MANAJEMEN MASJID
MANAJEMEN MASJID:
Dari Yang Kecil Menuju Yang Besar
Hari selasa kemarin, 04/12/2018, saya hadir dalam acara yang diselenggarakan oleh Fakultas Dakwah dan Komunikasi dalam rangka untuk Focused Group Discussion (FGD) tentang Laboratorium Dakwah dan Komunikasi, yang dilakukan secara internal diikuti oleh dosen Fakultas Dakwah dalam berbagai jurusan dan program studi.
Acara ini menghadirkan KH. Jaziri, Takmir Masjid Jogokaryan Jogyakarta, yang selama ini sukses membangun manajemen masjid tidak hanya sukses di dalam negeri tetapi juga di Singapura dan Malaysia. Hadir di dalam acara ini, Prof. Dr. Moh, Ali Azis, MAg., Dr. Abd. Halim, MA dan seluruh pejabat dan dosen pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya.
Sebuah acara yang menarik sebab menghadirkan orang yang memang tepat berbicara tentang manajemen masjid bukan dari teori-teori yang hebat, akan tetapi dari pengalaman yang dilakukan dalam memenej masjid, mulai dari yang sangat mendasar sampai yang berupa pengembangan dan kerja sama luar negeri. Pak Jaziri membahas manajemen dakwah tersebut dari pengalaman yang sangat elementer sampai yang kompleks dan berdaya guna. Semua menggambarkan tentang mekanisme dan dinamika pengembangan manajemen masjid yang fundamental.
Pertama, disampaikan tentang sejarah masjid di Jogokaryan yang berada di kampung komunis. Sebagaimana diketahui bahwa Desa Jogokaryan itu wilayah komunis yang kuat. Bahkan beberapa tokoh komunis pernah hadir pada acara-acara komunis di desa tersebut. Makanya, untuk menghancurkan komunisme itu, maka Jogokaryan dijadikan sebagai medan oleh tentara untuk melawan PKI. Tokoh-tokoh PKI ditangkap di Jogokaryan. Makanya, kampung ini disebut sebagai Kampung Merah alias Kampung PKI.
Lalu dari beberapa tokoh agama di desa itu berkeinginan untuk mendirikan masjid, yang semula agak masuk ke dalam, akan tetapi berkat upaya gigih dari tokoh agama di situ akhirnya bisa mendapatkan tanah yang lebih strategis karena di pinggir jalan. Sebagai Kampung Merah tentu semula jamaah masjid tersebut sangat sedikit. Itupun terbatas pada tokoh-tokoh agama yang terdapat di desa itu. Tetapi kita beruntung sebab banyak mahasiswa yang mau mengabdikan diri di lembaga-lembaga keagamaan, termasuk masjid. Dulu banyak aktivis mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Jogyakarta yang mau menjadi merbot di masjid. Mereka dapat tempat untuk bertempat tinggal dan bertugas untuk membersihkan masjid dan juga menjadi imam atau penceramah agama.
Beruntunglah masyarakat di sekitar kampus IAIN kala itu sebab mendapatkan aktivis masjid yang memiliki pemahaman dan pengamalan agama yang baik dan juga keinginan untuk mengembangkan ekonomi syariah. Jika di masa lalu para aktivis mahasiswa dapat berperan dalam mengembangkan Islam, maka tentu bisa dinyatakan peran tersebut sangat signifikan bagi masyarakat.
Suatu kesempatan diperlukan takmir masjid di Jogokaryan, maka dibuatlah pemilu yang diikuti oleh semua elemen masyarakat di Jogokaryan yang sudah mukallaf dan melalui pendataan kemudian diketahui jumlahnya dan akhirnya dengan system pemilihan tersebut terpilihlah Pak Jaziri untuk menjadi ketua takmir masjid. Hal ini dilakukan agar otoritas ketua takmir masjid tersebut menjadi lebih besar karena dipilih langsung oleh masyarakat. Dari sinilah sebenarnya pengembangan manajemen masjid tersebut terkonstruksi. Mulai dari hal-hal kecil, misalnya pelaksanaan shalat jamaah sampai penyelenggaraan shalat subuh berjamaah. Semua dibuatkan GBHN, sehingga rencana setiap tahun itu diketahui secara jelas, mana yang berhasil dan mana yang belum berhasil.
Kedua, saya kira hal yang sangat mendasar ialah kreativitas. Melalui pemikiran kreatif, maka muncullah banyak inovasi, misalnya membantu beras untuk jamaah miskin, memberikan makan setiap siang hari Jumat, toilet VIP, kamar singgah yang umum dan VIP dan menjadi destinasi wisata ziarah. Prinsip yang dikembangkan ialah zero infaq bagi masjid. Setiap ada uang segera dibelanjakan untuk kepentingan masjid dan jamaah.
Sekarang sudah dikembangkan diseminasi ke masjid-masjid lain baik dalam kegiatan maupun penganggaran. Ada masjid yang menjadi induk dan ada yang diasuhnya. Semuanya dilakukan untuk satu prinsip memperkuat manajemen masjid. Bahkan juga kemudian banyak yang mempercayakan pengelolaan masjidnya sebagaimana yang dilakukan di Jogokaryan.
Upaya keras Pak Jaziri ialah dengan mengembangkan semakin banyak jejaring dengan berbagai pihak, misalnya dengan MUIS di Singapura dan JAKIM di Malaysia. Dengan MUIS misalnya terkait dengan pengelolaan hewan korban pada hari Raya Idul Adha dan dengan JAKIM terkait dengan pengembangan kapasitas kemasjidan.
Di dalam forum ini saya nyatakan bahwa saya dan Pak Jaziri, sama –sama membaca bukunya Drs. Sidi Gazalba, “Masjid sebagai Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam”, Pak Jaziri bisa mengambil inspirasi dari buku itu untuk mengembangkan manajemen dakwah, sementara saya harus berada di dunia yang lain. Tetapi yang jelas, bahwa apa yang disampaikan oleh Pak jaziri, saya kira perlu untuk ditulis sebagai proses untuk menemukan teori manajemen masjid dan jika diperlukan Pak Jaziri bisa diberikan gelar Doktor Honoris Causa (Dr.Hc) untuk kepentingan kelembagaan, bahwa kita punya ikon atau prototype ahli manajemen dakwah yang kelak tentu dibutuhkan untuk membangun kekuatan prodi manajemen dakwah.
Wallahu a’lam bi al shawab.