Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DUNIA POLITIK KITA MAKIN GADUH

DUNIA POLITIK KITA MAKIN GADUH

Tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial (medsos) memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam meningkatkan kegaduhan apa saja. Bisa agama, politik, sosial, budaya dan lainnya. Semua menjadi hiruk pikuk di kala medsos terlibat di dalamnya.

Kita tentu masih ingat dengan beberapa kasus yang melibatkan politisi dan bahkan penceramah agama yang ungkapannya kemudian menjadi bahan perbincangan, baik yang pro maupun kontra di media sosial. Di era cyber war semacam ini, maka setiap ungkapan bisa dijadikan sebagai bahan untuk mengolok-olok, mencibir, memusuhi dan bahkan memicu konflik. Dunia sekarang menjadi lebih hiruk pikuk karena semakin kuatnya media sosial sebagai sarana untuk melakukannya.

Tahun 2019 adalah tahun pilkada, pileg dan pilpres atau yang lazim oleh para ahli ilmu sosial disebut sebagai tahun politik. Konsekuensi dari tahun politik ialah semakin kuatnya “pertempuran”antar peserta pemilu baik secara organisasional maupun individual. Semua berebut panggung yang sama, sehingga konsekuensinya ialah terjadinya berbagai tindakan yang terkadang membuat kegaduhan.

Akhir-akhir ini kita sedang diramaikan dengan pertarungan di antara calon presiden. Pak Jokowi versus Pak Prabowo. Meskipun mereka berdua pernah berangkulan di dalam acara Asian Games, ketika Pencak Silat Indonesia mendominasi perolehan medali. Keduanya saling berangkulan. Pak Prabowo datang sebagai Ketua Ikatan Pencak Silat se Indonesia, sedangkan Pak Jokowi hadir sebagai Presiden Republik Indonesia. Tetapi saya yakin di dalam hati pastilah mereka menyatakan: “sampeyan adalah rival saya di dalam pilpres yang akan datang”. Tangan berangkulan, tetapi hati berdegup karena “bertarung”.

Di antara yang memicu ketegangan akhir-akhir ini ialah pernyataan Pak Jokowi yang viral tentang “politikus sontoloyo” dan yang juga menjadi viral adalah pernyataan Pak Prabowo tentang “tampang Boyolali”. Medsos selalu mengambil posisi yang mereduksi pernyataan orang, terutama tokoh yang saling berkontestasi.

Memang dengan medsos semua bisa diinformasikan dan semua bisa dishare secara menyeluruh. Hanya masalahnya ialah tidak semua yang dishare itu selalu hal-hal yang baik tetapi lebih banyak yang berisi “sampah”.

Di dalam cyber war, memang memastikan terjadinya character assassination. Yaitu pembunuhan karakter yang dilakukan secara sengaja untuk “menghajar” lawan terutama ialah lawan politik. Dan yang digunakannya ialah medsos sebab medsos sangat efektif di dalam kerangka untuk kepentingan ini. Pengaruh medsos tersebut sangat dahsyat di dalam menghasilkan opini yang bervariasi sebagai dampak langsung terhadap pesan dalam medsos.

Sebenarnya, ungkapan Pak Jokowi maupun Pak Prabowo adalah ungkapan spontan tentang berbagai serangan media sosial yang tertuju kepadanya, terutama yang dilakukan oleh Pak Jokowi. Saya berkeyakinan bahwa ungkapan ini tentu tidak berdiri sendiri akan tetapi pastilah merupakan rangkaian dari berbagai fakta atau fenomena yang menjadi latar belakangnya. Munculnya kata ini tentu sebagai akibat dari terpaan ungkapan hate speech yang ditujukan kepadanya. Saya kira siapapun jika terus menerus diserang tentu akan merasa jengkel atau masygul sehingga muncullah ungkapan “sontoloyo”. Terpaan ujaran kebencian yang terus menerus, dan kritik yang terus menerus dialamatkan kepadanya dan tidak berbasis pada realitas yang nyata tentu bisa membuat perasaan tidak enak, apalagi ungkapan ini dipastikan viral di medsos. Berbuat baik dikritik apalagi tidak berbuat tentu malah bertubi-tubi kritiknya. Pak Jokowi tentu sudah berbuat dalam kapasitas yang dimilikinya, dan saya kira banyak yang mengakuinya. Tentu tidak ada pembangunan yang masing-masing berdiri sendiri tentu merupakan kelanjutan, misalnya pembangunan jalan tol yang sekarang juga menuai keberhasilan. Demikian pula pembangunan Bandar udara, pembangunan fisik atau infrastruktur lainnya juga dirasakan banyak orang keberhasilannya. Tentu saja ada yang belum berhasil, tetapi arah menuju keberhasilan tentu sudah disiapkan.

Lalu Pak Prabowo, memang beliau belum pernah tampil sebagai pimpinan tertinggi negeri ini. Beliau sedang berupaya untuk mencapainya. Pantaslah jika beliau mencoba dengan sekuat tenaga untuk meraihnya. Ungkapannya tentang “orang Boyolali” saya rasa bukan dimaksudkan untuk menghina atau merendahkan orang Boyolali. Yang dimaksudkan mungkin ialah agar orang Boyolali bisa bekerja lebih keras agar bisa menginap di hotel atau di mana saja. Saya yakin bukan dimaksudkan sebagai ungkapan “menghina” atau “melecehkan”.

Tetapi inilah dunia medsos. Yang baik bisa jadi salah apalagi yang salah. Dan saya yakin sebagai orang yang memiliki pengalaman yang sangat banyak dalam berorasi, maka baik Pak Jokowi maupun Pak Prabowo pasti sudah memikirkan dengan matang apa yang dibicarakan. Saya menjadi ingat ketika Pak Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama) datang dalam acara Tasrif Award, dan di antara yang menerima ialah “Kaum Gay”, maka lalu dijadikanlah sebagai anggel bahwa Pak Lukman setuju dengan gay. Bahkan ketika ada perkawinan sejenis di Bali, maka lalu dibuatlah satu informasi setelah acara itu selesai dan di dalamnya Pak Menteri memberikan keterangan kepada para watawan, seakan-akan Pak Lukman menyetujui acara itu.

Begitulah Hoak di era Cyber War, dan kita memang harus hati-hati menerima atau menyebarkan disinformasi tersebut di tengah komunitas medsos.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..