Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

NUANSA HANGAT DALAM PERSIAPAN PILPRES (4)

NUANSA HANGAT DALAM PERSIAPAN PILPRES (4)
Secara teoretik, bahwa perilaku pilihan ditentukan oleh sejumlah factor, dan di dalam perilaku politik maka perilaku tersebut dipengaruhi oleh factor penguasaan sumber daya ekonomi, sumber daya manusia, sumber daya lingkungan dan penguasaan masyarakat secara umum.
Dalam konteks SDM, maka melalui kekuasaan maka akan dapat diperoleh penguasaan SDM yang mendukung dan dapat digunakan untuk semakin memperkuat basis penguasaan dimaksud. Dengan berbagai cara, apakah melalui coersi atau hegemoni, maka secara lambat tetapi pasti akan memunculkan “ketundukan” terhadap penguasa. Mereka akan dapat didayagunakan untuk memperbesar kekuasaan. Semakin banyak dukungan terhadap penguasa, maka akan semakin besar peluang untuk memperkuat kekuasaan tersebut.
Dari konteks ekonomi, maka kekuasaan merupakan asset ekonomi yang luar biasa. Setiap kekuasaan pada ujungnya akan bersentuhan dengan dimensi ekonomi. Dalam dunia ekonomi politik, maka konsepsinya ialah “who gets what in what means and how much”. Jadi kekuasaan bertemali dengan besaran asset yang diperoleh. Inilah sebabnya terdapat asumsi “power tends to corrupt”. Kekuasaan merupakan ladang ekonomi. Sebagai contoh, berdirinya Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), pada dasarnya ialah keinginan untuk menguasai ladang minyak di sana untuk mengukuhkan kekuasaan. Jadi bukan untuk kepentingan Islam dan masyarakat Islam akan tetapi untuk menguasai ekonomi perminyakan.
Sesungguhnya kekuasaan merupakan sarana yang efektif untuk mendulang banyak hal sehingga kekuasaan seperti sari madu yang banyak menyedot lebah dan semut dan bahkan juga makhluk lain untuk mengisapnya dan menguasainya. Bukankah ada pepatah yang menyatakan “ada gula ada semut”. Makanya, kekuasaan mengandung kelezatan yang bisa membuat orang mabuk kepayang untuk meraihnya dan menggenggamnya dengan genggaman raksasa agar kekuasaan tersebut tidak pernah lepas dari dirinya.
Di sinilah tempatnya orang menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Tujuan menghalalkan segala cara, demikian tutur Machiavelli. Tokoh ini bukan mengajarkan tentang cara meraih kekuasaan akan tetapi mengamati bahwa di dalam dunia politik, tujuan menghalalkan segala cara. Termasuk di dalamnya ialah menggunakan kampenye hitam atau black champagne yang semarak di media sosial.
Di dalam pilpres 2019, saya kira yang menjadi sosok yang rentan bullying ialah KH. Ma’ruf Amin dan Bang Sandi. Dua posisi wapres ini memang memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dan yang dijadikan sebagai sasaran bullying ialah kekurangannya itu. Kyai Ma’ruf Amin dengan usianya yang senior tentu bisa menjadi sasaran tembak bagi kelompok lain. Sebagai ulama tentu harus menampilkan wajah dan tindakan sebagai ulama, sedangkan di kala menjadi cawapres tentu juga harus menyesuaikan diri dengan berbagai komunitas. Maka, ketika beliau harus menyesuaikan dengan variasi komunitas, maka di sinilah letak kontradiksi antara ulama dengan praktisi politik.
Sandi juga memiliki peluang untuk dibully, misalnya ketika dinyatakannya tentang “biaya” politik, maka sontak banyak pengguna sosmed yang membullinya. Di Indonesia memang salah satu yang rawan adalah mengenai money politics. Oleh karena itu ketika dinyatakan bahwa akan memberikan bantuan biaya operasional dalam pilpres, maka di medsos berkembang issu money politics dalam penentuan wapres. Kekayaan Sandi juga rawan dijadikan sebagai komoditi politik. Sekarang ini, dugaan-dugaan tersebut telah dijadikan sebagai modal politik bagi yang kontra Bang Sandi. Selain itu juga tentang kata atau makna ulama yang justru menjadi bahan olok-olok di medsos. Misalnya orang yang tanpa mengaji dengan tuntas, pergi ke Amerika, kaya dan menjadi cawapres lalu disebut sebagai ulama.
Ketika kita berada di dalam kontestasi apapun dan pada level apapun, maka kata penting yang harus disadari ialah kompetisi. Sayangnya bahwa kompetisi di dalam berbagai tindakan politik selalu menyisakan ruang gelap yang berupa semaraknya berbagai macam character assasination, hate speech, dan juga perilaku membully yang sangat menyesakkan.
Di masa awal kampanye pilpres tahun 2019, genderang perang antar pendukung sudah kita rasakan. Adu cepat dalam penyajian informasi sudah sedemikian mengangkasa. Dan akibatnya ialah terjadinya polarisasi dukungan yang sedemikian kuat. Oleh sebab itu saya tetap berada di dalam kesimpulan, bahwa pilpres tahun 2019 akan jauh lebih “keras” dibandingkan dengan pilpres tahun 2014. Semoga prediksi saya ini salah dan yang terjadi justru sebaliknya pilpres yang sejuk dan damai dan menghasilkan kepemimpinan nasional yang terukur dalam program dan capaian kinerjanya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..