Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KEMBALI MENGABDI SEBAGAI DOSEN (3)

KEMBALI MENGABDI SEBAGAI DOSEN (3)
Ketika menginjakkan kaki di Kampus tercinta, UIN Sunan Ampel Surabaya, sebenarnya ada rasa gamang. Kegamangan tersebut disebabkan oleh pemikiran mendasar tentang apa yang harus saya lakukan setelah sekian lama tidak mengajar dalam konteks relasi dosen-mahasiswa, sebagaimana di masa lalu serta tantangan pendidikan yang sangat kompleks.
Saya merasakan betapa waktu yang cukup panjang tidak mengajar membuat saya gamang. Banyak hal yang rasanya tidak saya alami akhir-akhir ini. Bukan disebabkan karena conten pembelajaran yang saya pikirkan, akan tetapi yang lebih mendalam ialah bagaimana menyuguhkan pendidikan yang tidak hanya berbasis pada transfer pengetahuan, akan tetapi menghasilkan temuan yang disebabkan oleh kerja bersama antara dosen dan mahasiswa.
Saya memang getol menyuarakan tentang program pendidikan yang bercorak discovery bukan pendidikan yang berbasis transfer pengetahuan. Jika pembelajaran berbasis pada transfer of knowledge, maka sudah banyak bahan-bahan pembelajaran berbasis teknologi informasi. Search engine, seperti Google dengan sangat cepat akan menghadirkan apa saja yang kita ingin tahu. Nyaris semuanya bisa terpenuhi di mesin pencari ini. Al ilmu fil machine. Dengan Youtube, nyaris semua hal bisa dipenuhi. Mulai dari program televise film documenter, music cadar, music dangdut sampai music keroncong. Semua tersedia dengan lengkap. Jadi jika proses pembelajaran tetap menggunakan pola transfer of knowledge, maka sudah pasti kita akan ketinggalan.
Di sinilah kata kunci mengapa saya gamang. Apakah saya bisa menghadirkan program pembelajaran berbasis discovery record, yang kelak akan berguna di dalam proses penemuan jati diri yang bersangkutan. Saya masih terngiang-ngiang dengan ungkapan Jack Ma, konglomerat negeri Tirai Bambu, yang menyatakan bahwa pendidikan harus berubah. Cara kita mengajar harus berubah. Content pembelajaran harus berubah. Sebab jika tidak berubah kita akan dilahap oleh artificial intelligent yang sangat cermat dan semakin bervariatif dalam jumlah dan kualitasnya.
Sebagaimana yang pernah saya tulis sebelumnya, bahwa Jack Ma menyatakan bahwa “program pembelajaran harus mengajarkan tentang values, believing, independent thinking, team work, care for other. Selain itu juga diajarkan sport, music, painting, art dan sebagainya.” Semua berbeda dengan mesin. Mesin tidak bisa mengajarkan semua ini. Manusia yang bisa mengajarkannya. Di sinilah sesungguhnya dosen memiliki keunikan yang tidak akan bisa dilawan oleh mesin dan piranti lainnya di dalam proses pendidikan.
Akan tetapi yang menjadi problem adalah bagaimana kita menghasilkan pendidikan yang bisa memenuhi hasrat untuk menyongsong era milenial yang semakin kencang ke depan dengan teknologi informasi dan kekuatan artificial intelligent dimaksud. Saya kira inilah tantangan kita yang tidak sederhana, dan kita harus siap menghadapinya. Sementara di antara kita mungkin belum care terhadap problem besar yang menjadi tantangan perguruan tinggi kita itu.
Ada kekhawatiran yang sangat mendasar tentang semua masalah yang sudah berada di depan mata kita ini. Sekali lagi bahwa kita sebagai ahli dan praktisi pendidikan –dalam kapasitas kita masing-masing—tentulah akan dan diharapkan untuk mengantarkan anak-anak kita, generasi yang akan datang untuk berkarya dalam kerangka menyiapkan generasi emas Indonesia, tahun 2030-2045 yang akan datang. Jika kita berhasil mendidik mereka untuk menghadapi tantangan milenial dengan teknologinya itu, maka peluang mereka untuk berhasil tentu sangat besar, sementara itu jika kita tidak mampu menghasilkan anak-anak hebat yang akan menjadi the winners, maka kita akan gagal di masa yang akan datang. Sungguh dunia pendidikan sangat menentukan terhadap masa depan Indonesia ini.
Di dalam batin saya ada sebuah pertanyaan besar yang rasanya harus dijawab oleh dunia pendidika tinggi, yaitu: sanggupkah kita menghadapi derasnya tekanan teknologi informasi yang sudah berada di pelupuk mata?, apakah dengan kemampuan SDM yang kita miliki sekarang ini, sudahkah kita bersiap untuk bertarung dalam pertempuran global dalam menghadapi lajunya perkembangan artificial intelligent yang sebenarnya ciptaan kita sendiri.
Lagi-lagi saya ingat Jack Ma, yang menyatakan bahwa pada tahun 2030, akan terdapat sebanyak 800 juta pekerjaan yang akan digantikan oleh robot atau mesin, dengan tingkat kecepatan dan ketelitian serta keakuratan di dalam pekerjaan yang tidak akan bisa dilawan oleh manusia super sekalipun. Sungguh inilah yang membuat saya gamang kala kembali ke dunia pendidikan yang memiliki 1001 tantangan.
Saya harus focus pada satu dua persoalan saja untuk menghadapi tantangan pendidikan ini di tahap awal dan setelah itu mungkin ada peluang untuk menghadapinya satu persatu.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..