Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KE ROMA; MEMBANGUN MODERASI AGAMA (5)

KE ROMA; MEMBANGUN MODERASI AGAMA (5)
Yang tidak kalah menarik ialah pembicara ketiga dan keempat. Sebagai pembicara ketiga di dalam sessi pembukaan ialah Pak Muhammad Rifqi Muna. Beliau adalah asisten pada Utusan Khusus Presiden bidang Dialog Antar Umat Beragama dan Peradaban dan pembicara keempat ialah Prof. Dien Syamsuddin, Utusan Khusus Presiden bidang Dialog Antar Umat Beragama dan Peradaban.
Di dalam sambutannya, Pak Rifqi menyampaikan paparan bahwa masyarakat Indonesia itu sangat majemuk. Keberagaman masyarakat Indonesia itu luar biasa. Bandingkan dengan Afghanistan yang hanya terdiri dari tujuh suku bangsa saja ternyata konfliknya tidak bisa dihentikan. Indonesia dengan suku bangsa lebih dari 500 ternyata bisa membangun kedamaian dan ketentraman. Indonesia yang majemuk ini bisa memanej perbedaan dan menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi. Secara internasional, Indonesia telah menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB, yang tentu saja akan memiliki peran yang signifikan di dalam membangun peradaban dunia yang lebih adil dan bermartabat. Melalui keanggotaan ini, maka Indonesia akan bisa mengajak seluruh dunia untuk mengatasi persoalan radikalisme dan terorisme yang sekarang sedang semarak di beberapa tempat.
Indonesia memiliki modal yang sangat kuat dalam membangun kerukunan umat beragama. Kita selalu bisa menyelesaikan konflik sosial bernuansa agama dengan baik. Semua ini tentu berkat pemahaman beragama yang saling menghargai dan mendamaikan. Indonesia juga menjadi negara middle country. Dengan posisi Indonesia yang sekarang sebagai negara dengan kekuatan ekonomi yang semakin membaik dan juga pembangunan bangsa yang semakin kuat, maka Indonesia tentu akan bisa memainkan peran penting di dalam hubungan antar bangsa.
Acara pemaparan tiga narasumber ditindaklanjuti dengan sessi tanya jawab. Ada pertanyaan dan pembahasan yang menarik dari Ayang Utriza Yakin, anak muda NU yang berposisi sebagai pengurus PCI NU di Belgia dan sekaligus juga Ketua Lembaga Takmir Masjid di PBNU. Dia menyatakan bahwa tahun 2019 adalah tahun politik, tentu diharapkan agar para kontestan tidak menggunakan agama dan symbol agama di dalam pilpres. Dewasa ini terdapat sekelompok penggiat dialog antar umat beragama di Belgia yang sedang membuat film tentang kerukunan umat beragama. Dan Indonesia dijadikan sebagai salah satu contoh kerukunan beragama. Lalu dipilih Ambon sebagai setting film tersebut. Juga dinyatakannya bahwa Islam Indonesia itu luar biasa. Tidak ada di negara lain yang kebebasan beragama itu sebagaimana terjadi di Indonesia. Hak-hak perempuan diberikan secara utuh. Para perempuan bisa mengekspressikan kehidupan secara sangat memadai dan tidak ada pandangan yang berbeda. Mereka terkagum-kagum melihat Islam Indonesia yang sedemikian hebat dan menjanjikan. Dia berharap agar Indonesia harus menjadi Rumah Bersama. Jika ada masalah domestic jangan keburu dibawa ke dunia internasional. Hal ini akan menyebabkan pandangan yang keliru tentang Indonesia.
Kemudian juga pembahasan dari Romo Junar yang berasal dari Spanyol. Baginya, bahwa sekarang ini semakin menguat pandangan tentang The Otherness. Di masa lalu, kita itu saling memahami dan menjaga. Misalnya orang Katolik bisa merayakan hari raya umat Islam, tetapi sekarang suasananya menjadi lain. Rasanya ada upaya untuk memisahkan kebersamaan kita itu.
Sebagai pembicara terakhir, Pak Dien Syamsudin banyak menguraikan tantangan Keindonesiaan kita. Ada beberapa pikiran yang beliau sampaikan: pertama, kemajemukan ialah sunnatullah, hukum Allah. Oleh karena itu, kemajemukan merupakan keniscayaan tetapi juga sekaligus ujian bagi kita semua. Apakah kita bisa mempertahankan kemajemukan itu sebagai kekuatan atau justru sebagai kelemahan. Kedua, kita harus memperkuat persatuan dalam kemajemukan. Jangan hanya mendasarkan persaudaraan itu atas dasar agama. Atau di dalam Islam disebut sebagai ukhuwah Islamiyah saja, tetapi justru ukhuwah insaniyah atau ukhuwah basyariyah. Persaudaraan berbasis biologis. Kita sama keturunan Nabi Adam dam keturunan Nabi Ibrahim. Jika kita ada yang Islam atau Kristen sebenarnya karena Nabi Ibrahim memiliki dua isteri yang menyebabkan kita berbeda. Tetapi meskipun berbeda tetapi sesungguhnya kita adalah satu kesatuan. Yaitu kesatuan biologis atau persaudaran biologis.
Ketiga, Indonesian Nationalism itu bisa rapuh jika terhadap generasi muda tidak dididik mengenal dan memahami sejarah. Jika anak-anak muda melupakan sejarah bangsa ini, maka akan terpecah belah. Yang menjadikan kita sebagai bangsa itu bukan karena kesamaan ras, suku dan budaya akan tetapi kesamaan penderitaan karena dijajah. Maka melestarikan perasaan seperti ini menjadi penting. Kita harus terus bersatu untuk menjaga kebersamaan sebagai bangsa. Kita tidak boleh bereuforia dengan globalisasi sebab globalisasi juga akan memunculkan pluralisasi. Akan hadir perasaan-perasaan sebagai suku, agama dan juga ras yang makin kuat di tengah globalisasi tersebut.
Keempat, kita perlu merevitalisasi makna Pancasila. Selama ini Pancasila bisa menjadi modalitas bangsa yang sangat baik. Bahkan banyak negara yang memuji kita karena Pancsila, tetapi di dalam negeri justru dicaci maki karena kita menggunakan Pancasila sebagai dasar negara. Kita harus melihat relevansi antara Pancasila dan Undang-Undang Dasar kita dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Jangan sampai ada gap diantaranya. Pancasila harus diwujudkan dalam kerja nyata dan bukan hanya dibicarakan. Pancasila harus diterjemahkan di dalam system ekonomi, system politik dan juga system sosial. Jangan ada perbedaan antara Pancasila dengan system-sistem ini.
Namun demikian, kita masih optimis bahwa bangsa ini akan dapat melakukan yang terbaik bagi kelangsungan persatuan dan kesatuan bangsa.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..