Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMBACA SEBAGAI JENDELA ILMU

MEMBACA SEBAGAI JENDELA ILMU
Semenjak saya berada di dalam dunia birokrasi yang hiruk pikuk, maka yang terjadi ialah terbatasnya waktu untuk membaca dan menelaah karya-karya akademis yang berat. Kegiatan demi kegiatan yang padat tentu menyita waktu yang luar biasa, sehingga sungguh menyita waktu. Tidak jarang acara diselenggarakan malam hari disebabkan siang hari harus menyelesaikan tugas-tugas perkantoran. Rasanya tidak hanya waktu yang berjalan sedemikian cepat, akan tetapi juga kesempatan untuk membaca yang tidak ada waktunya lagi.
Untunglah saya masih bisa menuliskan apa yang saya kerjakan dan apa yang saya pikirkan. Saya terus menuliskan apa yang saya sampaikan di berbagai forum yang menghadirkan saya. Itulah salah satu “kekuatan” yang saya miliki, sehingga saya masih terus eksis di dalam dunia penulisan. Blog saya, nursyam.uinsby.ac.id masih terus terisi meskipun tidak setiap hari bahkan terkadang dalam 1 (satu) bulan hanya beberapa tulisan.
Dan yang membuat saya bahagia adalah tulisan tentang kegiatan-kegiatan tersebut dapat saya kumpulkan untuk menjadi buku berjudul “Friendly Leadership, Kepemimpinan Sebagai Ruh Manajemen” yang diterbitkan oleh LKIS pada saat menjelang saya lengser dari jabatan Sekjen Kemenag RI. Tulisan yang semula hanyalah sebagai laporan kegiatan itu ternyata bisa menjadi buku yang paling tidak mengandung keunikan. Tidak hanya bicara teori tetapi juga rekaman jejak dan pengalaman selama saya menjabat sebagai birokrat di Kemenag.
Hanya saja tulisan-tulisan saya itu nyaris tidak menggunakan referensi sebagaimana tulisan akademik lainnya. Sangat jarang saya mengutip pendapat para ahli dalam bidangnya. Tentu ada beberapa di antaranya yang mengutip pendapat ahli. Saya hanya mengandalkan daya nalar saya untuk menuliskan apa yang menjadi pikiran saya dan kegiatan saya. Inilah kebahagiaan yang sungguh saya rasakan bahwa saya masih bisa menulis di tengah kesibukan yang menumpuk.
Semenjak saya harus kembali menjadi dosen, maka sesungguhnya waktu relative cukup tersedia. Namun di awal-awal kembali mengajar, maka urusan domestic ternyata juga tidak sederhana. Mulai pindahan dari Jakarta ke Surabaya dengan barang-barang berupa buku dan peralatan rumah tangga tentu harus ditata. Dan hal ini ternyata juga menyita waktu. Makanya, di awal-awal saya kembali ke UIN ini tidak banyak tulisan yang saya rumuskan.
Sebagai dosen tentu harus menyampaikan gagasan, ide atau pikiran yang berbasis pada kajian atau hasil penelitian dan tulisan yang mendukung terhadap gagasan atau ide tersebut. Makanya, saya harus membaca dan terus membaca. Pekerjaan membaca itu bukan sesuatu yang gampang. Sebab membutuhkan konsentrasi dan kekuatan untuk memahami ide dasar dalam tulisan itu. Ada beberapa hal yang saya kira bisa dijadikan sebagai instrument untuk membaca, yaitu: pertama, untuk membaca pemikiran penulis yang mendasarkan pada pemikiran filosofis, maka yang penting ialah menemukan gagasan sentral tentang apa yang dibicarakan. Di dalam konteks ini, maka seorang pembaca harus menangkap pesan yang disampaikan penulis agar bisa menjadi bagian yang relevan dengan pemikirannya. Untuk bisa sampai ke dalam tahap ini, maka diperlukan tingkat konsentrasi yang utuh. Hanya saja, saya termasuk orang yang tidak bisa secara terus menerus membaca dalam waktu panjang. Saya membutuhkan banyak jeda dalam membaca tersebut. Bagi mereka yang sudah memasuki “alam ma’rifat” di dalam membaca, maka ketika seseorang membaca judul buku, maka sudah terbayang tentang apa yang menjadi pesan penulis di dalam karyanya tersebut.
Kedua, membaca buku hasil penelitian. Berbeda dengan membaca buku pemikiran, maka membaca buku hasil penelitian mensyaratkan kita untuk memahami data dan analisis yang dilakukan oleh penulisnya. Di dalam konteks ini, kita dituntut untuk memahami bagaimana data tersebut disajikan (baik dalam uraian pernyataan maupun angka-angka statistic) dan kemudian memahami bagaimana penulisnya menggambarkan atau menjelaskannya dan kita bisa memahami apa yang disajikannya.
Ketiga, membaca buku-buku novel, sastra atau antologi puisi dan seterusnya. Saya tentu termasuk orang yang bersyukur sebab semenjak masih di sekolah menengah sudah menyenangi membaca novel, cerpen, cergam, cerbung dan dan karya sastra lainnya. Saya sudah membaca tulisan Api di Bukit Menoreh, Siti Nurbaya, Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, dan sebagainya. Bahkan saya juga sudah membaca buku-buku pewayangan semenjak saya di sekolah dasar. Komik atau cergam sudah saya akrabi semenjak saya di sekolah dasar. Saya sangat senang membaca buku komik dan menjadi penyewa rutin untuk novel-novel tersebut.
Inilah sebabnya, saya menyenangi dunia penelitian kualitatif pasca beberapa tahun menggeluti dunia penelitian kuantitatif.
Yang ditimbulkan oleh membaca karya sastra ialah tokoh-tokohnya, situasi yang diceritakannya dan juga kesan yang ditimbulkannya. Sampai sekarang saya sangat senang membaca novel berlatar pewayangan, misalnya Rahuvana Tatwa, Sutasoma, dan karya Pramudya Ananta Toer tentang Arok dan Dedes. Pengembaraan dalam cerita-cerita itu sungguh menarik minat saya.
Menurut saya, janganlah kita membatasi diri dengan harus membaca buku yang linear saja. Tetapi bacalah apa yang menyenangkan dan membuat kesan yang baik di dalam kehidupan kita. Sungguh bahwa dengan membaca kita akan merasakan pengembaraan intelektual yang baik dan tentu juga menambah pengetahuan dan wawasan,
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..