Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ISLAM NUSANTARA: ANTARA ARAB DAN INDONESIA (1)

ISLAM NUSANTARA: ANTARA ARAB DAN INDONESIA (1)
Akhir-akhir ini urusan Islam Nusantara menjadi terungkap lagi, setelah sekian lama tidak menjadi masalah yang viral di media sosial. Hal ini tentu dipicu oleh ceramah Mamah Dedeh di media televisi yang kemudian viral di media. Meskipun Mama Dedeh sudah meminta maaaf atas cermahnya itu bahkan juga keluarganya, akan tetapi pro dan kontra tentang Islam Nusantara tentu tidak berhenti.
Memang harus diakui bahwa jumlah mereka yang kontra terhadap Islam Nusantara itu seakan-akan lebih banyak dari yang pro Islam Nusantara, tentu melalui media sosial. Hal ini tentu sangat wajar sebab mereka yang menolak itu memiliki kemampuan show up yang seakan-akan sangat anggegirisi atau seakan-akan gigantic. Mereka terdiri dari anak-anak muda yang memperoleh pengaruh media sosial yang memang secara sengaja disasarkan kepada mereka ini. Akan tetapi perdebatan itu sepertinya lebih bersearah dengan upaya untuk menolak atau menerima tanpa memasuki wilayah, apa yang sesungguhnya terjadi dan apa yang disebut sebagai Islam Nusantara itu.
Kebanyakan yang menolak Islam Nusantara itu menganggap bahwa Islam Nusantara melawan Islam Arab, atau Islam Nusantara yang sesungguhnya merupakan upaya untuk meminggirkan budaya Arab atau upaya untuk mendegradasi pengaruh Arab atas Islam di Indonesia. Di antara yang melakukan penyanggahan terhadap keberadaan Islam Nusantara, misalnya ialah dengan ungkapan bahwa “Islam Nusantara itu ialah membela penista agama, mendukung pemimpin pembohong dan munafiq, mendukung presiden menjual asset negara dan sebagainya.”
Kita memang perlu melihat realitas. Apakah benar bahwa yang menyatakan diri sebagai bagian dari Islam Nusantara itu berkeinginan meminggirkan Arab. Atau benarkah bahwa Islam Nusantara itu tidak menggunakan konsepsi-konsepsi Islam yang genuine dan menjadi pedoman di dalam peribadahan atau bahkan dalam urusan muamalah. Apakah misalnya dengan menggunakan istilah Islam Nusantara lalu melakukan tindakan anti terhadap syariah Islam. Dan tentu juga sederet pertanyaan lain, yang bisa sangat banyak jumlahnya.
Saya ingin membahas pertanyaan tersebut dalam uraian ringkas. Tentu tidak ada keinginan bagi penganut Islam Nusantara yang akan meminggirkan tradisi Arab di Indonesia. Sudah terlalu banyak tradisi Arab yang berkembang di sini. Bisa jadi tradisi itu memang khas Arab atau tradisi Arab yang sudah terislamkan. Misalnya, tradisi menggunakan jenggot atau pakaian gamis dan pakaian khas Arab lainnya. Bukankah kyai-kyai kita banyak yang menggunakannya dan mereka tidak risi menjadikan cara berpakaian dan berpenampilan seperti itu sebagai bagian dari life style yang mengeksis. Lalu, tradisi agama yang memang benar-benar berpedoman pada apa yang dilakukan Nabi Muhammad saw. Saya kira tidak ada ulama yang berpandangan Islam Nusantara itu menolak untuk melakukannya. Misalnya bacaan Fatihah dalam bahasa Al Qur’an yang pasti bahasa Arab. Tidak ada ulama yang mengajarkan shalat dalam Bahasa Indonesia. apalagi bahasa daerah. Di Indonesia bisa jadi ada corak shalat dalam 500 lebih bahasa di Indonesia.
Jika Islam Nusantara itu akan meminggirkan Arab juga tidak perlu ada lembaga pendidikan yang mengajarkan bahasa Arab. Bukankah di PTKIN sangat banyak program studi Bahasa Aran dan Sastra Arab. Bahkan juga festival Bahasa Arab. Bahkan juga festival Al Qur’an. Bukankah Tahfidz al Qur’an banyak dilakukan di pesantren-pesantren yang secara kultural pengikut Islam Nusantara. Ketika seseorang belajar tahfidz Al Qur’an secara otomatis menjaga Bahasa Al Qur’an, yang tidak lain ialah bahasa Arab. Bahasa Arab yang dipelajari di Indonesia adalah Bahasa Arab Fushah, yang sekaligus juga mentradisikan berbahasa Arab dalam tradisi aslinya, sebagaimana di dalam Al Qur’an.
Ilmu-ilmu dalam Bahasa Arab seperti: nahwu, sharaf, balaghah, dan pengajaran matan Alfiyah masih terus menjadi bahan kajian dan pembelajaran di pesantren atau kyai-kyai yang memahami Islam Nusantara. Pengajaran Kitab Kuning di Pesantren-pesantren juga menjadi bukti bahwa upaya untuk melestrikan karya-karya ulama Timur Tengah menjadi tradisi di pesantren yang berlabel Islam Nusantara. Bahasa Arab sudah menjadi bahasa kedua di negeri ini dan itu semua adalah sumbangsih yang tidak bisa dipungkiri dari pesantren-pesantren yang mengajarkan pelestarian bahasa Arab yang tidak lain ialah bahasa al Qur’an.
Dunia pesantren yang di dalam banyak hal mendefinisikan dirinya sebagai penganut Islam Nusantara itu sudah berjalan ratusan tahun dan kita sekarang bisa berislam seperti ini karena sumbangsih yang luar biasa dari dunia pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya. Adakah yang meragukan tentang peran pendidikan Islam itu dalam kerangka menjadikan kita semua menjadi Islam.
Untuk menjadi Islam seperti di Indonesia bukanlah dibuat dengan simlabim adakadabrah, tetapi melalui proses panjang dalam ratusan tahun.
Jika kita lebih sedikit mengungkit peran para kyai dan pendidik Islam di masa lalu, maka siapakah yang meragukan terhadap peran para kyai dari pesantren dalam membela perjuangan bangsa. Indonesia ini ada salah satunya ialah peran pesantren dengan para kyai dan pendidik Islam dalam keikutsertaannya dalam membela bangsa dan negara. Kita harus berpikir jernih, bahwa tidak ada sedikitpun upaya para pengikut Islam Nusantara yang akan meminggirkan Arab, sebab Arab adalah bagian dari tradisi untuk membentuk Islamisasi di Indonesia.
Jika kita lebih empiric lagi, pendidikan Islam semakin baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Dan di kala mengajarkan Islam pastilah yang diajarkan adalah Islam yang itu juga. Bukan Islam yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mendasar. Mengajarkan rukun Islam itu 5 (lima), yaitu membaca syahadat, menjalankan shalat, melakukan puasa, mengeluarkan zakat dan pergi haji bagi yang mampu. Saya yakin tidak ada lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan rukun Islam itu berbeda. Semua menggunakan hadits yang sama dalam urusan rukun Islam. Lalu rukun Iman yang diajarkan di lembaga pendidikan Islam, pastilah sebagaimana yang lazim diyakini sebagai rukun Iman. Tidak ada yang lain. Jika ada yang bervariasi di dalam pengamalannya tentu itu berasal dari cara menafsirkannya. Hukum Islam yang kita pelajari juga berasal dari hukum Islam sebagaimana ditafsirkan dan dirumuskan oleh ulama-ulama Islam Arab, meskipun tentu ada variasi karena cara penafsiran atau manhaj yang digunakan berbeda. Namun demikian, tetap saja bahwa sumber ajaran Islam itu ialah Al Qur’an, Al Hadits, dan pendapat para ulama. Kita harus merujuk kepada para ulama sebab tidak semua kita memiliki kemampuan untuk menafsirkan dan memahami sumber Islam dengan sempurna.
Jadi, dari satu aspek ini, maka tudingan bahwa Islam Nusantara akan mengkerdilkan budaya Arab tentu sama sekali tidak masuk akal dan hanya imajinasi belaka. Sungguh saya sangat meragukan terhadap statemen Islam Nusantara versus Islam Arab atau Islam Nusantara akan menghabisi terhadap tradisi Arab.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..