Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ISLAM NUSANTARA; BUKAN ISLAM INDONESIA VERSUS ARAB (3)

ISLAM NUSANTARA; BUKAN ISLAM INDONESIA VERSUS ARAB (3)
Lalu apa yang sesungguhnya disebut sebagai Islam Nusantara itu? Islam Nusantara hakikatnya ialah Islam juga yang memiliki kesamaan dengan Islam di tempat lain dalam ajaran yang bercorak universal akan tetapi dalam corak pengamalannya yang sehari-hari maka Islam tersebut berkolaborasi dengan tradisi di mana Islam tersebut disebarkan dan diamalkan.
Di dalam buku saya, “Islam Nusantara Berkemajuan: Tantangan dan Upaya Moderasi Agama” saya jelaskan bahwa “Islam Nusantara Berkemajuan bukan merupakan varian Islam baru, tetapi juga Islam yang sudah mengakar dalam tradisi Islam di Timur Tengah dalam kolaborasinya dengan cultural space masyarakat Nusantara. Lalu membentuk corak Islam yang khas.”
Yang penting bagi kita ialah memahami bahwa setiap ekspressi keagamaan itu selalu terkait dengan di mana seseorang berada. Jika ia di Timur Tengah, maka corak Islam yang dilakukan tentu saja relevan dengan tempat di mana dia berada. Bahkan di antara negara Timur Tengah juga memiliki kesamaan dan juga perbedaan. Hal ini tentu dipengaruhi oleh berbagai factor, bahkan juga factor politik. Di Iran tentu memiliki corak keberagamaan yang berbeda dengan di Arab Saudi. Hal ini tentu karena factor politik yang menyeruak di dalam kehidupan bernegara. Di Iran menganggap bahwa negara itu dibentuk di atas dasar konsepsi “theodemocratic”, artinya bahwa pimpinan negara dipilih, sedangkan di Arab Saudi karena tradisinya bercorak monarkhi, maka raja itu terkait dengan keturunan. Mana yang benar, inilah urusan duniawi. Antum a’lamu bi’umuri dunyakum”.
Di Arab Saudi orang berhari raya dalam waktu yang sama. Tetapi di Indonesia orang bisa berhari raya dalam waktu yang berbeda. Di Indonesia, orang melakukan shalat dengan berkopyah dan bersarung atau memakai celana, tetapi di Arab Saudi, orang shalat dengan gamis dan pakaian khas Arab. Jadi ada aspek universalnya dan ada aspek partikularnya. Ada yang bercorak Islam sebagai pesan dasarnya, dan ada yang “tambahan” sesuai dengan cultural sphere di mana Islam tersebut diamalkan. Jadi, memang tidak ada cara menafsirkan Islam yang monolitik, sebab memang di kala Islam itu sudah sampai di tangan manusia, maka dia akan ditafsirkan sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.
Saya tidak ingin menggunakan dalil sosiologis untuk memberikan gambaran tentang penafsiran Islam itu. Akan tetapi dengan dalil yang sederhana saja kiranya akan dapat diketahui bahwa level pemahaman, pengamalan dan ekspressi berislam itu sangatlah variatif. Saya kira jika ada orang yang mengingkari terhadap hal ini, maka dia bisa disebut sebagai orang yang a-historis. Orang yang mengingkari sejarahnya sendiri. Dan inilah yang kebanyakan dipikirkan oleh mereka yang bisa dilabel sebagai “Islam Ideologis” atau orang yang berkeinginan memperjuangkan Islam sebagai dasar negara atau negara khilafah.
Kaum ideologis Islam memang selalu berpandangan bahwa Islam yang dikehendakinya ialah Islam yang sebagaimana ditafsirkannya. Tidak ada tafsir atas teks yang dianggap benar kecuali tafsirnya sendiri. Itulah sebabnya yang berbeda pasti dianggap salah dan hanya dia dan kelompoknya saja yang benar. Semua yang tidak terdapat di dalam teks sesuai dengan tafsirnya bisa dianggap sebagai bidh’ah. Yasinan, tahlilan, dzibaan, manaqiban dan sebagainya dianggap sebagai pengamalan beragama yang salah. Padahal itu merupakan ekspressi keagamaan yang lebih dekat dengan makna budaya dan agama. Mereka bertemu dan membaca yasin, atau tahlil atau dzibaan. Di Arab Saudi tentu tidak ada tradisi-tradisi seperti ini. Inilah yang kiranya disebut sebagai ekpressi Islam di dalam lokus wilayah Nusantara atau lebih lazim disebut sebagai Islam Nusantara.
Saya lebih melihat bahwa perdebatan Islam Nusantara itu bukanlah perdebatan tentang Islam itu sendiri akan tetapi merupakan perdebatan untuk “menguasai” wacana dan kemudian berimplikasi “politik”. Harus dipahami bahwa perdebatan ini tentu muncul terutama pasca gerakan pilkada DKI yang memiliki tingkat hiruk pikuk yang sedemikian kuat. Di dalam banyak hal kemudian menggunakan basis ajaran agama atau sentiment keagamaan untuk memperkuatnya.
Mereka yang menolak terhadap Islam Nusantara hakikatnya ialah mereka yang berpandangan “Islam Politik”. Artinya bahwa negara Indonesia ke depan haruslah menjadi negara Khilafah, atau sekurang-kurangnya ialah negara syariah. Mereka berkeinginan agar praktik politik di Indonesia ialah dalam coraknya untuk menata negara dengan system khilafah yang dianggapnya sebagai kebenaran.
Jadi, sesungguhnya perdebatan Islam Nusantara itu hanyalah tampilan luar saja dan bukan esensinya. Yang sesungguhnya ingin diraih ialah bagaimana kaum penolak Islam Nusantara itu memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk tujuan-tujuan politik yang diinginkannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..