Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

NUANSA HANGAT MENJELANG PILPRES (1)

NUANSA HANGAT MENJELANG PILPRES (1)
Penetapan nomor urut Calon Presiden dan Wakil Presiden untuk pilihan presiden (pilpres) tahun 2019 sudah diselesaikan. Artinya bahwa tahapan pilpres dan pilwapres sudah dilakukan. Sebentar lagi tentu akan diikuti dengan kampanye calon presiden dan wakil presiden. Berdasarkan undian, maka Pak Jokowi dan Kyai Ma’ruf Amin menempati nomor 1 dan Pak Prabowo dan Sandiaga Uno menempati nomor urut 2. Tentu tidak ada yang protest tentang nomor urut ini sebab sudah dilakukan sesuai dengan regulasi dan suasana fairness yang memadai.
Yang sesungguhnya menggembirakan ialah bahwa kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden menyatakan bahwa pilpres merupakan peristiwa yang biasa terjadi dalam sebuah negara demokratis. Makanya yang diperlukan ialah penilaian rekam jejak, adu program dan adu kapastitas sebagai pemimpin bangsa Indonesia. Jangan ada kampanye yang membawa kontestasi agama, etnis, suku bangsa dan sebagainya. Baik Pak Jokowi maupun Pak Prabowo memiliki pandangan yang senada dalam memandang pilpres 2019.
Saya sering menyatakan bahwa tahun 2019 janganlah disebut sebagai tahun politik, sebab dengan istilah itu seakan bahwa tahun 2019 adalah tahun yang “gawat” sebab merupakan tahun politik. Artinya merupakan tahun hiruk pikuk politik yang bisa saja terjadi “keributan” antara pendukung calon presiden dan wakil presiden. Tahun politik selalu identic dengan berbagai “kekerasan” yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri.
Pengalaman pilihan gubernur di beberapa daerah yang menyebabkan terjadinya “kerusuhan” tentu bisa menjadi referensi tentang bagaimana tahun politik itu “anggegirisi” atau menakutkan. Penggunaan agama, etnis dan kesukubangsaan yang digunakan untuk memperkuat posisi dan penguasaan konstituen sungguh bisa menjadi “aib” di dalam pilihan politik. Kasus kerusuhan di Tuban Jawa Timur, Mojokerto dan daerah lain tentu menjadi archetype dalam rangka pelaksanaan pilkada yang bermasalah. Lalu juga pilkada di DKI Jakarta yang juga menyisakan masalah yang belum sepenuhnya tuntas.
Di era media sosial seperti sekarang, maka sesungguhnya “rawan” terjadi kekerasan sosial. Di masa lalu, kala medsos belum menjadi sarana informasi, maka informasi-informasi yang bercorak disinformatif tidak sedemikian mudah menyebar ke seluruh elemen masyarakat. Namun di era medsos seperti sekarang, maka berita yang biasa saja bisa dieksegerasi sedemikian rupa. Sesuatu bisa dihiperbolakan menjadi luar biasa. Di sinilah sesungguhnya kekhawatiran munculnya berbagai kekerasan yang dipicu oleh informasi yang menyesatkan.
Era sekarang disebut sebagai era cyber war. Artinya, bahwa terjadi perang dalam bentuknya yang keras tetapi bukan kekerasan fisik. Yang dihantam ialah dimensi psikhologis sehingga dampaknya menjadi terasa lebih keras. Efeknya ialah memunculkan kebencian yang jika tidak tertahankan akan bisa menyebabkan kekerasan fisik yang sesungguhnya. Penyerangan terhadap etnis Cina yang ketepatan beragama Buddha di Medan, atau kasus penyerangan Gereja di Aceh tentu dipicu oleh tersebarnya berita-berita melalui media sosial.
Akhir-akhir ini nuansa silent war sudah mulai terlihat. Meskipun capres dan cawapresnya mendengungkan agar sama-sama menahan diri untuk tidak melakukan maneuver-maneuver kampanye hitam atau black champagne, namun terasa genderang “perang” tersebut telah dimulai. Ada banyak hal yang sudah dilakukan oleh dua kelompok pendukung Pak Jokowi dan Pak Prabowo untuk saling bermanuver. Misalnya dengan hastag ganti presiden atau #GANTI PRESIDEN, yang dikelola oleh Pendukung Pak Prabowo, terutama kelompok PKS dan segenap pendukungnya. Mereka tidak hanya menyebarkannya lewat medsos tetapi juga aksi misalnya di Australia, bahkan di Tanah Suci. Karena semua menyebar lewat medsos tentu tidak bisa dibendung keberadaan dan penyebarannya.
Bahkan juga mengerahkan umat untuk kepentingan ini, misalnya dengan launching di beberapa daerah, misalnya Surabaya, Riau dan wilayah lain. Kasus pencekalan Neno warisman dan Dani di Riau dan Jawa Timur oleh kelompok Relawan Jokowi atau Rejo tentu menarik untuk menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai kenyataan akan meningkatnya suhu politik di tanah air. Sungguh hal ini merupakan bagian dari upaya untuk memperkuat posisi masing-masing calon yang didukung oleh masing-masing pendukung Pak Jokowi maupun Pak Prabowo.
Kita tentu berharap bahwa hal ini hanya merupakan riak-riak kecil yang bisa menjadi bumbu penyebab bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Kita semua berharap bahwa munculnya kegerahan ini hanya bagian dari upaya untuk meramaikan pesta demokrasi untuk pilihan presiden yang akan datang.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..