Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMBANGUN KEBERSAMAAN MENUAI KERUKUNAN

Pengantar

Di era keterbukaan dan demokratisasi seakan-akan orang bisa berbuat apa saja dengan mengatasnamakan demokrasi dan keterbukaan itu. Banyak hal yang terjadi dan dengan gampangnya orang mengaitkannya dengan konsep itu. Orang bisa melakukan demonstrasi, orasi, menulis dan bahkan kekerasan dengan mengatasnamakan ekspressi keterbukaan, kebebasan dan demokrasi. Orang merasa menjadi absah untuk melakukan apa saja asal dibelakang aktivitasnya itu ditambah dengan kata-kata sakti ”kebebasan, keterbukaan dan demokrasi”. Sama dengan kata sakti ”pembangunan” di masa Orde Baru. Asalkan di belakang aktivitas ditambah dengan kata ”pembangunan” maka sahlah aktivitas itu sebagai sebuah tindakan yang ”benar”.

Rezim kata-kata itu juga terjadi di era yang disebut orang sebagai Orde Reformasi. Orang selalu melihat peluang untuk melakukan sesuatu untuk melampiaskan kepentingannya. Siapapun bisa dilawan, merasa menjadi oposan, merasa menjadi pahlawan dan merasa menjadi yang paling bermanfaat. Rezim Orde Baru yang telah memenjarakan masyarakat ke dalam titik nol kebebasan menjadikan mereka bereuforia ketika kran kebebasan, keterbukaan dan demokratisasi itu dibuka. Hasilnya adalah yang kita lihat sekarang ini, dimana masyarakat menjadi berani untuk melakukan pembangkangan di dalam banyak hal. Masih untung jika keberanian itu dalam makna yang positif, jika tidak maka yang diperoleh adalah tindakan-tidakan negatif yang tidak menguntungkan.

Di antara yang juga menuai kebebasan adalah tumbuhkembangnya berbagai aliran keagamaan yang mencuat akhir-akhir ini. Betapa banyaknya aliran keagamaan yang muncul dan menuai masalah. Hampir setiap bulan diketahui muncul aliran baru yang muncul dan bertentangan dengan arus utama agama-agama lainnya. Meskipun agama baru itu mengadopsi hal-hal tertentu di dalam agama besarnya. Banyaknya aliran itu terkesan berada di dalam koridor Islam, misalnya. Namun demikian, sesungguhnya jauh di luar koridor Islam sesuai dengan teks dan penafsiran elit agama.

Inilah tantangan masyarakat ini di tengah semakin semaraknya orang berbicara dan bertindak atas nama kebebasan, keterbukaan dan demokratisasi. Ada sesuatu yang paradoks di era yang disebut sebagai keterbukaan dan demokratisasi. Bahkan melalui Hak Asasi Manusia (HAM) orang juga bisa melakukan apa saja dengan dalih sesuai dengan HAM.

Dua Arus

Di era reformasi ternyata ada dua arus yang bergerak cepat. Ada dua hal yang rasanya di masa lalu hanya menjadi hipotesis, ternyata sekarang menuai pembenarannya. Bahwa era keterbukaan, kebebasan dan demokrasi mengandung dua anak yang lahir hampir secara bersamaan dengan corak dan karakter yang sangat jauh berbeda. Dua anak itu adalah fundamentalisme dan lokalisme.

Radikalisme secara sosiologis terjadi ketika masyarakat berada dalam situasi anomi atau kesenjangan antara nilai dengan pengalaman-pengalaman sehari-hari. Kesenjangan tersebut dipicu oleh modernitas yang berkaitan dengan sekularisasi.  Di saat tersebut masyarakat tidak lagi mampu untuk mengatasi kesenjangan karena ketiadaan kekuatan untuk melakukan perlawanan di dalam kesenjangan tersebut. Ketika kesenjangan menjadi semakin kentara, sementara nilai-nilai yang menjadi pegangan semakin tak mampu menjadi pengendali berbagai tindakan sosial, maka akan muncul gerakan radikalisme dalam coraknya yang laten atau manifes. Yang bercorak laten terjadi ketika secara struktural memang tidak memiliki kekuatan untuk melawan berbagai kesenjangan dimaksud. Akan tetapi ketika ia telah memiliki kekuatan –meskipun sedikit—untuk berbuat atau melawannya, maka ia akan berubah menjadi gerakan manifest atau nyata. Contoh yang paling mengedepan adalah munculnya gerakan-gerakan radikal di era tahun 2000-an di berbagai belahan Asia Tenggara, terlebih-lebih di Indonesia.[1]

Menurut Khamami Zada,  dalam kajiannya tentang kelompok Islam radikal seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), KISDI, Laskar Ahlu Sunnah wal Jamaah ternyata bahwa empat kelompok ini memiliki kemiripan terutama dalam memandang Islam sebagai agama dan ideologi, antara lain: 1) Memperjuangkan Islam secara kaffah, 2)  Mendasarkan faham dan praktik keagamaan atas generasi salaf yang saleh (salaf al-salihin). 3) Sangat memusuhi negara-negara barat yang dianggap sebagai setan besar. 4) Sangat memusuhi kelompok Islam liberal karena dianggap telah menghancurkan Islam dengan tafsir agama yang rasional dan kontekstual.[2] Pertentangannya terhadap barat dipicu oleh kenyataan bahwa negara-negara barat adalah yang memproduk modernisasi dan sekularisasi dan juga gerakan-gerakan salibisme yang merusak keyakinan Islam. Sedangkan terhadap Islam liberal disebabkan kelompok ini melakukan tindakan memprofankan hal-hal yang seharusnya disakralkan. Tindakan kaum liberal yang sering menafsirkan doktrin agama dengan mengedepankan konteks alih-alih teks dan logika alih-alih wahyu dianggapnya sebagai agen barat yang akan merusak Islam. Mereka kemudian membuat ungkapan pejorative terhadap gerakan anak-anak muda seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) menjadi Jaringan Iblis Liberal dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) menjadi Jaringan Iblis Merusak Muhammadiyah. Bahkan Luthfi Bashari, menganggap bahwa mereka ini adalah musuh-musuh besar Islam, terutama terhadap kaum Yahudi dan Kristen, yang tidak akan berdiam diri selama umat Islam masih melakukan ajaran Islam secara benar sesuai dengan kaum salaf al-salih, ajaran Islam yang murni sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits.[3] Kaum Islam Radikal juga menganggap bahwa penafsiran agama yang dilakukan oleh sejumlah tokoh intelektual Islam seperti Nurkholis Majid. Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Muslim Abdurrahman, Ulil Abshar Abdalla, Sukidi dan sebagainya selalu dianggap dipengaruhi oleh dan menjadi agen Salibisme (Kristen) dan Zionisme (Yahudi). Mereka secara langsung atau tidak langsung bertindak untuk mendangkalkan keyakinan Islam yang seharusnya diagungkan. Mereka ini adalah kaum liberal yang mampu menyihir banyak orang melalui ungkapan-ungkapan yang dikemas dengan bahasa ilmiah dan akademis. Hartono Ahmad Jaiz juga menilai bahwa di IAIN juga telah terjadi pemurtadan. Melalui berbagai intelektual yang mengajar dan berpengaruh  di IAIN seperti A. Mukti Ali, Harun Nasution, Nurkholis Madjid, Abdurahman Wahid, Dawam Raharjo, Amin Abdullah, Zainun Kamal, Kautsar Azhari Noer, Masdar Farid Mas’udi, dan beberapa intelektual muda seperti Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi dan Sukidi, maka IAIN telah menjadi basis pemurtadan. Melalui tokoh-tokoh tersebut langsung atau tidak langsung telah menyeret IAIN menjadi wadah bagi merebaknya faham sekularisme yang terbaratkan.[4] Penilaian ini tidaklah mutlak benar. Memang harus diakui bahwa ada diantara mereka yang berpikir sangat kontekstual, sehingga penafsiran terhadap teks pun harus tunduk pada konteks sosial teks itu sekarang. Namun sesungguhnya mereka adalah orang yang mencoba untuk melakukan penafsiran teks melalui cara berpikir yang langsung maupun tidak langsung bertabrakan dengan cara berpikir kaum skriptural yang cenderung tekstualistik.[5] Sedangkan sekelompok orang Islam lainnya yang mereka telah belajar mengenai hermeneutika sebagai salah satu cara untuk memahami teks, baik kitab suci maupun realitas sosial maka penggunaan metode ini bukan dianggap sebagai sesuatu yang tabu.[6]

Di kutub lainnya, juga terjadi gerakan kearah lokalisme agama. Pasca reformasi dapat dijumpai banyak aliran-aliran agama yang  menyatakan secara terang-terangan tentang keyakinan dan ritual keagamaan yang sesungguhnya sangat berbeda dengan agama besarnya. Dalam kurun waktu akhir-akhir ini ada banyak keyakinan dan pengamalan agama yang disebut menyimpang. Misalnya ajaran Sumardi di Polmas. Dia beranggapan bahwa Nabi Muhammad bukan Nabi yang diperuntukkan bagi semua umat manusia akhir zaman. Dia yakin bahwa masih ada Nabi lainnya. Namun diakui bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi Allah. Yang menarik bahwa shalatnya sambil bersiul.[7] Kasus Yusman Roy yang melakukan shalat dengan dwibahasa, Arab dan Indonesia, Kasus Ardhi Hussein denganYNKCA di Probolinggo, dan yang terakhir di penghujung tahun 2007 adalah Jamaah Al-Qiyadah al-Islamiyah. Ajaran yang dikembangkan oleh masing-masing tokohnya adalah “penyimpangan” dari mainstream agama Islam atau Islam offisial.

Pada tahun 2008, juga banyak terjadi gerakan kegamaan non-arus utama. Misalnya kasus Lia Eden yang kembali mencuat. Kasus ini sesungguhnya sudah diselesaikan lewat pengadilan dan bahkan tokoh utamanya sudah masuk penjara. Namun demikian, tampaknya penjara tidak membuatnya jera. Sekurang-kurangnya ada 15 aliran yang pada tahun 2008 memasuki kawasan diskursus gerakan lokalisasi agama. Misalnuya, Islam Jamaah, Ahmadiyah, Ingkar Sunnah, Qur’an Suci, Purbokayun, Bondosewu, Talun, Blitar yang cenderung kepada perdukunan. Podo Bongso, Pagerwojo, Kesamben Blitar dengan ajarannya bahwa salat boleh menghadap kemana saja. Aliran Tanpa nama, Wonotirto Blitar dengan ajaran shalat menghadap ke timur dan melakukan free sex  sesama pengikut. Tiket Masuk Surga, Jajar, Talun, Blitar, dengan tokohnya Suliyani dengan ajaran bahwa surga bisa dibayar dengan uang Rp. 4.000.000,-. Keagungan Ilahi, Bandasari, Soreang Bandung dengan tokohnya Wahyu Kurnia yang memiliki ajaran mewajibkan membaca Qur’an dengan diiringi musik disco. Satria Peningit Weteng Buwono, Jakarta Selatan dengan tokohnya Agus Noto Soekartno putra atau Agus Imam Sholihin dengan ajaran boleh melakukan hubungan seksual bersama. Childern of God, Bandung, Purwokerto, Jakarta dengan ajaran dapat melakukan hubungan seks secara bebas. Agama Tanpa Madzab dengan tokohnya yang bernama Sakti Aleksander Sihite yang menfsirkan bahwa  pintu kerasulan masih terbuka dan Amanat Keagungan Ilahi di Cibalong Tasikmalaya yang mengajarkan  melakukan aktivitas ritual di gua.

Ada  yang Menarik tentang Indonesia

Indonesia adalah kawasan yang unik. Dalam sejarah penyebaran ajaran agama apapun hampir tidak dijumpai konflik yang sangat keras. Jika ada, sejauh yang bisa dibaca adalah kepentingan politik di antara elitnya. Peralihan dari agama Hindu-Budha di era akhir Majapahit dan tumbuhnya kekuasaan Islam Demak juga terjadi secara relatif damai. Pertempuran yang terjadi hakikatnya adalah penetrasi kekuasaan kerajaan Demak dan resistensi kerajaan Majapahit akhir dan realitasnya kemudian kekuasaan diambil alih oleh Demak yang kemudian menjadi lokomotif bagi proses Islamisasi di Jawa bahkan Nusantara.

Penyebaran konsepsi Islam pun terus berlangsung. Dalam relasi antara Islam dan politik, sekurangnya dapat ditipologikan ke dalam beberapa hal, yang pertama adalah corak hubungan antara Islam dan politik yang antagonistik. Di era awal Orde Baru corak hubungan tersebut sangat kentara. Dengan dibentuknya organ pemerintah, seperti Kopkamtib adalah sarana untuk melakukan pengawasan secara langsung terhadap aktivitas kegiatan keagamaan. Maka muncullah komando Jihad, Kasus Woyla, dan kasus Periuk yang menandai puncak dari relasi antara Islam dan negara yang antagonistik tersebut. Kedua, di fase berikutnya, corak hubungan antara Islam dan politik adalah saling mengkritisi, misalnya hubungan antara Gus Dur dengan Pak Harto. Gus Dur selaku penggerak demokrasi dan kebebasan harus berhadapn dengan kekuatan Orde Baru yang sangat ootoriter. Melalui kekuasaannya, maka Gus Dur harus berjibaku untuk melakukan resistensi terhadap penetrasi negara yang sangat ambisius. Bahkan di dalam Munas NU di Cipasung pun pemerintah memaksakan untuk mengganti Gus Dur dengan secara tidak langsung membentuk Komite Penyelamat NU yang diketuai oleh Abu Hasan. Hal ini merupakan rekayasa pemerintah untuk mendelegitimasi kekuasaan Gus Dur di dalam tubuh NU.    Namun demikian, kekuatan para “pembangkang” ini pun luruh oleh zaman yang memang menghendaki perubahan-perubahan. Ketiga, adalah fase hubungan simbiotik, yaitu ketika Organisasi NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh organisasi sosial, politik dan kemasyarakatan lainnya. Melalui penerimaan Pancasila oleh NU dalam Munas di Situbondo tersebut, maka relasi antara negara dan Islam menjadi saling membutuhkan. Dan akhirnya lahirlah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang merupakan puncak dari relasi yang saling membutuhkan tersebut. Di era inilah, maka terjadi proses Islamisasi birokrasi dan menandai proses penerimaan Islam dalam kehidupan politik dan kenegaraan.

Sebagai kelanjutan dari proses Islamisasi tersebut, kemudian muncullah berbagai organisasi trans-nasional, seperti Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin Indonesia, Ikhwanul Muslimin dan sebagainya. Sebagai lahan subur bagi proses penyemaian berbagai ajaran agama –apapun—maka aliran ini juga menuai perkembangan luar biasa. Bahkan mereka juga sudah memiliki kekuatan partai politik, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sudah memiliki kekuatan secara signifikan dalam peta perpolitikan nasional.

Inilah uniknya Indonesia itu. Berbagai macam aliran masuk dan tumbuh tanpa harus menimbulkan konflik yang kuat. Tumbuh suburnya gerakan Islam fundamental ini, sedikit atau banyak, telah merisaukan berbagai organisasi keagamaan dominan. Sejumlah kekhawatiran tersebut sesungguhnya dipicu oleh gerakan syariahisasi yang diusung oleh gerakan Islam fundamental, yang ternyata momot keinginan menerapkan Islam berdasar atas pola Islam Timur Tengah, khususnya Islam Wahabi. Aliran puritanistik seperti ini dikhawatirkan akan merusak Islam yang sudah mapan dengan pola Islam lokalitas atau Islam hasil adaptasi dengan berbagai elemen lokal dalam corak budaya yang khas.

Islam yang sesungguhnya menjadi ciri khas Islam Indonesia adalah coraknya yang ramah terhadap budaya lokal. Bukan ajaran ritual yang diadopsi ke dalam Islam, namun aspek budaya yang elementer. Islam yang mengusung kolaborasi antar penggolongan sosial budaya sehingga menjadi Islam yang khas. Bukan Islam dengan pola Timur Tengah yang kering, tetapi juga bukan Islam lokal yang mencampur ritual lokal dengan Islam, tetapi adalah Islam yang berciri Islam Indonesia yang unik. Islam dengan nuansa relasinya dengan dunia sosial, budaya dan politik yang damai inilah yang seharusnya menjadi mainstream bagi pengembangan Islam yang damai dan menyumbang peradaban dunia.

Sebagai bangsa yang multi etnis, agama dan bahasa, masyarakat Indonesia sesungguhnya sudah kaya pengalaman. Semenjak peralihan damai dari agama lokal ke agama-agama dunia, masyarakat Indonesia sudah sangat kaya pengalaman hidup bersama. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam banyak hal, hampir tidak membuat masyarakat Indonesia lupa akan kenyataan dirinya di tengah pluralitas masyarakatnya. Modal historis ini telah menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang besar dalam dinamika relasi antar satu suku dengan lainnya, dan  antara satu agama dengan lainnya.

Namun demikian, di tengah nuansa keharmonisan antar berbagai komponnen tersebut bisa saja dalam suatu kesempatan akan muncul sektarianisme, sukuisme, agamaisme, dan etnisisme yang dapat merusak keharmonisan masyarakat yang telah terbina selama ini. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya mode keberagamaan yang cenderung ke arah “kanan”, melalui truth claimed yang berlebihan. Memang setiap agama memiliki klaim kebenaran yang tidak bisa ditawar, misalnya doktrin teologis dan ritual, namun dalam hal lain yang bercorak hubungan sosial, maka setiap agama mengandung doktrin agar saling menjaga keharmonisan dan kerekatan sosial.

Masyarakat Indonesia sudah belajar banyak tentang perbedaan atau pluralitas. Pelajaran itu tentu saja diambil dari realitas empiris masyarakat Indonesia yang memang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras dan antar golongan. Masing-masing memiliki ciri kehidupannya sendiri-sendiri. Agamanya juga bervariasi, sukunya bervariasi, etnisnya bervariasi dan bahkan mereka bergolong-golongan dalam variasinya. Pluralitas dan multikulturalitas adalah sunnatullah yang indah adanya. Bisa diandaikan jika suatu masyarakat bercorak monokultur maka tentunya tidak akan terdapat keindahan dan warna-warni kehidupan.

Di dalam pertemuan antar agama di Roma, ternyata Indonesia dianggap sebagai model relasi antar umat beragama yang sangat baik. Di dalam laporan khususnya, Jakarta Post menyebutkan bahwa perdamaian di Indonesia adalah model relasi ko-eksistensi perdamian, meskipun hal tersebut adalah tantangan. Di dalam pertemuan oleh The Italian Ministry and the Rome-based Sants’  Edigio Community hosted a high-level Conference on Unity and Diversity, tanggal 4 Maret 2009,  dinyatakan bahwa baik dunia Barat maupun secara khusus kementerian Luar Negeri Italia bahwa Indonesia adalah model dan sekaligus contoh yang baik tentang  eksperimen  sebuah masyarakat yang pluralistik dimana masyarakat yang berbeda dalam etnis dan agama membagi sebuah ruang untuk hidup dan menjadi tempat di mana penghormatan terhadap perbedaan dapat tumbuh kembang secara memadai. Bahkan juga dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri Italia, Franco Frattini, Indonesia sebagai jembatan yang dapat menghubungkan antara Barat dan Islam dalam kerangka mewujudkan perdamaian dunia.[8]

Dalam pandangan para elit agama, bahwa harmoni keagamaan adalah rahmat. Philip Kuntjoro Wijaya, Sekretaris Walubi, menyatakan bahwa  Indonesia yang mayoritas beragama Islam ternyata bisa membawa perdamaian dalam hubungannya dengan agama lainnya. Masyarakat Indonesia yang berbeda-beda agamanya tersebut dapat hidup  berdampingan dalam kerangka harmoni kehidupan beragama tersebut. Demikian pula Bachtiar Effendi juga menyatakan bahwa dialog antar umat beragama dalam dekade akhir  menjadi penting dalam rangka untuk menghasilkan konsep-konsep baru tentang keinginan untuk hidup harmonis. Dialog antar umat beragama tentunya akan menghasilkan hal-hal positif, namun demikian isu tentang perusakan bangunan tempat ibadah, kekerasan agama dan pemakaman dan bantuan asing juga perlu untuk dinilai ulang.

Yang menarik tentunya adalah pernyataan Hasyim Muzadi, bahwa yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia sesungguhnya adalah coeksistensi harmonis. Ketua PBNU ini memang sangat getol mengekspor gagasan tentang Islam Rahmatan lil alamin. Konsep ini ternyata memang menuai zamannya. Melalui penyebaran konsep ini, maka citra Islam yang sempat terpuruk karena kasus Amrozi dan Imam Samodra yang menyimbolkan Islam sebagai jalan kekerasan ternyata dapat direduksi ke titik hampir nol.   Melalui berbagai forum di level internasional yang menggagas tentang kerukunan umat beragama, maka pastilah dituangkan gagasan Islam rahmatan lil ‘alamin tersebut sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Maka, lambat tetapi pasti bahwa pencitraan Islam yang radikal dan keras akhirnya dapat dieliminasi sedemikian rupa.

Melalui berbagai forum yang digelar dalam rangka untuk menjaga relasi harmonis antara elemen umat beragama, maka secara realistis akan dapat membentuk kerukunan antar umat beragama. Kenyataan secara empiris menunjukkan bahwa cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang memberikan semangat dan dapat menjadi model bagi kerukunan umat beragama tentunya bukan hanya pepesan kosong. Hal ini sudah membumi. Oleh karena itu, koeksisteni harmonis yang telah terajut di dalam kehidupan masyarakat tentunya harus terus dipelihara. Jangan sampai keinginan sekelompok orang yang mengatasnamakan agama atau lainnya dapat mengoyak kerukunan yang telah terbina.

Koeksistensi harmonis memang telah menjadi bagian penting di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Di Indonesia tidak dijumpai tirani minoritas dan diktator mayoritas. Dalam sejarah panjang kehidupan umat beragama di Indonesia hampir tidak dijumpai konflik yang sesungguhnya disebabkan oleh faktor agama. Konflik di beberapa daerah di Indonesia, seperti Poso dan Ambon, hakikatnya adalah konflik kepentingan yang kemudian dikuatkan oleh ikatan keagamaan. Maka yang terjadi adalah nuansa konflik sosial ekonomi dan politik yang agar menjadi keras maka faktor agama dilibatkan. Jika tidak diamati secara jeli, orang bisa salah menafsirkan bahwa konflik tersebut adalah konflik agama, padahal sesungguhnya yang terjadi adalah konflik kepentngan yang memanfaatkan agama sebagai penguatnya.

Sebagai bangsa yang telah lama mengadopsi kerukunan beragama sebagai pilar kehidupannya, maka menjadi aneh jika kelak di kemudian hari muncul aliran-aliran yang akan memaksakan kepentingannya melalui penetrasi agama. Kecenderungan untuk memaksakan kepentingan politik berbasis agama di era sekarang akan menjadi preseden buruk bagi kehidupan masyarakat yang berbasis pluralitas di dalam segala seginya. Untuk mengantisipasi agar di kelak kemudian hari tidak akan terjadi suasana chaos yang terkait dengan agama, maka menjaga hubungan harmonis di antara elemen agama tentu menjadi fokus utama. Itulah sebabnya pemerintah lalu membuat regulasi yang mengatur hubungan antar pemeluk agama melalui Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No 8 dan 9 tahun 2006, yang intinya adalah sebagai pedoman untuk membina kerukunan antar umat beragama.

Forum seperti ini telah lama terbentuk di dataran kehidupan sosial. Jika kemudian pemerintah mengatur melalui regulasi, hakikatnya hanyalah sebagai penguat saja agar kehidupan antar umat beregama menjadi lebih baik di masa yang akan datang.

Kesimpulan

Kerukunan umat beragama hakikatnya merupakan inti pembangunan masyarakat. Melalui kerukunan umat beragama ini, maka segala hal yang terkait dengan pembangunan masyarakat akan dapat dilakukan. Secara empiris, bahwa masyarakat Indonesia sudah mempunyai pengalaman yang sangat panjang dalam merenda kerukunan umat beragama. Modalitas sejarah ini tentunya harus dipertahankan di dalam kerangka untuk membangun masyarakat yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat.[9]

Pada era reformasi di mana kebebasan, keterbukaan dan demokratisasi sedang menuai masa kejayaannya, maka jangan sampai hal tersebut akan menjadikan Indonesia terpecah atau tersegmentasi yang disebabkan oleh menguatnya kepentingan masing-masing kelompok.  Islam moderat atau Islam yang menawarkan keselamatan bagi semua kiranya merupakan prototipe bagi masyarakat Indonesia bahkan dunia di masa yang akan datang.

Wallahu a’lam bi al-shawab.


[1] William Liddle pernah merumuskan hipotesis bahwa semakin demokratik di Indonesia maka akan semakin memberikan peluang munculnya berbagai gerakan radikal. Periksa, William Liddle, Skripturalisme Media Dakwah: Satu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam Masa Orde Baru” dalam Jurnal “Ulumul Qur’an”, Nomor 3, Vol. 4, tahun 1993, hlm. 57.     Hipotesis Liddle memang terbukti di lapangan yaitu melalui munculnya Partai Keadilan di tahun 1999 dan kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera di tahun 2003. partai ini memperoleh momentum kuat di tengah berbagai tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme karena partai ini berhasil mengedepankan isu moralitas di dalam melawan berbagai penyimpangan. Hanya sayangnya tindakan high morality itu di lapangan menjadi tercabik-cabik karena isu kepentingan yang juga mengedepan. Akhir-akhir ini semakin banyak tindakan kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang dilabel Islam radikal, misalnya sweeping terhadap WNA, penggerebekan tempat pelacuran, penggerebekan terhadap tempat-tempat hiburan dan berbagai demonstrasi untuk membela kepentingan kelompoknya.

[2] Hamami Zada, Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia. (Jakarta: Teraju, 2002),

[3] Luthfi Bashari, Musuh-Musuh Besar Islam. (Yogyakarta: Widhad Press, 2003)

[4] Periksa tulisan Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005).

[5] Di dalam sebuah edisi jurnal Islamia yang diterbitkan oleh sejumlah cendekiawan yang sedang mengikuti pendidikan doktoral di Malaysia, seperti Adian Husaini, dkk., maka betapa kelihatan penolakannya terhadap penggunaan metode hermeneutika sebagai salah satu cara untuk memahami Al-Qur’an. Penolakan itu bertolak dari pengalaman penerapan hermeneutika sebagai cara untuk memahami Kitab Injil yang memang dianggap bermasalah sedari awal. Sedangkan AlQur’an yang sedari semula telah jelas kodifikasinya tentunya tidak memerlukan metode tersebut. Bahkan sudah didapati perangkat metodologi untuk memahami Al-Qur’an misalnya dengan konsep asbab al nuzul, asbab al-wurud, dan metodologi lain yang sudah teruji. Lihat Jurnal Islamia, Hermeneutika versus Tafsir Al-Qur’an, Edisi Perdana, Thn 1, No. 1 Muharram 1425/Maret 2004.

[6] Periksa Ulil Abshar Abdalla, ”Menghindari ”Bibliolatri”: Tentang Pentingnya Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” dalam Qomaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus, Islam Negara dan Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paeamadina, 2005), hlm. 413-462

[7] Muhammad Atqo, “Depag Anggap Salat Bersiul Lecehkan Agama” dalam http//www. Detiknews.com/2006

[8] The Jakarta Post, “RI peaceful coexistence a model, challenge”, Tuesday, March 10, 2009

[9] Dalam tulisan Samuel Rizk bahkan dinyatakan bahwa Tomur Tengah perlu belajar dari pluralisme di Asia Tenggara. Periksa Samuel Rizk, “What the Middle East can Learn from Southeast Asia on Pluralism” dalam The Jakarta Post, Friday, April 3, 2009, p. 7.

Categories: Makalah