KONTRIBUSI ISLAM PESISIRAN
KONTRIBUSI ISLAM PESISIRAN DALAM PEMBENTUKAN
TRADISI ISLAM NUSANTARA
Oleh: Prof. Dr. H. Nur Syam, MSi
(Guru Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya)
(Makalah disampaikan pada Seminar Nasional di IAIN Kudus, 27/09/2018)
PENDAHULUAN
Secara teoretik tidak bisa dibantah bahwa Islam mula pertama berkembang di wilayah pesisir. Meskipun teori Islamisasi Nusantara tidak seluruhnya disebabkan oleh factor perdagangan, tetapi juga pendakwah sufi dan lainnya, akan tetapi secara umum bisa dinyatakan bahwa Islam pertama kali memang berkembang di wilayah pesisir dan kemudian terus berkembang di wilayah pedalaman.
Pada abad ke 14 sudah terdapat komunitas muslim di wilayah pesisiran Jawa, yang memang memperoleh peluang dari para pejabat negara kala itu untuk menjalankan perdagangan berbasis pada pertukaran barang dari luar negeri ke Nusantara dan juga produk barang dari Nusantara yang dibawa ke luar negeri. Para pedagang dari Timur Tengah dan juga India serta Cina telah hadir dalam percaturan perdagangan di Nusantara, khususnya di Jawa.
Pusat-pusat perdagangan itu memang di wilayah pesisiran dengan pelabuhan yang besar, misalnya Surabaya, Gresik dan Tuban, serta beberapa di pusat komunitas Muslim di pesisiran. Semuanya menggambarkan bahwa Islam pesisiran telah menjalankan dakwah dan penyiaran Islam melalui berbagai macam proses dan hasilnya. Munculnya pesantren di Surabaya—Pesantren Ampel—dan juga pesantren di Giri Gresik memberikan indikasi bahwa daerah pesisir memang menjadi pusat penyebaran Islam dan pendidikan Islam di kala itu.
BASIS ISLAM SAMA
Ada 7 (tujuh) hal yang ingin saya tuliskan terkait dengan bagaimana upaya komunitas Islam Pesisiran dalam mengembangkan Islam di wilayah Nusantara, lalu bagaimana Islam pesisiran berkontribusi dalam pembentukan budaya Islam Nusantara yang sungguh mengagumkan.
Pertama, baik teori Arab maupun teori India—Gujarat—telah menghasilkan sumber daya da’i yang luar biasa. Islam di Nusantara tentu tidak bisa dipisahkan dari para wali yang mengembangkan Islam. Para wali inilah yang sesungguhnya memiliki kontribusi yang sangat positif di dalam pengembangan Islam. Mereka bukan hanya mengajar di tempat tinggalnya, akan tetapi berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah lain. Misalnya, Sunan Giri yang memiliki jejak sejarah di Ternate, lalu juga di Nusantara Barat dan Bali. Islamisasi di Palu, misalnya dilakukan oleh wali dari Sumatera. Misalnya Syekh Jumadil Kubra—kakeknya Sunan Ampel—adalah seorang wali yang bisa saja menetap di Trowulan Mojokerto akan tetapi juga memiliki jejak di Sulawesi Selatan. Lalu Sunan Bonang memiliki jejak sejarah di Madura dan juga di Bawean, Gresik. Sunan Bonang menetap di Tuban, tetapi beliau adalah da’i keliling dari satu wilayah ke wilayah lain.
Kedua, sumber transmisi keilmuan semenjak dahulu adalah Islam Timur Tengah. Hampir semua para wali memiliki jejak keilmuan dari Mekkah. Sebagaimana diketahui bahwa sumber intelektual para wali ialah ajaran Islam yang berada di Timur Tengah. Nyaris semua wali adalah mereka yang secara intelektual memiliki jaringan dengan ulama-ulama Timur Tengah. Itulah sebabnya relasi antara Arab Saudi dengan Indonesia bukan hanya sebagaimana relasi antara Indonesia dengan negara lainnya, akan tetapi berbasis pada kesamaan teologis, keilmuan dan bahkan ukhuwah Islamiyah. Jadi, sesungguhnya Islam Nusantara atau Islam Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan Islam Timur Tengah, khususnya Arab Saudi. Tidak ada keraguan bahwa para penyebar Islam dari dulu hingga sekarang memiliki kedekatan psihologis dengan dunia Arab.
Islam Sunni yang menjadi pandangan atau tafsir keislaman yang dimiliki oleh Islam Nusantara atau Islam Indonesia dengan kebanyakan Islam di Timur Tengah tentu juga menjadi bagian tidak terpisahkan mengenai “kesamaan” pemahaman atau tafsir keagamaan. Jika ada yang berbeda hal itu bukan hal prinsip di dalam Islam tetapi hanyalah pada dimensi cabang-cabangnya yang disebabkan oleh tafsir agama. Al Qur’an dan Al Hadits memang merupakan sumber utama di dalam Islam dan hal itu tidak akan berubah. Hanya memang harus diakui bahwa ada banyak tafsir tentang Al Qur’an atau Al hadits, sehingga tentu akan terdapat ragam penafsiran. Dengan bahasa yangs sedikit “nyentrik” bisa dinyatakan “Satu Kitab Suci, Seribu Tafsir”. Sama-sama kaum Sunni tetapi memiliki rujukan tertentu atas paham keagamaannya. Apalagi dengan kelompok lain di luar sunni, tentu ada perbedaan yang nyata, namun selama dimensi tauhid dan ritual dasarnya sama, maka hal itu adalah kekayaan tafsir atas ajaran agama.
Ketiga, tidak bisa dipungkiri bahwa para penyebar Islam generasi awal adalah para habaib yang memang merekalah yang memperoleh transmisi ajaran Islam dari sumber otentiknya. Makanya, penghormatan terhadap para habaib itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan keagamaan di Nusantara ini. Berislam yang benar ialah dengan menghargai warisan leluhurnya–ajaran Islam yang ditinggalkan oleh para Habaib—dan mengamalkannya sesuai dengan konteks zamannya. Kita semua juga harus meyakini bahwa ada perubahan di dalam kehidupan ini, misalnya jika di masa lalu orang pergi haji dengan onta, maka sekarang tentu dengan pesawat terbang dan mobil. Jadi, jangan memaksakan untuk mengamalkan agama seperti 14 abad yang lalu, terutama yang terkait dengan instrument keagamaan itu. Ada yang tidak boleh berubah semenjak Islam pertama hadir di dunia ini dan ada yang dapat berubah karena perubahan zaman karena memang memungkinkan untuk perubahan tersebut. Dimensi ketuhanan, ritual yang tidak boleh berubah dan ajaran mendasar di dalam Islam tentu tidak boleh berubah, akan tetapi dimensi instrumental tentu boleh berubah. Ada sesuatu yang continuity dan ada yang change.
Keempat, Islam datang di suatu tempat pastilah bukan berada di lahan kosong yang sama sekali belum ada tradisi dan budayanya. Setiap daerah yang didatangi oleh para pendakwah Islam, selalu saja sudah merupakan daerah yang secara kebudayaan sudah maju. Islam datang ke Nusantara ketika system pemerintahan, system ekonomi, system sosial dan system budayanya sudah maju. Tidak ada yang meragukan kehebatan kerajaan Majapahit yang memiliki wilayah seluas wilayah Nusantara sekarang. Tentu saja, system ekonomi, sosial, budaya dan politiknya sudah maju. Islam datang pada saat yang tepat ketika system-sistem tersebut gagal menyejahterakan masyarakat dan system tersebut goyah karena peperangan antar kerajaan di dalamnya. Di saat seperti ini Islam datang dan menawarkan system baru yang egaliter, berkeadilan dan berkesejahteraan.
Di Nusantara telah terdapat berbagai macam tradisi dan budaya. Baik yang terkait dengan life style atau keyakinannya. Semuanya tentu semuanya saling berdialog lalu saling memberi dan menerima. Makanya, ada yang menyebutnya dengan konsep sinkretik, akulturatif dan juga kolaboratif. Semuanya menggambarkan tentang bagaimana Islam itu bertemu dengan budaya local yang sudah mapan di wilayah kebudayaannya.
Kelima, dalam perjumpaan dengan budaya local tersebut, terdapat hal yang unik. Nyaris semua tradisi local kemudian bisa diintegrasikan dengan konsepsi Islam. Di wilayah pesisiran dan saya kira juga di wilayah pedalaman, sudah terdapat budaya local yang semula sangat jauh dari konsepsi Islam. Misalnya tradisi manganan di kuburan, tradisi nyadran di sumur dan tradisi lainnya yang senafas dengan tindakan animisme dan dinamisme lainnya. Namun dengan caranya sendiri para pendakwah dan pemuka agama kemudian bisa mengintegrasikan tradisi local tersebut dengan nafas Islami. Di wilayah pesisir Tuban Jawa Timur, misalnya terdapat penggolongan Wong NU, Wong Muhammadiyah dan Wong Abangan. Wong NU dan Wong Abangan memiliki medan budaya yang sama. Cultural sphere itu ialah kuburan atau makam dan sumur. Ada banyak sumur yang berdasarkan keyakinan local dibikin oleh para Wali. Tempat ini dianggap sacral, akan tetapi dijadikan sebagai tempat untuk nyadran yang memiliki konotasi budaya animisme atau dinamisme. Ketika Wong NU dan Abangan bertemu di ruang budaya seperti ini, maka secara pelan tetapi pasti tradisi nyadran atau manganan tersebut dapat diubah dengan memasukkan ajaran Islam di dalamnya. Yang semula Tayuban atau Sindiran lalu diganti dengan Yasinan dan Tahlilan. Cultural sphere tetap, akan tetapi isi atau substansi berubah menjadi lebih Islami. Dari Tayuban menjadi Thayiban.
Keenam, Lalu dari system dakwah yang bercorak individual menjadi bercorak negara, yaitu dengan munculnya kerajaan Demak, dengan system pemerintahan monarkhi yang didukung oleh para waliyullah di tanah Jawa. Semua berjalan sesuai dengan scenario yang sudah ditetapkan, yaitu negara sebagai instrument untuk mengembangkan agama Islam. Tentu ada riak-rial kecil atau benturan antara kerajaan lama dengan yang baru, tetapi sejauh yang dicatat di dalam sejarah tentu tidak terdapat peperangan besar di dalam proses menjadikan negara sebagai system penguatan Islam di dalamnya.
Di dalam perkembangan berikutnya, relasi antara Islam dan negara mengalami pasang surut. Ada kalanya sangat dekat dan ada kalanya menjauh. Nuansa konfliktual tentu saja terjadi, misalnya di seputar tahun 1965. Akan tetapi pasca itu, maka relasi antara Islam dan negara semakin kondusif. Meskipun diwarnai dengan religious prejudice di masa lalu, akan tetapi dewasa ini kita melihat bahwa relasi antara Islam dan negara sudah semakin baik dan nyaris tidak bisa dipisahkan. Meskipun bukan relasi yang integrated akan tetapi berada di dalam konteks simbiosis mutualistik yang sangat mendasar. Dewasa ini hubungan antara negara dan Islam sangat menentukan terhadap bagaimana masyarakat bisa disejahterakan.
Ketujuh, salah satu kontribusi terbesar bagi tokoh-tokoh Islam baik di masa lalu maupun sekarang ialah melalui jalur pendidikan. Dunia pendidikan Islam sudah bukan lagi sebagai pendidikan pinggiran tetapi sudah memasuki wilayah tengah. Pendidikan pesantren, pendidikan madrasah dan pendidikan nonformal lain yang berciri khas keislaman sudah menjadi daya tarik yang kuat bagi masyarakat. Slogan “pendidikan Islam lebih baik dan lebih baik pendidikan Islam” atau yang lain “Pendidikan madrasah lebih baik dan lebih baik madrasah” sudah bukan lagi slogan tanpa makna akan tetapi sudah menjadi realitas.
PENUTUP
Sesungguhnya Islam itu satu dan tidak ada Islam dalam ajaran yang berbeda. Islam itu sumbernya adalah Al Qur’an, Al Hadits dan pendapat para ulama. Jika yang pertama dan kedua itu sudah final, artinya tidak ada perubahan-perubahan dari keduanya. Namun demikian, dalam pendapat para ulama akan sangat tergantung pada zamannya sesuai dengan problem dan tantangan masyarakat di era sekarang. Oleh karena itu, di kala pemahaman masyarakat berkembang tentu juga mengharuskan adanya penafsiran-penafsiran baru yang relevan dengan dunia kekinian. Akan tetapi satu hal yang pasti bahwa Islam dapat berkembang di masyarakat tentu disebabkan oleh keberadaan para tokoh dan berbagai upaya yang dilakukan, baik dakwah maupun pendidikan.
Dan semua ini, saya kira dimulai dari kontribusi kaum muslim pesisiran yang semenjak awal telah memberikan smbangan nyata bagi Islamisasi di Nusantara. Jadi, saya rasa sumbangan terbesar bagi dunia pesisiran terhadap Islamisasi Nusantara ialah karena kecerdasan dan kearifannya dalam menyikapi terhadap dunia sosial, budaya, politik dan ekonomi di masa lalu, dan berimbas sampai sekarang.
Wallahu a’lam bi al shawab.