UNAS MASIH DIPERLUKAN
Biarlah polemik Ujian Nasional (Unas) akan terus berlangsung. Sebab memang pasti masih ada yang pro dan kontra terhadap Unas. Dan seperti biasa, persoalan yang sebenarnya sederhana menjadi rumit karena semuanya memang punya hak untuk usul dan berpendapat. Maklumlah, masyarakat kita ini memang baru saja menikmati kebebasan berbicara, setelah lama sekali di dalam genggaman pemerintahan yang otoriter. Di masa lalu memang untuk berbicara bebas sangat sulit. Bisa jadi seseorang ditangkap oleh pihak yang berwajib.
Di zaman dulu, jangankan demontrasi dengan menginjak-injak gambar wakil presiden, menginjak pejabat di bawahnya saja bisa masuk hotel prodeo. Tetapi di tengah euforia kebebasan, maka orang berdemo dengan menginjak-injak foto presiden pun tidak ada sangsi. Bisa saja sangsinya hanya moral saja. Bukankah orang yang berdemonstrasi itu juga akan marah kalau gambarnya diinjak-injak seperti itu.
Kembali kepada Unas. Yang jelas bahwa Unas adalah salah satu instrumen untuk mengetahui standart kualitas mutu pendidikan secara nasional. Melalui ukuran standart nasional yang terukur tersebut akan dapat diketahui gambaran tentang kualitas pendidikan Indonesia secara umum. Memang ada plus dan minus pelaksanaan Unas. Ada problem yang hingga sekarang belum mampu dituntaskan. Misalnya tentang kesiapan mental guru, siswa, orang tua siswa, pejabat daerah terkait dengan pelaksanaan Unas. Bukankah masih sering kita dengar, bahwa Unas akan menjadi gengsi daerah, sehingga ketika lulusan Unasnya baik, maka akan membawa keharuman kepemimpinan daerah. Begitu sebaliknya, jika lulusan Unasnya rendah, maka akan membawa dampak jelek bagi kepemimpinan daerah.
Jadi, jumlah lulusan kemudian berkorelasi dengan kebijakan daerah di dalam pelaksanaannya. Di dalam hal ini, maka bupati/walikota menekan kepada kadiknas, kadiknas menekan kepada kepala sekolah dan kepala sekolah menekan kepada guru untuk mempermudah proses pelaksanaan Unas dimaksud. Itulah sebabnya ketika perguruan tinggi (PT) dilibatkan di dalam proses pengawasan Unas, maka kehadiran tim pengawas PT ini sepertinya menjadi tamu yang tidak dikehendaki.
Mendiknas, Mohammad Nuh, sudah menyatakan bahwa Unas bukan menjadi satu-satunya pelulusan siswa. Masih ada variabel lain untuk mengukur kelulusan siswa, yaitu ujian sekolah yang didesain secara otonom oleh lembaga pendidikan. Nah menurut saya ini merupakan salah satu model penyelesaian yang sangat mendasar. Unas akan digunakan untuk memenuhi ketentuan di dalam UU Sisdiknas tentang standart nasional pendidikan, akan tetapi pelulusan siswa akan ditentukan oleh kemampuan siswa setelah dipadukan antara nilai Unas dengan nilai ujian sekolah secara otonom.
Keduanya memang membutuhkan kesiapan mental. Kejujuran. Unas yang sudah didesain sedemikian ketat ternyata masih ada penyelewengan di dalam pelaksanaannya. Itu artinya bahwa banyak orang yang belum siap untuk berlaku jujur. Nah, bisakah ujian yang diselenggarakan oleh sekolah secara otonom juga terjamin obyektivitasnya. Terus terang saja bahwa masih ada keraguan tentang obyektivitas pelaksanaan ujian-ujian tersebut.
Maka, Unas tentu masih membutuhkan tim eksternal untuk mengawasi pelaksanaannya. Jadi meskipun tidak menjadi satu-satunya alat ukur untuk menentukan kelulusan siswa, namun akan terjamin obyektivitasnya, sehingga dapat dijadikan ukuran yang valid untuk kepentingan pendidikan lanjutan. Jika hasil ujian tersebut memiliki validitas yang andal, maka hasil Unas SD/MI dapat digunakan untuk masuk SMP/MTs, kemudian hasil Unas SMP/MTs akan dapat dijadikan sebagai alat masuk untuk SMA/Aliyah dan hasil Unas SMA/MA akan dapat dijadikan sebagai salah satu alat ukur untuk masuk ke PT.
Apapun instrumen yang akan digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan proses belajar mengajar, maka hal itu tidak akan ada maknanya jika tidak dibarengi dengan kesiapan mental para pengelola pendidikan. Jadi, produk pendidikan sangat tergantung pada moralitas penyangga lembaga pendidikan.
Sekali lagi, mentalitas yang akan menentukan produks akhir pendidikan dalam berbagai levelnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.