Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ULAMA: MAKNA BAHASA ATAU KONTEKS (1)

ULAMA: MAKNA BAHASA ATAU KONTEKS (1)
Akhir-akhir ini ada perdebatan yang hangat terkait dengan kata ulama. Perdebatan ini menarik sebab memasuki kawasan politik yang memang memiliki daya tarik yang kuat. Apapun konsepnya, jika memasuki kawasan yang satu ini, maka dipastikan akan ramai dibicarakan. Apalagi di era media sosial yang hingar bingar. Pastilah bahwa perbincangan akan menjadi meluas dengan nyaris tanpa bisa dikendalikan.
Kata ulama muncul di permukaan perbincangan media sosial, berkat pernyataan Mantan Ketua MPR, Pak Hidayat Nur Wahid, Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bahwa Sandiaga Uno adalah ulama. Sontak perbincangan menjadi ramai sebab kata ulama disematkan kepada orang yang selama ini memang tidak dikenal sebagai ulama. Public lebih mengenal beliau sebagai pengusaha sukses dan pegiat kewirausahaan khususnya untuk anak-anak muda. Maklumlah beliau adalah pengusaha yang menuai sukses sebagai berkah krisis ekonomi tahun 1998. Setelah beliau berhenti dari perusahaan internasional, lalu beliau mendirikan jasa konsultan di bidang keuangan dan menuai sukses. Usahanya lalu merambah di banyak sector lainnya, termasuk sector jalan tol.
Pak Hidayat tentu merasa benar, sebab kata ulama itu artinya orang yang ‘alim. Orang yang memahami sesuatu dengan mendasar dan mendalam. Kata ulama disematkan kepada seseorang yang mencapai derajat pengetahuan tinggi dalam bidang apa saja, termasuk bidang ekonomi. Maka bagi Pak Hidayat, Sandiaga Uno pantas memeroleh gelar “ulama”. Orang yang alim dalam bidangnya. Sebagai orang yang lama belajar di Timur Tengah, maka Pak Hidayat menggunakan konsep ulama dalam konteks ahli, termasuk ahli di bidang business. Makanya, orang yang ahli di bidang ilmu apa saja, misalnya matematika, fisika, biologi, ekonomi, hokum, sosial, budaya, politik dan sebagainya adalah ulama dalam konteks sebagaimana pemikiran Pak Hidayat. Maka, sahlah Sandi memperoleh gelar ulama dimaksud.
Di dalam konteks ini, maka Pak Bagir Manan, yang “khatam” dalam bidang hokum, Pak Artidjo Al Kautsar yang ahli di bidang anti korupsi, Prof. Muladi yang ahli di bidang hokum, Prof. Kuntjaraningrat yang ahli di bidang antropologi, Prof. Parsudi Suparlan, yang ahli Antropologi, Prof. Harsya Bachtiar yang ahli di bidang sosiologi, Pak Selo Sumardjan, yang ahli Sosiologi, Pak Chairul Tanjung yang ahli business, Prof. Edi Sedyawati, yang ahli sejarah, Prof. Sri Edi Swasono, yang ahli ekonomi, Prof. Moh. Nuh ahli di bidang teknologi, dan lain-lain adalah ulama dalam makna bahasa ini. Semua dari mereka ini adalah sosok yang sangat menguasai dan mendalami bidang-bidang yang digelutinya. Mereka adalah “alim” dalam bidangnya. Tetapi khusus untuk saya, sebagai Professor Sosiologi, dan meskipun saya alumni Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dan pernah nyantri di desa saya, tetapi saya tidak berani menyandang label sebagai ulama.
Pelabelan ulama pada mereka ini adalah menggunakan konteks kebahasaan, sebagaimana kata ulama yang dipahami dalam bahasa Arab. Jadi, pelabelan Pak Sandi dengan kata ulama adalah berada dalam konteks pemaknaan kebahasaan atau etimologi. Benarkah pelabelan itu? Saya kira tergantung dari sudut pandang mana pelabelan tersebut disematkan. Bagi Pak Hidayat dan gangnya, tentu benarlah pelabelan tersebut. Semua yang berbau Prabowo, sebagai Calon Presiden, maka pelabelan tersebut sahlah adanya.
Namun demikian, di sisi lain, ulama adalah istilah khas yang tentu juga dipahami sebagai konsepsi yang khas pula. Bagi masyarakat Islam Nusantara, maka kata ulama itu adalah konsep yang mengandung “kesakralan”. Tidak semua orang yang ahli bisa dikategorikan sebagai ulama. Berbeda dengan santri yang mengalami “perluasan” makna, maka ulama tidak bisa mengalami “perluasan” makna ini. Kata ini akan tetap menyandang “kekhasannya” sebagai konsekuensi dari pandangan atau pemahaman masyarakat Nusantara tentang kata ulama.
Bagi masyarakat Islam Nusantara, maka kata ulama itu mengacu kepada penguasaan ilmu agama Islam. Mereka haruslah sosok yang memiliki tingkat pengetahuan agama yang luar biasa mendalam dan otoritasnya di bidang agama tidak diragukan oleh siapapun. Mereka harus memperoleh pengakuan bukan dari orang perorang tetapi adalah komunitas yang sama. Yang mengakui keulamaan seseorang adalah komunitas yang memiliki kesamaan otoritas di dalam ilmu keislaman. Mungkin dalil yang bisa digunakan ialah “la ya’rifu al waliy illa al waliy” atau “tidak mengetahui seseorang itu wali kecuali para para wali” atau kalau menggunakan bahasa saya, “la ya’rif al ulama illa al ulama”. Yang memahami bahwa seseorang bisa disematkan sebagai ulama kecuali yang menyematkan ialah para ulama.
Menurut konsepsi kontekstual ini, maka tidak semua orang bisa dilabel sebagai ulama, meskipun yang bersangkutan sangat ahli dalam bidangnya, sebab tentu ada makna kontekstual yang harus dipenuhi untuk menyematkan kata ulama tersebut kepada seseorang. Dengan demikian, penyebutan Bang Sandi sebagai ulama, tersebut tidak sejalan dengan konteks pemahaman ulama yang selama ini dipahami sebagai istilah khusus, bahkan “khushushan li al khushush” hanya untuk orang yang memahami dan mendalami ilmu agama Islam dengan tingkat yang sesiapapun tidak meragukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..