Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DISCOVERY LEARNING

DISCOVERY LEARNING
Saya merasa harus melakukan yang terbaik di dalam proses pembelajaran dalam beberapa mata kuliah yang dipercayakan kepada saya untuk mengampunya. Distansi antara satu mata kuliah dengan lainnya sangat jauh dan berada di dalam bidang yang berbeda-beda. Tidak merupakan program perkuliahan dalam satu rumpun studi yang berdekatan dan bahkan sama.
Namun demikian, perjalanan untuk mengajar ini tentu penting untuk saya alami, mengingat sebagai dosen dengan fungsi mendidik telah lama saya tinggalkan semenjak saya diamanahi tugas sebagai pejabat di Kementerian Agama Pusat. Sungguh saya terkadang merasa bahwa saya tidak lagi setia dengan profesi saya sebagai dosen yang sesungguhnya adalah profesi yang sangat prestisius.
Itulah sebabnya saya harus berbuat total di dalam pembelajaran yang dipercayakan tersebut. Saya akan berusaha untuk melakukan yang terbaik di dalam proses pembelajaran, apapun hasil yang akan berlaku di kemudian hari. Saya harus menyiapkan dengan baik program pembelajaran berbasis pada menemukan sesuatu baik tipologi, konsep dan teori yang seharusnya memang dikuasai oleh peserta didik atau mahasiswa.
Di antara upaya untuk menghadirkan yang terbaik ialah dengan konsep yang saya sebut “discovery learning” yaitu sebuah pembelajaran atau pendidikan yang berbasis pada tujuan pendidikan untuk menemukan tipologi, konsep dan teori atau berbagai penjelasan terkait dengan hal tersebut. Discovery Learning, saya kira bukan konsep baru di dalam pendidikan. Banyak ahli pendidikan yang tentu sudah merumuskannya. Namun sebagaimana biasanya, saya menggunakan istilah atau konsep ini dalam pemahaman saya dan tidak diintervensi oleh pandangan-pandangan para ahli di dalamnya.
Discovery learning tersebut dapat saya gambarkan secara sederhana sebagai proses pembelajaran yang bertujuan dan menghasilkan produk pembelajaran yang memadai sesuai dengan bidang atau disiplin ilmu yang dikajinya. Jadi, ada proses untuk menemukan dan ada hasil temuannya. Saya terus terang terinspirasi oleh Jack Ma, yang menyatakan bahwa peserta didik harus diajar untuk bekerja sama, atau di dalam pemikiran Farid Zakaria sebagai pendidikan untuk menghasilkan pemikiran. Jadi learning for discovery atau learning for thinking.
Di dalam proses pembelajaran ini, maka mahasiswa diajak untuk bersama-sama menemukan sesuatu dan bukan hanya sekedar transfer of knowledge. Pendidikan sebagai transfer of knowledge sudah seharusnya ditinggalkan. Dan yang harus dilakukan adalah dosen dan mahasiswa secara bersama-sama menemukan tipologi, konsep atau teori dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Makanya kerja sama menjadi kata kunci penting untuk proses pembelajaran. Pun pula penilaian juga diberikan bukan pada pencapaian individu akan tetapi capaian kebersamaan tersebut.
Diandaikan di dalam proses pembelajaran dilakukan dengan berbagai cara, misalnya:
1) alternative pertama ialah pembelajaran konvensional, di mana dosen sebagai sumber pengetahuan dan mahasiswa sebagai pendahaga ilmu. Maka mahasiswa haruslah memperoleh sejumlah pengetahuan dari gurunya dan guru berkewajiban untuk menyampaikan semua ilmu yang dimilikinya.
2) model perkuliahan di mana antara mahasiswa dan guru saling memberi peluang untuk menjelaskan. Namun kebanyakan dosen yang memberikan penjelasan berdasarkan atas pertanyaan dari mahasiswanya.
3) pola campuran, mixed learning, yaitu pola pertama dan kedua. Dosen memberikan penjelasan atas tema-tama yang dipilih sesuai dengan kurikulum dan sillabi yang sudah disepakati. Jadi ada proses dialogis antara mahasiswa dan dosennya dalam koridor tetap memberikan posisi lebih kepada dosen. Dosen lebih bersifat menjadi patron sementara mahasiswanya sebagai client. Pola satu, dua dan tiga cocok di masa lalu, tetapi belum tentu cocok untuk masa sekarang.
4) pola kontemporer, ialah di kala mahasiswa dan dosen memiliki kesamaan “derajat” dalam menemukan sesuatu. Dosen tugasnya sebagai “fasilitator” yang akan menjadi orang yang memfasilitasi proses untuk mencapai produk pembelajaran. Sebagai fasilitator, maka tugasnya bukan menjadi penentu, akan tetapi sebagai “mitra” untuk bekerja dan menemukan sesuatu. Tentu saja dosen tetap memiliki otoritasnya sebagai agen atau orang kreatif untuk menemukan sesuatu di kala terjadi kebuntuan atau stagnansi. Dosen harus tetap berada “one step ahead”. Dosen bukanlah follower tetapi inspiratory bagi para mahasiswanya.
Saya mengandaikan bahwa di dalam setiap session perkuliahan, maka dosen bisa membentuk kelompok-kelompok, baik permanen ataupun temporer yang diharapkan akan menjadi teman sejawat untuk menemukan sesuatu. Kepada mereka diberikan tugas untuk menemukan sesuatu di dalam kelas dan bisa juga di luar kelas.
5. di dalam setiap perkuliahan, maka para mahasiswa diwajibkan untuk melaporkan hasil bacaannya atau hasil browsing terhadap sumber informasi yang ditemuinya. Tidak hanya menuliskannya akan tetapi harus menuliskannya dalam konteks membuat essay yang menarik untuk dibaca. Bukan tulisan teknis akan tetapi tulisan yang merupakan kesan pembaca yang kemudian dituangkannya di dalam bahasanya sendiri. Laporan tulisan tersebut bisa diupload di media sosial, blog atau web lainnya yang relevan. Jadi selain melaporkannya dalam kelas diskusi yang dirancang setiap perkuliahan juga dapat dilaporkan melalui media sosial.
Apa yang saya sampaikan tentu bukanlah konsep ideal di dalam metodologi pembelajaran, akan tetapi merupakan cara saya untuk mengajak dosen atau pihak lainnya untuk mencermati bahwa tugas dosen bukan hanya memindahkan pengetahuan saja, akan tetapi lebih lanjut ialah untuk menemukan sesuatu dalam disiplin ilmu yang ditekuninya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..