• October 2024
    M T W T F S S
    « Sep    
     123456
    78910111213
    14151617181920
    21222324252627
    28293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMAHAMI KEMISKINAN DI SEKELILING KITA

 Sebagai akibat pembangunan yang lebih berorientasi kepada sistem kapitalistik, maka jurang antara yang kaya dan miskin tentu tidak bisa dihindari. Ada beberapa gelintir orang kaya dan jutaan orang miskin. Memang kekayaan dan kemiskinan merupakan suatu keniscayaan di dunia ini. Namun bukan berarti bahwa jurang antara yang kaya dan miskin itu harus menganga seperti itu. Ada orang Indonesia dengan kekayaan luar biasa, sementara ada banyak orang miskin dengan tidak memiliki apa-apa. Mungkin kita juga tidak perlu berdebat tentang seberapa penurunan angka kemiskinan, sebab angka-angka memang bisa saja direkayasa. Untuk kepentingan politik, misalnya. Tetapi yang paling penting adalah memahami, bagaimana orang miskin itu ada di sekeliling kita.

Menjadi miskin tentu bukan keinginan. Tidak ada seorangpun yang menginginkan kehidupannya melarat. Setiap orang tentu ingin memiliki kehidupan yang sejahtera. Sebagian besar keinginannya bisa terpenuhi. Tetapi realitas lapangan ternyata menyajikan kehidupan yang lain.   Ada jutaan orang miskin, menurut data BPS (31,5 juta orang), tetapi insting kita menyatakan bisa lebih  banyak dari itu.

Memang di dalam konsepsi agama terdapat konsep kaya dan miskin. Konsep ini sangat realistis dalam arti bahwa memang secara empiris dari masa ke masa, selalu ada sekelompok orang kaya dan sekelompok orang miskin. Yang kaya kemudian diberikan tugas agar memberikan sejumlah model pemberdayaan bagi yang miskin melalui konsep zakat, infaq dan shadaqah. Sementara yang miskin menjadi penerimanya. Ini berarti bahwa secara teologis dan empiris, persoalan kemiskinan memang menjadi bagian tidak terpisahkan di dalam kehidupan ini.

Kita sungguh menolak sebagian teoretisasi yang menyatakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh kemalasan. Sebab ada kemalasan absolut dan  ada kemalasan relatif. Jika kemalasan absolut mungkin benar akan menjadi penyebab kemiskinan, namun dalam hal kemalasan relatif, maka belum tentu kemiskinan disebabkan olehnya. Kemiskinan absolut memang malas beneran, tetapi kemalasan relatif bisa saja disebabkan karena ketiadaan kemampuan untuk membuka akses ekonomi, sehingga seseorang kemudian pasrah kepada kehidupannya. Jadi, problem utamanya adalah bagaimana membuka kesempatan bagi yang malas relatif untuk memperoleh kesempatan mengakses ekonomi.

Di dalam hal ini, maka memberi peluang untuk bekerja dan memperoleh pekerjaan tentu sangat penting. Struktur ekonomi yang timpang, hanya memberi peluang kepada yang kaya untuk menjadi kaya merupakan satu di antara penyebab mengapa banyak orang miskin tidak bisa mengakses kesempatan untuk hidup secara layak. Cobalah kita lihat betapa kebijakan ekonomi kita hanya memberi akses kepada yang kaya. Masuknya toko swalayan  ke desa-desa, kecamatan-kecamatan dan sebagainya tentu akan mematikan usaha-usaha orang desa di bidang usaha, seperti toko-toko kelontong, warung-warung nasi dan sebagainya. 

Dengan demikian, kebijakan membuka seluas-luasnya untuk bersaing bebas di tengah keterbatasan yang lain hanya akan mematikan potensi yang sudah ada di masyarakat kita. Tentu tidak akan mungkin masyarakat yang modalnya sangat terbatas bisa bersaing dengan mart-mart yang masuk ke semua lini. Makanya, harus ada kebijakan yang tetap memberikan peluang agar terjadi persaingan usaha secara seimbang kepada masyarakat, agar mereka bisa survive di tengah kehidupan yang semakin sulit.

Kemiskinan, bukanlah musuh tetapi merupakan tantangan.  Dan seperti kita ketahui bahwa tantangan itu ada di sekeliling kita. Mereka sesungguhnya bukan orang yang tidak mau bekerja atau malas bekerja. Cobalah kita lihat bagaimana mereka bekerja keras. Para petani, para buruh, para pedagang kecil, para penjual barang keliling, para kelompok lumpen proletariat. Mereka semua adalah orang yang memiliki semangat kehidupan yang menyala-nyala. Hanya saja struktur sosial tidak memberi peluang mereka untuk hidup sejahtera.

Jadi benarlah teori fungsionalisme yang menyatakan bahwa pada diri orang miskin memiliki sejumlah peran, yaitu memiliki peran ekonomi, politik, sosial dan budaya yang berjuxtaposisi dengan orang kaya atau juga the ruling class. Dari sisi ekonomi bisa menyediakan tenaga kerja murah, dari sisi politik bisa menjadi arah kebijakan politik, dari aspek sosial bisa menjadi sasaran program pemerintah dan dari aspek budaya bisa menjadi stereotip suatu bangsa.

Tetapi di atas itu semua, maka yang penting adalah bagaimana kita peduli terhadap mereka yang hidupnya belum mapan dan sejahtera tersebut.

Wallahu a’lam bi al shawab. 

Categories: Opini