Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

NUANSA HANGAT MENJELANG PILPRES (3)

NUANSA HANGAT MENJELANG PILPRES (3)
Genderang kehangatan menjelang pilpres sudahlah ditabuh. Semenjak dimulainya kampanye, 23/09/2018, maka di sana sini sudah berlangsung kampanye melalui media sosial yang sungguh luar biasa. Memang tidak massive—sebab hanya yang memiliki media sosial saja—akan tetapi dampaknya tentu sudah sangat mendasar.
Meskipun jumlah pengguna medsos adalah kalangan tertentu, akan tetapi tentu massive sebab kebanyakan penggunanya adalah anak-anak muda yang tentu memiliki agenda khusus terkait dengan pilpres. Mereka kebanyakan adalah anak-anak generasi milenial yang sungguh memiliki kepedulian luar biasa bagi media sosial. Dari jumlah penduduk Indonesia, 140 persen lebih jumlah yang memiliki Hand Phone dan setengahnya adalah pengguna medsos. Dari sejumlah tersebut, maka dipastikan bahwa mereka akan menerima dan juga mengirimkan berbagai berita yang diterimanya kepada para pengguna medsos lainnya.
Berdasarkan penelusuran The Next Web (24/4/2018), tentang penggunaan Facebook dan Twitter, maka urutan pengguna medsos tersebut ialah: India (270 juta), Amerika Serikat (240 juta), Indonesia 140 juta, Brazil 130 juta dan Mexico 85 juta orang. Sedangkan pengguna Instagram ialah: Amerika Serikat 120 juta, Brazil 61 juta, India 59 juta, Indonesia 56 juta dan Turki 34 juta orang.
Tentu ini adalah jumlah yang sangat besar dan bisa saja memiliki jejaring terkait dengan pilpres tahun 2019. Di dalam media sosial, misalnya WA, maka banyak sekali grup yang saling bisa berbagi. Belum di Twitter, Instagram dan sebagainya. Semua bisa menjadikan medsos sebagai medium untuk “bertarung” dalam pilpres dimaksud. Makanya kehangatan pilpres tersebut sudah begitu terasa meskipun ranah public belum merasakan dampaknya. Keramaian media sosial sudah sedemikian kuat di masa-masa awal kampanye pilpres ini.
Sayangnya, bahwa medsos menjadi bagian dari cyber war dengan logikanya sendiri, yaitu hate speech, character assassination dan berita bohong atau hoax. Akhir-akhir ini yang banyak menuai serangan di medsos ialah KH. Ma’ruf Amin. Sebagai cawapres yang akan mendampingi Pak Jokowi, maka sasaran yang mudah dijangkau ialah KH. Ma’ruf Amin. Sebagai seorang kyai atau ulama, maka posisinya sedemikian tinggi di dalam jajaran ulama lainnya. Beliau sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai Rais Am PBNU dan juga jabatan-jabatan lainnya di dalam dunia organisasi sosial kemasyarakatan.
Jika di masa lalu, orang menghormati orang yang lebih tua, dan juga menghormat kyai, maka sekarang di era media sosial yang bebas seperti ini, maka segala hal yang terkait dengan etika dan sopan santun sudah tidak ada lagi. Masyarakat Indonesia yang selama ini dikenal sebagai masyarakat religious dan berlaku sangat sopan, maka melalui media sosial hal itu tidak lagi berlaku. Di sini the freedom of expression itu benar-benar berlaku. Orang bisa mengunggah apa saja dan di mana saja. Jika sesuatu tidak sesuai dengan kepentingan dan tujuan politiknya, maka semua dihantam secara berjamaah.
Yang tersebar di media sosial tidak hanya dari aspek usia beliau dan kedudukan beliau sebagai ulama, akan tetapi juga dari tampilan beliau yang mengikuti acara temu pendukung Pak Jokowi dengan iringan music dangdut. Bahkan juga pidato-pidatonya yang juga diserang oleh kelompok lain. Saya merasakan bahwa yang terjadi sungguh-sungguh sudah merupakan upaya untuk membunuh karakter Beliau dalam kapasitas sebagai cawapres Pak Jokowi. Terlepas dari pilihan politik ke depan, tetapi sungguh pembunuhan karakter tentu tidak mendidik umat agar berpikir kritis berbasis pada kearifan. Yang kita butuhkan di era medsos seperti ini ialah bagaimana agar kita dapat menyebarkan informasi yang mendidik. Maka dibutuhkan konten medsos yang bisa memberikan keteduhan dan bukan pertarungan.
Era cyber war memang ditandai perilaku permissive di dalam persebaran informasi oleh berbagai kalangan. Tetapi yang jelas bahwa tujuan utamanya ialah “menghabisi” lawan politiknya untuk tujuan memenangkan pertarungan. Di era ini maka banyak orang yang merasa menjadi jurnalis, sehingga di dalam banyak hal juga tidak mengindahkan etika jurnalistik. Padahal di dalam dunia jurnalistik selalu ada kaidah bahwa tidak semua yang diketahui layak atau patut dipublish dan semua yang dipublish haruslah berdasar atas fakta atau realitas yang jelas kebenarannya.
Namun demikian, di dalam banyak hal yang sesungguhnya mempublih hate speech juga orang yang tahu secara benar mengenai etika jurnalistik. Akan tetapi hasrat kekuasaan dan hasrat ekonomi terkadang lebih mengedepan dibandingkan hasrat kemanusiaan atau religiositasnya.
Melihat kenyataan ini, maka akan dapat diprediksikan bahwa pilpres tahun 2019 rasanya akan berwajah lebih keras ketimbang pilkada serentak tahun 2018. Tentu harapan kita adalah pilpres akan mengedepankan kearifan, kerukunan dan keharmonisan. Upacara liminal ini harus menghasilkan pimpinan negara yang baik dengan proses yang juga baik dan bermartabat.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..