RELASI ANTARA KEMISKINAN DAN KETIDAKTERTIBAN
Melihat pembagian daging kurban yang dilaksanakan di lapangan Mabes Polri yang disiarkan oleh TVOne dan kemudian juga menjadi headline di Harian Jawa Pos (28/11/09), maka ada sebuah ironi yang tampak di depan mata. Para fakir miskin yang akan menerima daging kurban tersebut berdesak-desakan untuk saling berebut. Bahkan mereka saling mendorong, sehingga banyak di antaranya yang terjatuh dan terinjak-injak. Untung bahwa di dalam insiden ini tidak terdapat korban jiwa, sebagaimana pembagian zakat beberapa waktu yang lalu.
Ternyata memang ada korelasi antara kemiskinan dengan ketidakteraturan. Bisa dibayangkan bahwa mereka melakukan hal itu semua, karena dipicu oleh rasa ketakutan bahwa mereka tidak akan memperoleh jatah pembagian daging kurban. Atau terkadang ingin memperoleh pembagian jatah lebih dulu. Dalam pembagian zakat tersebut, sebenarnya panitia telah membagikan sejumlah kupon sebagai tanda untuk menerima daging kurban. Namun karena jumlah mereka yang membludak, sehingga kupon itupun tidak ada artinya.
Memang merupakan sebuah ironi bahwa di negeri yang sangat subur penuh dengan potensi ekonomi ternyata banyak warganya yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Jika kita menggunakan angka Badan Pusat Statistik (BPS), maka kira-kira masih ada sebanyak 17,75% dari total penduduk Indonesia. Artinya kira-kira masih sebanyak 40 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jika menggunakan ukuran kemiskinan yang dibuat oleh Sayogya, maka berarti banyak warga masyarakat yang penghasilannya kurang dari 220 kg pertahun perkapita.
Indonesia, sesungguhnya adalah negeri yang ”gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwo tinandur, murah kang sarwo tinuku.” ungkapan Jawa ini menggambarkan bahwa Indonesia adalah negeri yang subur makmur, subur segala sesuatu yang ditanam dan murah semua yang dibeli. Benarkah Indonesia seperti itu? Secara alami atau natural mungkin benar. Indonesia adalah sebuah negeri impian atau bahkan negeri dongeng. Bahkan Koes Plus di tahun 1980-an menggubah lagu tentang Indonesia: ” Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”
Ya, inilah cara para seniman menggambarkan Indonesia kita. Saya merasa bahwa Indonesia memang seperti itu. Tanah yang sangat subur, udara yang sangat segar, semua jenis tumbuhan bisa hidup di negeri ini, dan bahan-bahan makanan semuanya bisa didapatkan di negeri ini. Bandingkan dengan Arab Saudi, Jepang dan negara-negara di Afrika yang tanahnya sebagian besar padang pasir. Sebuah gambaran yang sangat kontras dengan Indonesia kita.
Ada memang teori Arnold J. Toynbee, yang bertajuk ”Challenge and Respon” atau ”Tantangan dan Jawaban” yang dinyatakan bahwa semakin besar tantangan maka semakin besar respon atau usaha yang akan dilakukan. Bangsa Jepang menjadi luar biasa maju karena tantangan alamnya yang kurang bersahabat. Bangsa Eropa mencari lahan-lahan baru karena tantangan alamnya yang mengharuskan untuk mencari tanah-tanah baru untuk pengembangan bangsanya. Migrasi besar-besaran ke Amerika dan Australia tentu juga didorong oleh tantangan alam yang seperti itu.
Bangsa-bangsa yang maju ternyata juga bukan karena sejarah panjang bangsanya itu. Misalnya India, Indonesia, Mesir, Cina,Thailand dan sebagainya yang belum maju meskipun memiliki sejarah panjang dalam kehidupan bangsanya. Jadi, sejarah panjang bangsa bukan merupakan variabel menjadi maju atau tidaknya bangsa itu. Akan tetapi ternyata karena usaha yang dilakukannya. Singapura adalah contoh negara baru yang sejahtera karena usaha bangsa itu untuk maju dan berkembang. Yang mengejutkan adalah Swiss adalah negara yang tidak memiliki sumber daya tanaman coklat akan tetapi menjadi produsen coklat dunia yang sangat terkenal.
Jadi, sebagaimana Toynbe, bahwa semakin banyak tantangan akan semakin banyak usaha. Di Indonesia yang hampir-hampir tidak dijumpai tantangan alam yang sangat sulit maka penduduknya menjadi kurang berkemampuan usaha. Dengan cara yang seadanya saja bisa diraih. Jadi ketiadaan tantangan akan menyebabkan ketiadaan usaha secara maksimal.
Indonesia yang subur ternyata masih menjadi negara berkembang, meskipun bukan miskin absolut. Tetapi gambaran tentang antrian zakat, antrian daging kurban dan juga antrian lainnya, sungguh membuat kita jadi bertanya ada apa gerangan dengan bangsa ini. Mengapa kita menjadi bangsa yang sulit diatur, kenapa kita menjadi bangsa yang sering bertindak instan, mengapa kita tidak bisa tertib dan seterusnya.
Ternyata jawabannya adalah kemiskinan membuat segala sesuatunya menjadi disoder atau lebih jelas social disorder. Jadi kalau kita menginginkan keteraturan sosial, maka jawabannya adalah jadikan bangsa ini sebagai bangsa yang maju dan makmur. Hanya itu, tidak ada yang lain.
Wallahu a’lam bi al shawab.