• October 2024
    M T W T F S S
    « Sep    
     123456
    78910111213
    14151617181920
    21222324252627
    28293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ORANG MISKIN DAN ORANG KAYA

 Berdasarkan laporan Biro  Pusat Statistik (BPS), ternyata jumlah orang miskin menurun. Menurut BPS bahwa di tahun 2009, ternyata jumlah orang miskin menurun menjadi 31,5 juta. Angka ini yang kemudian menjadi polemik di kalangan para ahli terkait dengan angka tersebut. Bahkan beberapa kalangan menyebutkan bahwa angka tersebut hanya digunakan sebagai “pemanis” keberhasilan pemerintah dalam menangani kemiskinan.

Polemik panas di media cetak meletup tak lama setelah Presiden SBY menyampaikan pidato kenegaraan di depan sidang paripurna DPR, 16 Agustus 2009. Di hadapan ratusan pasang mata anggota Dewan, SBY bersemangat memaparkan angka kemiskinan yang menurun dari 23,3% tahun 1999 menjadi hanya 16% tahun 2005. Pemerintahan SBY masih bertekad mengikis kemiskinan sampai hanya 8,2% dari jumlah penduduk sekitar 230 juta jiwa sampai tahun 2009. SBY juga menyinggung angka pengangguran yang menurun dari 11,8% selama November menjadi 10,4% di awal tahun 2006.

Data BPS menunjukkan telah terjadi penurunan angka kemiskinan sekitar 2,4 persen atau menjadi 31,5 juta jiwa dari total penduduk Indonesia. Ia mengatakan, tidak ingin bicara angka-angka yang bisa dimanipulasi tetapi melihat kondisi rill kehidupan masyarakat

Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2006 berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta arena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Persentase penduduk miskin meningkat dari 17,47 persen menjadi 23,43 persen pada periode yang sama.

Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 19,14 persen pada tahun 2000 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005. Namun pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu dari 35,10 juta orang (15,97 persen) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta (17,75 persen) pada bulan Maret 2006. Penduduk miskin di daerah perdesaan bertambah 2,11 juta, sementara di daerah
perkotaan bertambah 2,09 juta orang.

Peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin selama Februari 2005-Maret 2006 terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut naik tinggi, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen. Akibatnya penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin.

Memang, di Indonesia ini banyak yang paradoks. Satu paradoks itu, misalnya berita tentang orang kaya di Indonesia, Jawa Pos (4/12/09)  menyebutnya sebagai orang paling tajir di Indonesia, yaitu R. Budi & Michael Hartono (Group Djarum) yang memiliki kekayaan sebesar Rp. 65,8 T, Martua Sitorus  (Wimar Internasional) dengan kekayaan Rp. 28,2 T, Susilo Wonowijoyo (Gudang Garam) dengan kekayaan Rp. 24,4 T, Aburizal Bakri (Grup Bakri) dengan kekayaan Rp. 23,5 T, Eka Tjipta Widjaja (Brup Sinar Mas) dengan kekayaan Rp. 22,6 T, Peter Sondakh (Grup Rajawali) dengan kekayaan Rp. 19,7 T, Putera Sampurna (Sampurna Strategik) dengan kekayaan Rp. 18,8  T, Sukanto Tanoto (Raja garuda Mas) dengan kekayaan Rp 17,9 T, Anthoni Salim (Grup Salim) dengan kekayaan Rp. 13,2 T dan Soegharto Sosrodjojo (Grup Sossro) dengan kekayaan 11,3 T. Selain itu juga masih ada beberapanama yang masuk dalam jajaran orang kaya,yaitu: Lou Tuck Kwong (PT Bayan Resources) dengan kekayaan Rp. 10,3 T, Ciliandra Tangiono (CEO perusahaan kelapa sawit First Resources) dengan kekayaan Rp 6,7 T, Hadi Surya (PT Berlian Laju Tanker tbk.) dengan kekayaan Rp. 658 M, Yusuf Kalla Rp. 1,74 T, Sandiaga Uno  Rp. 3,76 T.

Di sisi lain, angka kemiskinan tertinggi juga tedapat di Jawa dan Bali. Bappenas melansir satu data tentang persebaran penduduk miskin di Indonesia. Ternyata  57,8% terdapat di Jawa dan Bali. Jika dilihat urutannya, maka penduduk miskin setelah Jawa dan Bali adalah Sumatera (21%), Sulawesi (7,5%), Nusa Tenggara (6,2%), Maluku dan Papua (4,2%). Jawa dan Bali memang sarat dengan penduduk miskin. Di sini, jumlah penduduk miskin tentu saja disebabkan oleh  banyaknya masyarakat yang tidak bisa mengakses ekonomi. Lahan terbatas, sementara kemampuan untuk mengakses ekonomi di tengah semakin rendahnya peluang kerja dan ketiadaan keahlian yang mendukung kerja di sektor industri, tentu akan menyebabkan jumlah pengangguran dan akses ekonomi  menjadi sangat terbatas.

Jika kita datang ke kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Surabaya, Jogyakarta, Semarang, Surakarta dan sebagainya, maka akan dengan mudah didapati daerah slum area yang selalu menjadi simbol kekumuhan di kota-kota besar. Daerah-daerah seperti ini penuh sesak dengan manusia yang rata-rata bekerja di sektor-sekor informal dan terkadang menjadi penyebab kekumuhan di kota-kota besar. Akibatnya terjadi penumpukan jumlah penduduk di kota-kota besar dan kemudian menyumbang terhadap jumlah warga miskin di Jawa secara umum.

Dengan demikian, terjadilah sesuatu yang paradoks. Di satu sisi terdapat beberapa gelintir orang kaya, dan sungguh-sungguh sangat kaya, di sisi lain terdapat sejumlah besar orang miskin dan tempatnya di sekitar kita. Mereka yang menjadi kaya, tentu saja adalah yang diuntungkan oleh sistem ekonomi yang lebih mengedepankan sistem kapitalisme yang memang cenderung kepada akumulasi modal yang terus melejit. Hanya saja, bahwa akumulasi modal tersebut dalam banyak hal tidak berimplikasi kepada kenaikan kesejahteraan masyarakat secara umum. Jadi, penetesan ke bawah ternyata tidak terjadi.

Makanya, di sebuah sistem yang mengembangkan sistem kapitalisme, maka bisa jadi ”Yang Kaya Semakin Kaya dan Yang Miskin Semakin Miskin”.

Jadi syairnya Oma Irama, sekian tahun yang lalu masih relevan untuk melihat Indonesia sekarang.

Wallahu a’lam bi al shawab. 

Categories: Opini