Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TRADISI MEMPERINGATI HARI KESAKTIAN PANCASILA

TRADISI MEMPERINGATI HARI KESAKTIAN PANCASILA
Di masa lalu ada yang mempertanyakan bagaimana Pancasila yang hanya gambar yang terdiri dari lima sila dengan ungkapan-ungkapan yang umum dan standart bisa dinyatakan memiliki kesaktian?. Dengan menyatakan bahwa Pancasila memiliki kesaktian, maka berarti sudah terdapat “kemusyrikan” secara sirri, dan seharusnya tidak ada orang muslim yang menyatakan bahwa Pancasila Sakti.
Saya ingin memberikan gambaran yang berupa jawaban atas statemen ini dalam kerangka untuk memberikan klarifikasi terhadap keberagamaan yang rasanya semakin tekstual saja tanpa mengindahkan nuansa keagamaan yang lebih manusiawi dan menyejukkan. Saya selalu menggunakan cara pandang kecerdasan sosial dan spiritual sekaligus. Dengan cara menggunakan kecerdasan-kecerdasan ini, maka rasanya kita tidak akan jatuh ke dalam penilaian hitam putih dalam menghadapi setiap tradisi termasuk tradisi upacara bendera untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila.
Tradisi memperingati Hari Kesaktian Pancasila merupakan tradisi kebangsaan dan kenegaraan, artinya di sana terdapat intelligensi sosial yang mendasari kegiatan orang untuk menyatakan bahwa Pancasila memiliki kesaktian. Pancasila sakti merupakan ungkapan simbolik untuk menandai bahwa ada suatu saat di mana kebersamaan dan kemenyatuan warga negara Indonesia menjadi taruhan dalam ujian yang dahsyat, dengan tujuan untuk mengganti dasar negara tersebut dengan ideology lain, komunisme. Dan yang menarik bahwa semua elemen bangsa menyatakan “menolak” dengan melakukan tindakan “melawan” atas kedhaliman dimaksud.
Menyatakan Pancasila Sakti bukan berarti bahwa ada yang sakti selain Allah atau yang kuat selain Allah. Sama sekali tidak bisa disepadankan antara Allah sang Maha Khalik dengan Pancasila yang hanya merupakan gagasan kebersamaan untuk membentuk negara bangsa. Pancasila Sakti merupakan pernyataan simbolik bahwa perjuangan untuk menegakkan Pancasila sebagai ideology bangsa akan terus hidup dan bertahan sampai kapanpun. Jika ada individu atau sekelompok individu yang mempermasalahkannya dan bahkan akan menggantinya, maka dengan kekuatan kebersamaan yang disimbolisasikan dengan Pancasila itu akan bergerak bersama.
Sebagai ungkapan simbolik, maka sudahlah lazim, jika kata “kuat”, “perkasa”, “digdaya”, “sakti” itu dilekatkan pada hal-hal yang dapat dijadikan sebagai symbol kebersamaan. Misalnya, di dalam cerita pewayangan, yang melambangkan tentang senjata Kuntawijayadhanu yang memiliki kekuatan atau kesaktian luar biasa dan dimiliki oleh Adipati Karna. Senjata ini hanya dapat ditandingi oleh Senjata Pasopati milik Raden Arjuna yang akhirnya dapat mengakhiri kehidupan Adipati Karna di Padang Kurusetra. Sementara itu, senjata Kuntawijayadhanu dapat menghabisi Raden Gatutkaca karena intervensi Kala Bendana, paman Gatutkaca sendiri.
Jadi kata-kata yang dilabelkan kepada benda, atau consensus, atau pernyataan sebenarnya tidak bisa dinilai sebagai pemadanan terhadap Tuhan dengan segala atribut dan kekuasaannya.
Beberapa saat yang lalu ada seorang akademisi di PTKIN, yang menyatakan bahwa menghormat bendera itu mengarah kepada kemusyrikan. Baginya, tidak pantas warna merah putih itu dihormati. Mungkin baginya, bendera hanyalah kain berwarna yang tidak pantas dan tidak berhak untuk dihormati atau dianggap sebagai memiliki kekuatan. Ungkapan seperti ini tentu berangkat dari pemikiran tekstual tentang benda, warna dan segala hal yang tampak di luar. Di dalam dunia lambang atau symbol, bahwa benda atau apapun merupakan benda atau ungkapan yang mengnadung makna “kesakralan”. Sakral dalam konteks bukan untuk disembah tetapi dihargai sebagai lambang kebersamaan dan kesatuan. Jadi, yang dilihat seharusnya adalah apa yang ada dibalik benda, warna, ungkapan atau ucapan itu sehingga akan lebih komplit untuk membacanya.
Saya kira semua orang yang menghormat bendera, menganggap sakti Pancasila dan juga menganggap orang yang memiliki “kelebihan” misalnya dalam kepemimpinan, tentu bukan menyamakan hal tersebut dengan Tuhan, akan tetapi sebagai bentuk penghormatan kepada apa yang ita anggap “sacral” tersebut. Dalam dunia simbolik, bahwa ada sesuatu yang memiliki keunikan sendiri dan relevansinya sendiri bagi kehidupan individu maupun masyarakat.
Dengan demikian, menyebut hari Kesaktian Pancasila, sesungguhnya harus dipahami dari dimensi inteligensi sosial, yaitu keinginan untuk secara bersama-sama mempertahankan ideology negara, sebagai pengikat kesatuan dan persatuan bangsa dan merupakan ekspressi kebangsaan. Kemudian dari sisi inteligensi spiritual, bahwa menjadikan Pancasila sebagai ideology dan dasar negara adalah design Allah swt untuk bangsa Indonesia. Saya tetap berkeyakinan bahwa tidak ada di dalam dunia ini yang tidak sesuai dengan takdir Tuhan. Sebuah bentuk final dari takdir yang bisa diupayakan atau takdir yang muallaq, yang sangat tergantung kepada bagaimana Tuhan merespon keinginan kuat bangsa ini.
Sungguh tidak ada sedikitpun untuk menjadikan Hari Kesaktian Pancasila itu sebagai penentangan terhadap Allah swt dalam bentuk perilaku musyrik karena menganggap benda memiliki kekuatan atau di dalam konsep antropologis disebut dinamisme, sebab di dalam menjalankan upacara itu yang muncul bukan menyembah Pancasila akan tetapi menjadikannya sebagai lambang kebersamaan atau menjawab kebutuhan social intelligent, yang kita tentu butuh negara, bangsa dengan keharmonisan, kerukunan dan keselamatan. Selain itu juga keinginan untuk memenuhi spiritual intelligent, bahwa Allah telah mentakdirkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar yang selalu bisa memenangkan pertarungan di saat-saat yang kritis.
Marilah kita maknai Ritual Hari Kesaktian Pancasila sebagai hari bersyukur nasional atas keberhasilan bangsa ini untuk terus mempertahankan lambang kebersamaan tersebut dalam konteks pertarungan isme-isme yang terus berkembang di era sekarang.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..