Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

HARI SANTRI: MEMPERTEGAS PERAN SANTRI BAGI BANGSA

HARI SANTRI: MEMPERTEGAS PERAN SANTRI BAGI BANGSA
Saya termasuk yang tidak melakukan banyak hal terkait dengan peringatan Hari Santri yang jatuh pada tanggal 22 Oktober 2018. Banyak orang yang membuat meme, speed writing atau quote yang terkait dengan santri, yang saya kira semuanya sangat baik sebagai upaya untuk meramaikan peringatan Hari Santri yang tentu monumental. Hari Santri merupakan bukti pengakuan negara atas kontribusi kaum santri pada negara dan bangsa.
Saya kira banyak hal yang dilakukan, misalnya berbagai perlombaan, istighasah, shalawatan, bahkan membaca sejuta Shalawat Nariyah yang dilakukan oleh PBNU. Bahkan juga upacara memperingati Hari Santri. Tidak hanya pesantren, akan tetapi juga PTKI dan PTU di Indonesia. Pada hari itu banyak “Orang Bersarung” yang lalu lalang sebagai penanda yang bersangkutan adalah santri.
Rasanya ada keinginan untuk mengaktualkan atau mendifinisikan diri sebagai kaum santri. Di UIN Sunan Ampel Surabaya juga diharapkan agar semua karyawan, dosen, dan mahasiswa memakai sarung. Hari Senin, 22 Oktober 2018 banyak mahasiswa dan dosen serta karyawan yang bersarung, berpakaian koko dan berkopyah. Saya juga mengajar di Program Doktor dengan menggunakan sarung. Termasuk juga mahasiswa saya. Jadi, hari Senin, banyak aktivitas orang-orang bersarung untuk menandai akan hadirnya peristiwa yang penting di negara ini, yaitu Hari Santri.
Masyarakat Indonesia ini –meskipun sudah hidup di era Revolusi Industri 4.0—akan tetapi aura spiritualnya tidaklah luntur bahkan semakin menguat. Coba dilihat bagaimana Makam Para Auliya dijejali dengan pengunjung untuk mendapatkan kebahagiaan spiritual. Ada aura kebahagiaan karena telah mengunjungi orang suci. Inilah yang saya nyatakan bahwa konsepsi Weber tentang disenchantment of the world itu tidak berlaku. Meskipun berada di era paling modern, akan tetapi tindakan mistisnya tetap tidak bisa dihentikan atau berhenti. Bahkan sekarang, wisata ziarah ke Makam Auliya sudah memasuki era bisnis yang sesungguhnya. Banyak perusahaan Tour and Travel yang menawarkan paket-paket ziarah makam suci sebagai andalan dalam usahanya.
NU, misalnya untuk acara Peringatan Hari Santri ialah dengan melakukan ritual “baca shalawat nariyah sejuta” artinya, bahwa aura spiritualnya memang lebih menonjol dari organisasi lain. Memang cara berpikir tentu sangat menentukan bagaimana tampilan tindakan tersebut dilakukan. Jika, kemudian para santri lebih suka membawa aura spiritual di dalam peringatan Hari Santri tentu saja sah-sah saja, sebagaimana orang lain juga sah-sah saja untuk menggunakan momentum Hari Santri justru untuk memperkuat ekonomi dan kesejahteraan ekonomi.
Saya tentu merasa sangat bergembira melihat betapa antusiasme para santri dalam menyambut Hari Santri itu. Rasanya Indonesia ini menjadi tempat bagi masyarakat Santri untuk mengaktualkan identitasnya sebagai kaum santri. Jika di masa lalu santri itu hanya bertempat di pesantren, maka sekarang santri itu berada di ruang-ruang public dan nyaris semua ruang public telah dimasukinya. Memang harus dipahami bahwa telah terdapat perluasan makna tentang santri. Santri bukan hanya yang pernah belajar di bilik-bilik pesantren, akan tetapi orang yang pernah belajar Islam di luar pesantren dan mengamalkannya. Harap diketahui bahwa banyak orang belajar ilmu keislaman dengan pengetahuan yang sangat baik tetapi tidak mengamalkannya. J. Spencer Trimingham yang meneliti sufisme, Snouck Hurgronje, misalnya tentu bukan santri, tetapi Maurice Buchaille dan Leopold von Weiss yang mengubah namanya menjadi Mohamad As’ad adalah seorang santri, sebab beliau belajar ilmu keislaman dan kemudian menjadi Muslim.
Kita bersyukur pemerintah mengakui dan menetapkan tanggal 22 Oktober adalah Hari Santri. Hal ini untuk menandai bahwa kaum Santri atau Kaum Sarungan itu telah memiliki kontribusi yang sangat positif bagi bangsa ini. Tanggal 22 Oktober yang dikenal sebagai fakta Resolusi Jihad, dijadikan sebagai momentum untuk menandai Hari Santri. Apapun, saya kira ini adalah hal yang sangat tepat, sebab dengan pengakuan ini akan memberikan identitas yang jelas bagi para santri dalam memperjuangkan kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Jika di masa lalu, Resolusi Jihad itu untuk membela bangsa dari kaum penjajah, dan jihad diartikan sebagai perang melawan penjajah, maka konsep ini harus tetap melekat bahwa jihad harus diartikan sebagai wahana peperangan bukan untuk melawan bangsanya sendiri yang sudah bersepakat sebagai bangsa, akan tetapi untuk melawan para penjajah yang tidak menghendaki kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
Dewasa ini tantangan kita tentu berbeda. Santri tentu diharapkan dapat menjadi pioneer dalam kerangka untuk melawan kebodohan, kemiskinan, ketertinggalan dan keterpinggiran masyarakat untuk menjadi cerdas, sejahtera, dapat menikmati kehidupan yang lebih baik dan dapat menjaga perdamaian bangsa bahkan di dunia internasional.
Para santri harus terlibat di dalam upaya untuk mewujudkan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi nyata adanya di dalam kehidupan bangsa. Oleh karena itu, rasanya menjadi tepat jika memaknai Hari Santri itu tidak hanya dari aspek ritual dan spiritual, akan tetapi juga memaknai perannya di dalam pendidikan, ekonomi dan perdamaian.
Selamat merayakan Hari Santri. Jayalah Santri Indonesia dan Jayalah Bangsa Indonesia. Dari Santri untuk bangsa. Dari santri untuk Indonesia. wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..