Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGEVALUASI RUMUSAN REGULASI AGAR PROPERUBAHAN

MENGEVALUASI RUMUSAN REGULASI AGAR PROPERUBAHAN
Saya diundang oleh Prof. Dr. Gunaryo, Kepala Biro Hukum dan Kerja sama Luar Negeri untuk memberikan pencerahan bagi para peserta Diseminasi dan Evaluasi Regulasi pada Kementerian Agama di Semarang, 9/11/2017. Acara ini dihadiri oleh seluruh pejabat terkait dengan bidang hukum dari seluruh Indonesia.
Ketika saya ditawari oleh Prof Gunaryo untuk mengisi acara ini, maka secara kelakar saya nyatakan, bahwa jika pergi ke Semarang dan belum makan dengan masakan “mangut” itu pertanda belum pergi ke Semarang. Saya tentu teringat Menteri Agama, Pak Maftuh Basuni, yang memiliki kesukaan masakan mangut. Di Monas dulu ada warung yang jualan masakan mangut, sehingga saya pernah diajak makan di situ. Sayangnya sekarang sudah tidak ada lagi.
Prof. Gunaryo menawarkan kalau makan masakan mangut sebaiknya di rumah saja. Hal ini tentu tawaran yang menarik, maka mampirlah saya di rumah Prof. Gunaryo untuk menikmati masakan mangut kepala ikan manyung yang nikmat luar biasa. Akhirnya dua pulau terlampaui, bisa memberikan ceramah pada acara ini dan juga bisa menikmati masakan khas Semarangan yang lezat.
Di dalam acara ini, saya menyampaikan beberapa hal, yaitu: pertama, pentingnya untuk menyederhanakan regulasi kita. di dalam acara Rembug Nasional, Pak Jokowi menyampaikan “keluh kesahnya” terkait dengan rumitnya proses untuk menyederhanakan regulasi tersebut. Beliau berkeinginan keras agar regulasi yang berjumlah 42.000 di seluruh Indonesia mulai dari UUD sampai Peraturan Bupati dan SK pejabat-pejabat itu bisa dikurangi. Ketika Kemendagri sudah menemukan ada sejumlah 3.000 regulasi yang akan dihapuskan, ternyata datang keputusan dari Mahkamah Konstitusi agar di dalam penghapusan regulasi tetap menggunakan prosedur yang rumit.
Di dalam konteks ini, maka Kemenag perlu untuk melakukan evaluasi mengenai regulasi kita, apakah memang ada regulasi yang terlalu banyak dan kemudian membuat kita tidak terjebak dengan regulasi kita sendiri untuk melakukan perubahan atau inovasi produktif. Bagi saya, regulasi harus seirama dengan perubahan. Perubahan di dalam banyak hal lebih cepat dibandingkan dengan perubahan regulasi. Bahkan ada yang menyatakan “regulasi selalu tertinggal dengan perubahan sosial yang sangat cepat”.
Kedua, ada regulasi-regulasi kita yang tumpang tindih atau kurang harmonis antara satu dengan lainnya. Di dalam kaitan ini, maka menurut saya diperlukan pemetaan yang dapat memberikan gambaran, mana regulasi kita yang tidak harmonis dengan lainnya. Ketidakharmonisan regulasi akan berdampak kurang baik, sebab bisa terjadi penafsiran yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Bayangkan jika regulasi itu tumpang tindih atau tidak harmonis lalu dijadikan pedoman untuk pemeriksaan, maka pasti akibatnya ialah pada auditinya. Kita pernah berdiskusi panjang terkait dengan kapan pembayaran tunjangan professional guru itu dibayarkan. Hal ini ternyat disebabkan oleh adanya regulasi yang tidak match. Antara UU Guru dan Dosen, dengan Peraturan Pemerintah dan dengan PMA dan Sk Dirjen Pendidikan Islam. Aibatnya di lapangan terjadi varian pembayaran tunjangan profesi guru dan tentu ketika diaudit lalu terdapat perbedaan penafsirannya.
Pemetaan itu dilakukan dengan cara: 1) melihat fungsi regulasi bagi pengembangan program. Jika dirasa bahwa fungsi regulasi itu tidak relevan dengan situasi di sekeliling kita, maka tentu harus diganti, direvisi atau dibatalkan. Contohnya tentang PMA Jam Kerja, yang menetapkan jam masuk kantor ialah jam 7.30. di sekeliling kita, bahkan BPK menggunakan jam masuk fleksibel, yaitu jam masuk kantor ialah jam 7.30 akan tetapi diberi waktu fleksibel sampai jam 8.00. dengan ketentuan jika masuknya jam 8.00 maka berkonsekuensi menambah 30 menit pada waktu akan pulang. Kita juga pernah membatalkan PMA tentang Pendidikan Pesantren Muadalah disebabkan oleh situasi sosial yang tidak memungkinkan kita meneruskan PMA dimaksud.
2) melihat content atau norma-norma yang tertuang di dalam regulasi itu. Di dalam hal ini tentu perlu dilihat apakah content atau norma-norma ada yang bertentangan dengan norma atau content regulasi lainnya. Tentu saja dibutuhkan kajian yang mendalam tentang seluruh norma di dalam produk hokum Kemenag, apakah itu terkait dengan PMA, KMA, Keputusan Dirjen, Juklak dan Juknis dan sebagainya untuk memastikan bahwa regulasi tersebut memiliki relevansi dan ketepatan di dalamnya.
3) memastikan bahwa regulasi tersebut tidak menjerat kita di dalam upaya untuk melakukan perubahan dan inovasi. Jangan sampai kita justru terbelenggu oleh regulasi yang kita bikin sendiri. Seharusnya regulasi itu memberikan kemudahan dan bukan kesulitan untuk implementasi program dan kegiatan. Jangan sampai jika kita membuat juklak, juknis, SOP dan lainnya lalu justru membuat kita terjebak untuk tidak bisa melakukannya atau jika dilakukan akan terjadi pelanggaran.
Dengan demikian, diperlukan suatu evaluasi komprehensif yang melibatkan stakeholder kita sehingga ketika dilakukan evaluasi akan menghasilkan revisi atau perubahan regulasi yang lebih efektif dan effisien untuk menjalankan program atau kegiatan Kemenag.
Ketiga, perlunya membangun transparansi dengan menggunakan aplikasi teknologi informasi. Pada era keterbukaan ini, maka penggunaan TI merupakan kewajiban. Semua produk hukum yang kita hasilkan haruslah dipublish dengan baik. Hanya catatan saya, bahwa jangan hanya menampangkan produk hukumnya saja, akan tetapi juga disertai dengan pendapat bagi implementasinya dari orang yang memiliki otoritas. Di dalam konteks ini tentu ialah Kepala Biro Hukum dan Kerja sama Luar Negeri, sebab secara structural memang cocok dan juga beliau adalah professor di bidang hukum sehingga pendapatnya tentu sangat relevan untuk dijadikan sebagai pedoman.
Dengan melalui perbaikan seperti gambaran ini, tentu akan didapati regulasi yang relevan dan cocok dengan zamannya, selain juga fungsional, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..