Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ALIRAN KEPERCAYAAN DALAM KARTU TANDA PENDUDUK (1)

ALIRAN KEPERCAYAAN DALAM KARTU TANDA PENDUDUK (1)
Sehari setelah Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dibacakan oleh Prof. Arif Hidayat, saya diwancarai oleh wartawan Tempo. Inti wawancara itu tentu terkait dengan sikap Kementerian Agama dalam merespon terhadap Kuputusan MK dimaksud.
Jawaban saya tentu saja sangat normative dan tidak mendalam. Saya tentu tidak ingin memberi respon yang berlebihan tentang Keputusan MK mengenai ketentuan untuk memasukkan aliran kepercayaan di dalam kolom agama, yang selama ini dikosongkan.
Saya juga tidak ingin memberikan penafsiran baru tentang aliran kepercayaan atau aliran kebatinan yang juga disebut sebagai penghayat kepercayaan atau penghayat kebatinan. Hal ini tentu sangat saya sadari sebab saya bukanlah ahli di bidang hukum yang bisa dengan leluasa untuk memberikan respon secara memadai.
Sebagaimana yang kita baca di berbagai media, bahwa dikabulkannya tuntutan untuk memasukkan penghayat kepercayaan dan kebatinan di dalam KTP ialah untuk memenuhi Hak Asasi Manusia. Siapapun di dunia ini harus diakui identitasnya, termasuk di dalamnya ialah identitas keberagamaan atau kepercayaannya. Jadi dengan memasukkan identitas kepercayaan atau kebatinan itu di dalam KTP berarti memenuhi tuntutan hak dasar warga negara.
Sebagaimana diketahui bahwa selama ini memang ada banyak tuntutan para penghayat kepercayaan dan kebatinan agar hak-hak dasarnya sebagai warga negara diakui atau dilayani. Misalnya hak kependudukan, hak perkawinan, hak pendidikan dan hak-hak lain yang mestinya didapatkan oleh warga negara. Makanya dengan keluarnya Keputusan MK ini, maka satu hak dasar mereka sudah dipenuhi ialah hak kependudukannya.
Dalam kaitan dengan pencantuman sebagai penghayat kepercayaan atau kebatinan di dalam KTP, maka tentu akan ada mekanisme yang menjadi bagian tidak terpisahkan dalam penyelenggaraan negara. Di dalam konteks ini, maka keputusan MK mestilah harus dilaksanakan sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang tersebut atau amanah undang-undang tersebut.
Makanya, saya nyatakan secara normative bahwa Kementerian Agama tentu patuh terhadap Undang-Undang yang mengatur tentang kependudukan. Jika selama ini, pemerintah menjalankan Undang-Undang Kependudukan, maka Kemenag juga pasti akan mematuhi terhadap Undang-undang ini. Secara normative begitulah adanya. Apa yang ditetapkan di dalam undang-undang itulah yang tentu saja menjadi acuan untuk dilaksanakan.
Kemenag tentu saja tidak terkait langsung dengan undang-undang kependudukan, sebab yang menjadi pelaksana bagi undang-undang ini adalah Kementerian Dalam Negeri. Jadi yang memiliki otoritas atau kewenangan untuk memasukkan aliran kepercayaan atau aliran kebatinan di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) ialah Kementerian Dalam Negeri.
Pelayanan kependudukan tentu tidak sama dengan pelayanan agama. Di dalam hal ini, maka saya nyatakan bahwa pelayanan yang diberikan oleh Kemenag ialah pelayanan terhadap pemeluk agama. Tidak saya sebutkan pemeluk atau penghayat kebatinan atau kepercayaan. Saya memahami bahwa aliran kepercayaan bukan agama dan agama bukan aliran kepercayaan serta aliran kepercayaan atau kebatinan juga bukan agama baru. Sesuai dengan Ketetapan MPR No 4 Tahun 1973 tentang GBHN, bahwa yang berkewajiban untuk melayani terhadap hak dasar Penghayat kepercayaan atau kebatinan ialah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Maka semenjak itu, di Kemendikbud lalu terdapat sebuah direktorat yang memberi pelayanan terhadap para penghayat kepercayaan atau kebatinan, yaitu Direktorat Pembinaan Pebudayaan dan Aliran Kepercayaan.
Ketetapan MPR No 4 Tahun 1973 memang sudah diganti dengan Ketetapan No 11 Tahun 1978 tentang GBHN, yang amanatnya terhadap aliran kepercayaan atau kebatinan tidak sejelas di dalam Tap MPR No 4 Tahun 1973. Meskipun demikian, pembinaan terhadap aliran kepercayaan dan kebatinan tetap dilakukan oleh Kemendikbud hingga sekarang. Jadi, sebenarnya, secara structural, Kemenag sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan pelayanan keagamaan bagi penghayat kepercayaan dan kebatinan tersebut. Kemenag hanya melayani penganut agama, sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Sedangkan di dalam melakukan pengawasan terhadap aliran kepercayaan, maka masuk dalam ranah Kejaksaan Agung. Di sana didapatkan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Masyarakat (Bakorpakem) yang memang memiliki otoritas di dalam melakukan pengawasan secara structural dan subsansial bagi aliran kepercayaan atau kebatinan.
Dengan demikian, kiranya terdapat hal yang plus dan minus di dalam Keputusan MK ini. Dan tentu keputusan ini menghasilkan segregasi kepentingan yang bervariasi di masyarakat. Jadi, kiranya memang harus dikaji lebih mendalam mengenai bagaimana memasukkan aliran kepercayaan tersebut di dalam kolom KTP.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..