Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KEBAHAGIAAN SEORANG PENDIDIK (1)

KEBAHAGIAAN SEORANG PENDIDIK (1)
Adakah yang lebih membahagiakan bagi seorang guru atau dosen melebihi kebahagiaannya ketika para mitra kerjanya di masa lalu, anak-anaknya, yang sudah lama tidak bertemu kemudian bertemu lagi dalam suatu moment untuk saling bertatap muka, bersalaman bahkan tersenyum dan tertawa bersama. Inilah yang saya rasakan di saat para mahasiswa saya mengunjungi rumah saya –tepatnya rumah dinas Sekjen Kemenag RI—di Jalan Indramayu No. 14, Menteng, Jakarta Pusat.
Malam ini, Kamis, 30/08/2018, memang sengaja dilakukan pertemuan kangen-kangenan untuk saling bertemu dan mengenang masa lalu. Masa di saat kita semua berada di dalam ruang kelas atau di luar ruang kelas, di dalam organisasi atau di ruang diskusi atau seminar dalam kerangka untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan dan menimbanya dalam proses belajar mengajar.
Saya sungguh sangat terkesan melihat mereka datang ke rumah untuk saling bernostalgia. Mereka memang datang dari para sahabat yang sekarang berada di Jakarta setelah mereka menyelesaikan pendidikannya di IAIN Sunan Ampel (kini UIN Sunan Ampel) pada tahun 1990-an atau 2000-an. Mereka memang tergabung di dalam Ikatan Keluarga Alumi (IKA) UIN Sunan Ampel, untuk wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi.
Pasca menyelesaikan pendidikannya di Surabaya, maka ada di antara mereka yang memang asli Jakarta dan ada yang menjadi migran di Jakarta. Ada yang menjadi pengusaha atau menjadi ASN dan juga ada yang berkerja di sector swasta atau bekerja mandiri. Macam-macam latar belakang pekerjaannya sekarang, meskipun latar belakang pendidikan adalah Sarjana Agama (SAg) dan juga ada di antaranya yang Magister Agama (MAg). Bahkan juga ada yang sekarang sedang mengambil program master atau doctor di dalam dan luar negeri.
Salah satu kebahagiaan seorang pendidik adalah mendengar cerita dari anak-anaknya, mitra kerja di masa lalu, yang telah menapaki kehidupan dengan variasinya. Meskipun mereka alumni IAIN akan tetapi ternyata bisa bekerja dengan berbagai macam varian dan tentu dengan tingkat keberhasilan yang beraneka ragam.
Saya sangat menyukai guyonan-guyonannya yang masih bercorak Jawa Timuran. Panggilan Cak atau Mas tentu mewarnai upacara temu kangen ini. Dengan gaya khasnya masing-masing mereka saling berceloteh di masa lalu. Ada yang mentertawakan gaya pacarannya di masa lalu, ada yang bercerita mengenai dunia mereka sewaktu belajar, dan juga cerita tentang riwayat sekolahnya dan sebagainya. Semuanya menandai akan ketersambungan historis masa lalu dengan sekarang yang tidak pernah terhenti.
Acara ini dikoordinasi oleh Ainun Hadi, asli Purwodadi, yang menjalani usaha import barang-barang pabrikan dari Korea Selatan di Jakarta dan diikuti oleh tidak kurang dari 50-an orang. Saya tentu tidak hafal satu persatu di antara mereka. Salah satu kekurangan saya sekarang ialah mengingat nama. Tetapi wajah mereka tentu sangat saya kenal. Apalagi mereka adalah aktivis organisasi di masa lalu. Apapun organisasinya.
Ada yang masih saya kenal karena menjadi bimbingan saya di masa lalu. Ada di antara mereka yang saya kenal betul bahkan judul skripsinya. Ada yang saya kenal betul karena di masa lalu sering mengantarkan saya jika mencari makan atau ke toko buku dan bahkan juga ada yang saya kenal karena mengantarkan saya ke terminal Bus di Jembatan Merah. Saya masih mengenal dengan baik dan bahkan juga gayanya pada waktu itu.
Bolehlah saya bercerita sedikit tentang mereka. Tentu tidak semuanya. Misalnya Inun. Ada 2 (dua) Inun. Lelaki dan perempuan. Ada Inun dari Bawean yang sangat terbuka dan rasanya tidak berubah sampai sekarang. Tertawanya lepas dan omongannya bisa membuat semua tertawa. Begitu bertemu dengan Cak Basith, langsung nerocos, “Cak Sampeyan kok wis tuwek”. Kita lalu saling menggojlok dan akhirnya menyatakan: “Kalau ada suami, saya saya alim”. Siapa yang tidak tertawa mendengarnya.
Beda dengan Ainun, cowok yang berasal dari Purwodadi. Dia ini memiliki kemampuan memijat yang sangat baik. Sebenarnya bisa menjadi profesi. Saya sangat sering dipijit di saat dia datang ke rumah. Saya merasakan sentuhan tangannya memiliki aura penyembuhan. Meskipun begitu dia juga humoris. Dia yang paling sering datang ke rumah. Lalu ada Tika, yang paling suka selfie. Saya mengenal betul tema penelitiannya tentang pedagang buah di Pasar Wonokromo. Baihaqi, yang dipanggil Beq, adalah sisi lain. Logat Maduranya hingga hari ini tidak pernah luntur. Dia sudah lama di Surabaya dan kemudian di Jakarta, akan tetapi kekentalan bahasanya sangat menggambarkan asal-usulnya. Dia ini menyusun skripsi di rumah saya di Tuban.
Saya juga masih mengenal Aini, yang pernah saya bimbing skripsinya. Dia meneliti tentang Shalawat Wahidiyah, dan menghasilkan skripsi yang baik. Skripsinya masih saya simpan sampai hari ini. Dia tetap seperti yang dulu pendiam dan tidak banyak bicara. Saya juga mengenal dengan baik wajah-wajah mereka. Ada juga yang bertemu karena sesama aktivis organisasi. Maklum bahwa yang datang adalah pengurus IKA UINSA, sehingga tentu berlatar belakang dari berbagai Fakultas. Yang jelas bahwa mereka adalah mitra kerja yang tidak akan terlupakan di dalam kehidupan.
Di antara mereka yang hadir malam itu ialah: Margareth Alyatul Maimunah, Misbahul Munir, Fauzan Amin, Desembriar Rosyadi, Adel, Isna, Alihatul Husna, Amel, Abdul Haris, Salim dan lain-lain. Saya sungguh tidak sebutkan semuanya di dalam tulisan ringkas ini. Makanya, jika ada yang tidak disebutkan tentu di lain kesempatan masih ada peluang untuk menuliskannya.
Kebahagiaan itu sesungguhnya kita yang menciptakannya. Malam itu rasanya seperti menguntai kembali tentang apa yang telah kita lakukan selama ini dan apa pula yang sudah tersaji sebagai rona-rona kehidupan kita semua. Sebenarnya, silaturahmi itu tidak hanya bertemunya fisik dengan fisik, akan tetapi juga bertemunya aspek emosional, dan sosial serta religiusitas kita semua. Bukankah acara malam itu tidak hanya sekedar bertemu tetapi juga menjadi arena upacara ritual: Yasinan dan Tahlilan.
Dan saya suka bahwa meskipun mereka ini sudah hidup di hiruk pikuk kota Jakarta, akan tetapi mereka tidak melupakan tradisi ritual yang menjadi perekat spiritualitas di antara kita. Kita tentu berkeyakinan bahwa dengan terus menjadikan tradisi ritual itu sebagai bagian dari hidup kita, maka kita akan menemui kearifan yang lebih baik.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..