Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ALIRAN KEPERCAYAAN DALAM KARTU PENDUDUK (2)

ALIRAN KEPERCAYAAN DALAM KARTU PENDUDUK (2)
Polemic tentang memasukkan aliran kepercayaan di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) belumlah mereda. Ada berbagai penolakan yang dilakukan oleh berbagai kalangan. Di antara yang vocal menolak atau sekurang-kurangnya meminta peninjauan ulang terhadap keputusan itu ialah MUI dan Muhammadiyah. Sedangkan NU tidak menolak dan menerima terhadap keputusan tersebut atau mauquf dan meminta agar secara cerdas menempatkannya dalam KTP.
Bahkan MUI menginginkan agar bagi penganut aliran kepercayaan atau aliran kebatinan diberikan KTP khusus dan tidak sebagaimana KTP pada umumnya. Jadi akan terdapat 2 (dua) model KTP, yaitu KTP dengan pencatuman agama di dalam kolom KTP dan ada KTP yang diberlakukan secara khusus kepada para penganut aliran kepercayaan dan aliran kebatinan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. Arief Hidayat, bahwa dengan pengesahan aliran kepercayaan dan aliran kebatinan di dalam KTP sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengesahkan keberadaan agama baru atau memberi pengakuan aliran kebatinan dan aliran kepercayaan sebagai agama. MK hanya berpikir bahwa hak mereka untuk dicantumkan apa kepercayaan atau apa aliran kebatinannya di dalam KTP. Bahkan di dalam KTP juga hanya dicantumkan sebagai “penghayat Kepercayaan atau Penghayat Kebatinan”. Tidak dicantumkan nama-nama aliran kepercayaan atau kebatinannya.
Memang harus disadari bahwa untuk memasukkan aliran kepercayaan dan kebatinan bukanlah hal yang mudah. Paling kurang adalah keinginan mereka untuk eksis sebagai aliran kepercayaan atau kebatinan juga tentu akan menyebabkan kerumitan di dalam pencantuman KTP aliran kepercayaan dan kebatinan. Beberapa aliran kepercayaan atau kebatinan seperti Sunda Wiwitan, Pangestu, Kaharingan, dan beberapa lainnya tentu menginginkan tidak sekedar dicantumkan sebagai penghayat kepercayaan atau kebatinan, akan tetapi menginginkan agar nama aliran kepercayaan atau kebatinan tersebut dicantumkan.
Seandainya terjadi seperti ini, maka akan terjadi kerumitan sebab di Indonesia terdapat tidak kurang dari 180-an jenis aliran kepercayaan atau kebatinan. Meskipun jumlahnya hanya diperkirakan 12 juta orang, namun tentu akan semakin rumit untuk memasukkannya di dalam KTP. Jadi diperlukan regulasi juga yang terkait dengan bagaimana memasukkan nama aliran kepercayaan atau aliran kebatinan tersebut di dalam KTP.
Secara historis memang harus diakui bahwa aliran kepercayaan atau aliran kebatinan sudah ada di Indonesia dalam kurun waktu yang lama. Tidak bisa diketahui kapan adanya, akan tetapi aliran-aliran seperti ini sudah ada semanjak lama. Mereka memang menyatakan bahwa keberadaannya mendahului keberadaan agama-agama yang dating ke Indonesia, seperti Hindu, Buddha, Islam, Kristen dan Katolik. Mereka mengklaim bahwa aliran kepercayaan atau kebatinan sudah ada semenjak dahulu kala. Secara akademis memang agak sulit untuk menemukan bukti historis kapan mulai ada aliran kepercayaan atau aliran kebatinan tersebut.
Secara sosiologis keberadaan mereka tentu bisa dipahami. Mereka memang menjadi realitas empiris pada masyarakat Indonesia, bahwa selain ada umat beragama–sebagaimana adanya 6 (enam) agama—tentu juga terdapat kaum aliran kepercayaan atau kebatinan. Namanya sangat bervariasi sesuai dengan siapa yang mendirikannya. Berdasar atas kenyataan sosiologis inilah maka di dalam TAP MPR No. 4 Tahun 1978 keberadaannya diakui, namun juga bukan dianggap sebagai agama. Itulah sebabnya penempatan mereka berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka diakui sebagai bagian dari kebudayaan bangsa yang bercorak spiritual.
Jika pengertian kebudayaan itu sebagaimana pengertian yang dibuat oleh Prof. Dr. Koentjaraningrat, yaitu sebagai hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia, maka selain cipta rasa dan karsa yang menghasilkan kebudayaan fisik atau material atau disebut sebagai benda-benda budaya, juga bisa bercorak budaya spiritual sebagaimana produk aliran kepercayaan dan kebatinan ini. Jadi, aliran kepercayaan atau kebatinan merupakan produk budaya manusia yang adilihung dan menjadi instrument bagi pemenuhan rasa ketuhanan yang selalu dibutuhkan oleh manusia.
Pada tahun 1970-an, definisi agama yang dominan ialah sebagaimana pandangan ini. itulah sebabnya, aliran kepercayaan atau alairan kebatinan dimasukkan di dalam Kementerian pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 1978 dan seterusnya, maka aliran kepercayaan atau kebatinan menjadi salah satu tugas pokok dan fungsi kemendikbud. Hanya sayangnya, bahwa Kemendikbud lebih memihak kepada pengertian kebudayaan sebagai produk material, sehingga sentuhan terhadap produk spiritual tidaklah diurus.
Di dalam konteks inilah maka penganut aliran kepercayaan dan kebatinan merasa belum memiliki rumah yang nyaman, yaitu rumah yang menjadikan penghayat kepercayaan dan kebatinan merasakan memperoleh kenyamanan spiritual yang diinginkannya. Dan momentum keputusan MK akan dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperjuangkannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..