SEKALI LAGI INDEKS KORUPSI INDONESIA
Di tengah perseteruan berbagai institusi penegak hukum, KPK dengan Kepolisian, ternyata muncul peringkat baru tentang Indeks Korupsi di Indonesia. Indeks korupsi Indonesia ternyata berada di urutan 111 dari 180 negara di dunia yang disurvei. Memang ada peningkatan indeksnya, yaitu 2,8 di tahun 2009 dibanding dengan 2,6 di tahun 2008. Di dalam hal peringkat tersebut, Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura, Brunei Darus Salam, Malaysia dan Thailand. Meskipun indeks korupsi meningkat, namun ternyata peringkat Indonesia tersebut hanya sejajar dengan beberapa negara miskin lain, yaitu Togo, Solomon Island, Mali, Algeria dan Djibouti. Di kawasan Asia Tenggara, persepsi korupsi Indonesia belum membanggakan. Indonesia berada di urutan kelima, sedangkan Singapura berada di urutan 3 dan Brunei di urutan 35. Indonesia hanya lebih baik sedikit dibandingkan Filipina, Timor Leste, Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar. Indeks Persepsi Korupsi tersebut dibuat berdasarkan survey setahun terakhir yang merupakan gabungan dari 13 polling dan survey yang dilakukan oleh 10 institusi independen. Survey tersebut dilakukan untuk mengukur persepsi korupsi para pejabat publik dan politisi.
Korupsi memang masih menjadi penyakit negeri ini. Bayangkan jika dibandingkan dengan Singapura dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 9,2 maka diperoleh gambaran bahwa Singapura adalah negara yang nyaris tidak ada korupsinya. Sedangkan Indonesia dengan IPK 2,8 maka dapat digambarkan sebagai negara yang nyaris sempurna tingkat korupsinya. Dengan demikian, kenaikan IPK Indonesia tersebut tentunya belum membanggakan, sebab Indonesia masih berkubang korupsi dan peringkat tersebut juga masih sangat rendah. Bisa jadi, bahwa negara-negara lain juga memiliki percepatan pemberantasan korupsi yang dilakukan setahun terakhir.
Memberantas Korupsi memang bukan perkara mudah. Yang bisa melakukannya secara efektif hanyalah RRC. Melalui program yang ekstra ketat dalam pemberantasan korupsi, maka negara ini menjadi negara dengan tingkat korupsi yang tinggi menjadi lebih rendah. Hal itu tidak lain adalah karena komitmen pejabatnya yang sangat tinggi. Hukuman mati bagi koruptor menjadi pemicu utama dalam pemberantasan korupsi. Lagi pula korupsi juga ditangani secara mandiri tanpa dikaitkan dengan politik dan sebagainya. Sedangkan di Indonesia, masih banyak penanganan kasus korupsi yang dikaitkan dengan masalah dukungan politik, familialisme, dan sebagainya. Ada banyak hal, di mana penanganan politik dilakukan untuk politik pencitraan. Bahkan juga ada yang menduga tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi.
Penanganan kasus korupsi memang terkait dengan aparat hukum, bisa polisi, jaksa dan hakim. Namun melalui pemberitaan akhir-akhir ini tentang mafia hukum yang terjadi di Indonesia, maka kita mestilah bertanya: ”apakah reformasi hukum sudah dilakukan di Indonesia”. Memang meskipun samar-samar, kita pernah mendengan tentang Makelar Kasus atau markus yang banyak gentayangan di wilayah pengadilan. Namun melalui pengungkapan kasus ”Buaya” melawan ”Cicak” yang terjadi akhir-akhir ini, maka keberadaan mereka memang benar-benar nyata adanya. Melalui pengakuan Jaksa Agung, maka dapat dianalisis bahwa markus memang ada di dalam lingkungan pengadilan. Meskipun tidak dinyatakan bahwa para markus itu dapat mengatur hasil pengadilan, tetapi melalui commonsense, kiranya dapat dinyatakan bahwa mereka bisa memberikan kontribusi dari proses dan produk persidangan. Sekali lagi memberikan kontribusi, bukan mesti harus menentukan.
Apapun juga artinya, bahwa peringkat korupsi menjadi penting. Yaitu sebagai ukuran keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan pemberantasan korupsi. Makanya, melalui IPK yang masih rendah mestinya menjadi pemicu bagi langkah-langkah konkrit dalam pemberantasan korupsi. Jika tidak ditangani secara serius dalam semua jajaran, maka pemberantasan korupsi juga tidak akan ada artinya.
Oleh karena itu, yang sangat penting adalah bagaimana agar para pejabat publik, para pemuka agama, tokoh mayarakat dan individu yang berurusan dengan relasi keuangan atau lainnya dapat menahan diri dari tindakan koruptif. Jadi sesungguhnya, untuk tindakan korupsi atau tidak korupsi akan sangat tergantung kepada kesadaran individu yang berurusan dengan uang dan barang atau kebijakan yang terkait dengan uang dan barang. Di sinilah arti pentingnya kesadaran tidak melakukan korupsi harus menjadi kesadaran bersama (common conciousness) seluruh masyarakat Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.