakan bahwa kepingannya saja yang benar dan menyalahkan kepingan lainnya. Di sinilah kemudian muncul klaim kebenaran yang mengkafirkan, membid’ahkan dan sebagainya. Orang mau menjadi Salafi, Wahabi tidak apa-apa, asal tidak mengusung konsep takfiri. Sebab di saat mengusung ide ini, maka di sinilah munculnya banyak masalah.
Dan jangan lupa bahwa masjid-masjid perumahan di Jakarta ini sudah dikuasai oleh mereka ini. Ada contoh yang menarik. Sebelum seseorang masuk ke dalam jamaah seperti ini, maka hubungan dengan tetangga sangat baik, tetapi begitu masuk ke dalam jamaah itu, maka hubungan bertetangga menjadi jelek, bahkan para tetangga menjadi tidak menyukainya. Hal ini disebabkan anggota jamaah itu hanya memandang dia yang paling benar dan yang lain salah. Dia yang paling Islami dan yang lain kafir.
Makanya, di sinilah diperlukan tasawuf sebagai pemahaman agama, sebab tasawuf mengajarkan agama yang moderat. Jadi seharusnya pendidikan tasawuf itu diberlakukan di UIN atau IAIN meskipun ada kesulitan-kesulitan. Sekarang direduksi menjadi terapi psikhologi, yang kurang relevan.
Dengan demikian, para guru besar harus dapat masuk ke dalam relung kehidupan masyarakat agar bisa menjaga terhadap beragama yang moderat ini, sebab hanya dengan cara seperti itu, maka eksistensi berbangsa dan bernegara itu bisa dipertahankan.
Wallahu a’lam bia ls shawab.