• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENCARI FORMAT UNAS

 Kalau tulisan ini saya beri judul mencari format Ujian Nasional (Unas), karena tulisan ini memang tidak akan memberi justifikasi tentang bagaimana sebaiknya Unas harus diselenggarakan atau bagaimana unas tersebut, dipertahankan atau ditiadakan. Saya tidak akan menjustifikasi tentang Unas tersebut sebaiknya dilakukan atau tidak, namun yang jelas bahwa harus ada pilihan terkait dengan Unas. Mungkin tindakan yang dilakukan oleh Pak Nuh, Menteri Pendidikan Nasional, merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Sebab sebagai seorang pejabat memang harus membuat keputusan. Kata para ahli, seorang pemimpin tidak boleh ragu dalam mengambil keputusan, sebab jika nakhoda di suatu kapal ragu-ragu akan arah yang dituju, maka perahu tersebut akan terombang-ambing di tengah samodra yang luas dan tidak bertepi. Bisa jadi Pak Nuh sudah benar mengambil keputusan: “teruskan Unas”.

Tentang Unas yang banyak masalah tentu saja bukan isapan jempol. Tahun 2009 Perguruan tinggi (PT) diberi kesempatan untuk ikut serta mengawasi pelaksanaan ujian nasional. Mendiknas kala itu, Bambang Sudibyo, mempercayakan pengawasan Unas kepada Perguruan Tinggi. Semula, semua lembaga pendidikan penyelenggara Unas akan diawasi, bahkan karena ambisi yang luar biasa, maka sampai seluruh ruang akan diawasi oleh tim pengawas PT. Namun apa dikata ternyata anggaran untuk pengawasan Unas ternyata tidak cukup, sehingga akhirnya satu lembaga pendidikan penyelenggara Unas cukup diawasi satu pengawas dari PT. Akibatnya tentu tidak maksimal. Apalagi kehadiran pengawas PT seperti tamu yang tidak diundang. Bahkan kehadirannya dianggap sebagai intervensi oleh PT bagi pelaksanaan Unas.

Meskipun tidak gagal total, namun yang jelas bahwa ada banyak pelanggaran tentang pelaksanaan Unas. Bahkan menurut Prof. Dr. Haris Supratno, Rektor Unesa,  jika diklasifikasi A,B dan C, maka kategori A dengan  kesalahan sedikit hanya sebanyak 20%, Kategori B dengan kesalahan sedang sebanyak 30% dan kategori C dengan kesalahan banyak  sebesar 50%. Dengan angka  prosentase kasar ini, maka dapat dinyatakan bahwa Unas secara umum belum dapat menjadi tolok ukur standar kualitas pendidikan nasional. Namun demikian, melalui pengawasan yang dilakukan oleh PT maka dapat diketahui bahwa ada lembaga pendidikan yang melakukan kecurangan. Dari  hasil pemindaian ternyata ada banyak  sekolah yang jawaban ujian siswanya sama untuk beberapa mata ujian. Tentu saja hal ini dapat menimbulkan kecurigaan bahwa ada rekayasa yang dilakukan untuk merancang semua ini. Maka terhadap beberapa sekolah yang melakukan kecurangan tersebut lalu dilakukan ujian ulang.

Di dalam kerangka memperoleh standart nasional pendidikan, maka Unas memang bisa dijadikan sebagai sarana untuk memahami peningkatan kualitas out pendidikan. Bukankah dengan standart kelulusan minimal 5,5 untuk tahun ini berarti bahwa ada kenaikan dari tahun ke tahun tentang standart kelulusan. Hal itu menunjukkan bahwa ada peningkatan kualitas lulusan. Hanya saja memang yang terasa tidak adil adalah ketika salah satu mata ujian Unas ternyata nilainya jeblok atau dibawah standart tetapi di sisi lain nilainya baik, kemudian yang bersangkutan tidak lulus. Di sinilah problem itu sesungguhnya bermula. Dalam kasus Kristiyono yang melakukan gugatan terhadap pemerintah tentang Unas juga bermula dari rasa ketidakadilan ini. Nilai rata-rata anaknya jauh lebih baik, ternyata  tidak lulus sementara nilai rata-rata anak lain yang jauh lebih jelek justru lulus, karena ada satu nilai mata ujian yang berada dibawah standart nasional.

Jadi menurut saya, tidak salah harus ada Unas di dalam kerangka memenuhi standart nasional pendidikan, hanya saja mungkin perlu dievaluasi apakah akan tetap menggunakan standart kelulusan berbasis nilai minimal lulus pada satu persatu mata ujian atau menggunakan nilai akumulasi.  Jika menggunakan nilai akumulasi, maka ada kelebihannya karena seorang siswa akan merasa tetap berada di jalur yang tepat meskipun misalnya dia lemah di dalam salah satu mata ujian. Sebab dia masih bisa mengejar kelulusan dengan nilai mata ujian lainnya. Hanya saja juga harus tetap ada batasan nilai kelulusan untuk masing-masing mata ujian yang layak, namun ukuran kelulusan tetap pada nilai akumulasi. Nilai batas kelulusan layak untuk mata ujian sesungguhnya digunakan untuk memacu agar siswa tetap memperhatikan tingkat satuan kelulusan pada mata ajaran tersebut. Nilai kelulusan satuan mata ujian bisa dibicarakan oleh para pengambil kebijakan. Jadi, misalnya standart kelulusan nasional adalah nilai rata-rata 6, bukan 5,5. Akan tetapi nilai 6 tersebut diambil dari nilai akumulasi lalu dibagi dengan jumlah mata ujian. Atau jika dirasakan perlu, hendaknya  diberi bobot pada tingkat kesulitan mata ujian lalu dicari  nilai akhirnya.

Mengembalikan ujian kepada sekolah memang baik, tetapi juga rawan masalah. Masyarakat kita masih belum siap obyektif di dalam menghadapi masalah otonomi pendidikan. Akan muncul sekian banyak kolusi yang mengakibatkan kualitas pendidikan tidak lagi akan terukur. Makanya harus dicari instrumen yang menjamin obyektivitas  evaluasi pendidikan, sehingga produk pendidikan akan dapat diukur sesuai dengan standart ukuran yang teruji.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini