KE ROMA: MENGHADIRI DIALOG UMAT BERAGAMA (1)
KE ROMA: MENGHADIRI DIALOG UMAT BERAGAMA (1)
Sebenarnya saya memiliki agenda penting menjelang keberangkatan saya ke Roma, 29/06/2018, untuk mengikuti acara temu tokoh agama, yaitu acara Diskusi di Rumah Dinas Menteri Agama, di Widya Candra dengan narasumber Prof. Dr. Azyumardi Azra, dan diikuti oleh segenap Rektor dan Ketua PTKIN se Indonesia. dan juga acara walimat al arusy di Banten, acaranya Prof. Dr. Fauzul Iman, untuk menikahkan putranya. Bahkan sebenarnya saya didaulat untuk mewakili keluarga.
Makanya, saya me-WA beliau atas acara di Vatican yang harus saya hadiri. Acara ini semula dijadwalkan untuk dihadiri oleh Pak Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama, tetapi karena berbenturan waktunya, dan acara di Vatican tidak mungkin digeser, maka saya yang menghadiri acara di Vatican ini. Dalam kondisi seperti ini, selalu saya nyatakan: “tidak ada akar, rotanpun jadi”.
Acara ini tentu sangat penting bagi Kemenag, sebab kerukunan umat beragama merupakan program utama di Kemenag. Acara dialog umat beragama ini diselenggarakan oleh Duta Besar Indonesia di Vatican, Antonius Agus Sriyono. Acara ini mengundang sebanyak 45 peserta dari 22 negara-negara di Eropa dan diikuti oleh masyarakat Indonesia di Eropa tersebut. Dari Indonesia, yang hadir ialah tokoh-tokoh agama, Prof. Philip Wijaya dari Buddha, Prof. Henriette, dari Kristen, Romo Sunarko, dari Katolik, Pak Wisnu Tenaya, dari Hindu, akademisi, Prof. Dr. Abdul A’la, Fery Meldy, PhD., Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kemenag, dan Chuzaemi, Staf pada Sekretariat Jenderal Kemenag. Dan hadir juga perwakilan dari Kemenlu, BPIP dan Staf Khusus Presiden untuk dialog antar agama dan peradaban.
Saya berangkat bersama Prof. A’la, Pak Fery dan Jemi dengan pesawat Turkey Airline. Berangkat pukul 21.00 WIB dan sampai di Turki jam 04.00 waktu Turki atau jam 06.00 WIB. Saya bersyukur karena bisa menikmati perjalanan ini dengan tidur yang cukup. Sebagaimana yang sering saya nyatakan bahwa problem utama saya ialah masalah tidur ini. pesawat Turki ini sangat baik dengan pelayanan yang juga memuaskan. Crew pesawat dengan sigap melayani kita. bahkan ketika mau dibantu untuk memasang kasur tidur di pesawat, maka dinyatakannya: “ini tugas saya, biarkan saya memasangnya”. Tentu saja hanya saya ucapkan: “thanks you very much”.
Setahun yang lalu, saya pernah menjejakkan kaki di bandara ini. Saya juga sempat mampir di Turkey Airline Lounge, yang bersih. Loungenya sangat luas dan tertata dengan baik. Dengan penataan meja dan kursi yang baik dan berkualitas, tentu kita bisa sekedar beristirahat untuk menghilangkan rasa lelah. Bukan saya bertujuan untuk membandingkan dengan Lounge Garuda Indonesia untuk kelas bisnis dan Premium GFF, tetapi saya kira untuk ukuran bandara internasional, kondisi lounge Turkey Airline masih di atas milik kita itu. Saya kira juga tidak ada perubahan yang signifikan tentang bandara ini. masih seperti tahun yang lalu, kira-kira.
Saya tentu merasa bersyukur bisa transit di Bandara Internasional Turkey untuk kali ini. Sekurang-kurangnya untuk memanggil kembali ingatan tentang Turki setahun yang lalu. Kunjungan tahun lalu itu sangat singkat. Hanya tiga hari. Semalam di pesawat ke Turki, semalam di Turki dan semalam lagi perjalanan ke Indonesia. tetapi saya masih sempat untuk berkunjung ke Universitas Marmara, Ke Pesantren Sulaimaniyah, ke Konsulat Jenderal RI di Istambul dan juga berwisata ke tempat-tempat bersejarah di Turki. Tidak membutuhkan waktu lama untuk sekedar menikmati dunia luar negeri.
Kepergian saya tentu diharapkan memiliki makna penting. Sebab saya harus membuka acara dialog umat beragama di Vatican dan juga mendengarkan paparan dan diskusi dengan tokoh-tokoh agama dari Indonesia dan para mukimin di Eropa yang tertarik dengan issu keagamaan dan kebangsaan. Selain itu juga akan bertemu dengan Para pastur di Vatican dan juga dengan pemerintah Italia.
Issu keagamaan memang menjadi area yang sangat dinamis. Sebab kerukunan umat beragama itu ibarat sebuah orchestra yang mestinya bisa menghasilkan pemaduan suara yang harmonis, tetapi ketika ada kesalahan memainkannya pastilah keharmonisan suara itu akan hilang. Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat mengedepankan kerukunan umat beragama. Indonesia adalah contoh yang kongkrit bagaimana pemerintah, organisasi keagamaan dan masyarakat beragama menjunjungnya dengan sangat tinggi.
Dengan menghadirkan seluruh perwakilan masyarakat Indonesia dari 22 negara di Vatican, untuk saling berdialog dan membangun kesepahaman, maka diharapkan akan semakin kuat jalinan harmoni dan kerukunan umat beragama tersebut terjadi. Tahun 2019 adalah tahun pilihan Persiden dan Wakil Presiden, maka pertemuan ini diharapkan akan menjadi sarana bagi kita semua, terutama masyarakat Indonesia di luar negeri, untuk membangun kebersamaan dimaksud.
Kita berharap bahwa tujuan itu akan dapat dicapai dan kita semua berkontribusi untuk tujuan membangun Indonesia dengan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekaan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
