MEMBANGUN HARMONI BERAGAMA DI INDONESIA
MEMBANGUN HARMONI BERAGAMA DI INDONESIA
Saya bersyukur sebab masih dilibatkan oleh banyak pihak dalam berbagai acara yang saya kira sangat menarik ialah memberikan penjelasan tentang bagaimana membangun kerukunan dan harmoni bagi bangsa Indonesia di tengah gegap gempita perubahan sosial, termasuk perubahan-perubahan Ideologi dunia.
Pada hari Rabo, 24 Oktober 2018, saya diundang oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) di Malang Jawa Timur dalam forum pertemuan para generasi muda dan juga para pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dari seluruh Jawa Timur. Acara ini merupakan kerja sama antara PKUB dengan Kedutaan besar Korea Selatan di Republik Indonesia, yang setiap tahun menyelenggarakan acara serupa. Hadir bersama saya, Prof, Dr. Ismail Cawidu, Staf Ahli Kominfo, Kepala Pusat KUB, Fery Meldy, PhD., Cand. Dr. Wawan Junaidi, Ubaidillah, dan para mahasiswa, anggota organisasi kepemudaan lintas agama dan juga tokoh-tokoh agama lainnya.
Saya sampaikan tiga hal mendasar terkait dengan bagaimana membangun harmoni beragama. Pertama, kita sedang menghadapi tantangan yang kuat dewasa ini, yaitu era teknologi informasi yang menyebabkan semakin kuatnya penggunaan media sosial di berbagai segmen masyarakat. Dan yang menarik nyaris semua warga negara Indonesia yang memiliki teknologi informasi (HP), maka mereka bisa mengakses media sosial.
Yang juga tidak kalah penting ialah tantangan radikalisme, ekstrimisme, terorisme, anti moderasi agama, anti Islam Nusantara dan sebagainya. istilah radikalisme memang mengandung kontroversi, sebab ada radikalisme positif dan ada yang negative. Beragama tentu bisa bersifat radikal artinya beragama yang menyeluruh dan mendasar atau mendalam. Keyakinan kepada Tuhan itu harus menyeluruh dalam konteks radikal positif. Namun juga harus disadari bahwa ada radikal yang negative yaitu di kala beragama dengan kekerasan, intoleran, terror dan ekstrim. Maka, definisi radikal negative inilah yang harus dilawan dengan berbagai macam cara, baik hard power maupun soft power.
Tentang moderasi agama, saya percaya bahwa yang dimaksudkan ialah moderasi dalam beragama. Yang moderat ialah pelaku agamanya, sebab secara substantive bahwa agama pasti mengajarkan moderasi dalam memahami dan mengamalkannya. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan, intoleransi dan terror. Lalu yang menarik tentang Islam Nusantara. Ada banyak kekeliruan orang dalam memahami Islam Nusantara itu. Dianggapnya bahwa Islam Nusantara itu varian baru Islam. Padahal Islam Nusantara itu ialah Islam sebagaimana di Timur Tengah dalam hal akidah, dan ritual. Hanya saja tentu ada perbedaan dalam aspek luarnya. Cara berpakaian, cara berbudaya dan sebagainya yang pasti ada perbedaan antara Islam di tempat ini dengan di Arab Saudi.
Kedua, kita tentu masih bisa bergembira, sebab mayoritas generasi muda kita masih menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Dalam suatu survey ditemukan data bahwa 90,5 persen anak-anak milenial masih menghendaki Pancasila sebagai dasar negara, dan hanya sebanyak 9,5 persen saja yang menghendaki Pancasila diganti dengan ideology lain. Data ini tentu menggembirakan sebab mayoritas anak-anak muda kita masih berkeinginan sebagaimana founding fathers yang telah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Yang menjadi persoalan ialah jika persentase yang ingin mengganti Pancasila dengan ideology lain itu terus berkembang.
Kemudian, dari aspek pemerolehan informasi kegamaan, ternyata yang tertinggi ialah dari acara keagamaan di televisi, disusul dengan acara keagamaan. Itulah sebabnya media televisi bisa menjadi medium ampuh untuk menjadikan audience kita itu cerdas ataukah tidak. Makanya, diperlukan regulasi yang mengatur mengenai bagaimana ceramah agama di tempat ibadah tersebut berjalan secara teratur dan bermanfaat.
Tentu tidak dibenarkan menyiarkan agama dengan ujaran kebencian, pembunuhan karakter, informasi yang tidak benar dan sebagainya. Tempat ibadah harus dijadikan sebagai wahana bagi penerangan agama yang lebih mengedepankan kerukunan, harmoni dan selamat. Jika menilik data bahwa sebanyak 68,4 persen untuk menjadikan televisi sebagai tempat untuk informasi keagamaan, maka benar-benar menggambarkan adanya minat yang cukup besar para para pemirsa tv dengan acara keagamaan (ceramah agama).
Ketiga, dalam kerangka untuk mengembangkan sikap untuk menjadikan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Keberagaman sebagai consensus kebangsaan, maka saya kira jalan yang bisa dilakukan ialah dengan menjadikan sejarah sebagai instrument untuk mengajarkan tentang bagaimana Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya. Sungguh memperoleh kemerdekaan bukanlah persoalan yang mudah. Indonesia merdeka dengan darah dan daging, dengan segenap jiwa dan raga. Oleh karena itu jangan ada yang mencoba-coba untuk membuat eksperimen untuk mengganti Pancasila dengan ideology lain, atau mengganti bentuk NKRI dengan bentuk negara yang lain. Indonesia ini terlalu besar untuk dieksperimenkan sebagaimana upaya yang dilakukan oleh beberapa eksponen organisasi dan anggotanya, seperti HTI dan JAD, JAT dan sebagainya.
Sedangkan untuk menanggulangi bahaya cyber war dan penyiaran agama yang mengandung kebencian, hoax dan sebagainya, maka masyarakat harus cerdas dan arif. Cerdas terkait dengan kemampuan untuk memilih mana yang menguntungkan dan mana yang menyesakkan, lalu arif ialah agar di dalam bermedia sosial seharusnya menggunakan etika dan sopan santun.
Kementerian Agama sudah membuat maklumat tentang bagaimana menyiarkan agama di tempat ibadah. Ada Sembilan point yang terdapat di dalam edaran tersebut, tetapi tiga di antaranya yang mendasar ialah: jangan sebarkan agama dengan kekerasan, intoleransi, dan mengajak melakukan terror. Berikutnya ialah jangan menjadikan tempat ibadah sebagai tempat menyebarkan anti Pancasila, NKRI, UUD 1945 serta keberagaman. Tempat ibadah harus menjadi tempat yang nyaman di dalam beragama. Lantas, jangan jadikan masjid sebagai tempat untuk mengajak melakukan jihad dalam konteks kekerasan. Dengan tiga hal ini diharapkan bahwa kerukunan beragama atau harmoni beragama akan tetap lestari dan mengejawantah di Negara tercinta ini, Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.