• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERKUAT KINERJA DENGAN EMOTIONAL INTELLIGENT (1)

PERKUAT KINERJA DENGAN EMOTIONAL INTELLIGENT (1)
Dewasa ini kita sedang dituntut untuk membangun kinerja secara lebih baik dan berdaya guna. Tidak hanya prosesnya yang baik akan tetapi juga produknya yang bisa berhasil guna. Peningkatan kinerja diharapkan akan mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat dan bahkan bisa mengikat masyarakat untuk terus menggunakan produk kita dan juga mempromosikan produk kita.
Makanya, ada dua konsep penting di era peningkatan kinerja, yaitu kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan.
Sesungguhnya, jika kita menggunakan ukuran kapasitas intelektual untuk menjelaskan mengenai kinerja, maka dapat diketahui bahwa sudah banyak di antara para pekerja kita yang cukup dari sisi pendidikannya. Bahkan jika dikaitkan dengan Aparat Sipil Negara (ASN), maka sebenarnya sudah banyak team kita itu yang memiliki pendidikan memadai. Mayoritas ASN kita sudah berpendidikan setara Strata satu dalam berbagai latar pendidikannya. Artinya, dari sisi pendidikan tentu sudah sangat memadai.
Namun demikian, kemampuan intelektual saja tentu belum cukup untuk menjadikan ASN kita itu bisa bekerja keras dan menghasilkan out put dan outcome yang memadai. Bukan berarti bahwa tidak ada korelasi antara pendidikan dengan kualitas pekerjaan, akan tetapi ada satu hal penting juga untuk dimiliki yaitu yang disebut sebagai emotional intelligent.
Emotional Inteligent diartikan sebagai adaptability, collaboration dan emphaty (ACE). Saya bersyukur bisa membaca resensi tulisan James A. Rande dalam judul bukunya “Unequaled, Tips for Building a Successful Career through Emotional Intelligent” di Majalah Swa (XXXIII, 02-15 Pebruari 2017), yang sempat saya baca di dalam perjalanan dari Jakarta ke Denpasar. Sungguh suatu resensi yang sangat baik di dalam kerangka untuk memahami apa yang seharusnya kita lakukan sebagai pimpinan lembaga, baik institusi birokrasi, pendidikan maupun perusahaan.
Di dalam pengamatan saya, bahwa menjadi pimpinan perusahaan itu tidak cukup orang pintar, tetapi harus orang yang pintar dan benar. Jika pintar disumbangkan oleh kemampuan intelektual, maka benar disumbangkan oleh emotional intelligent. Makanya sering kita dengar bahwa kepintaran saja tidak menjamin seseorang sukses untuk memimpin tetapi harus dibarengi dengan kemampuan emotional yang memadai.
Kepintaran tentu akan menyumbangkan hadirnya inovasi dan kebaruan konsep untuk mengembangkan lembaga, tetapi inovasi yang tidak dibarengi dengan kemampuan untuk mengajak menuju kepada kebersamaan untuk mencapainya tentu juga tidak ada manfaatnya. Kita sering mendengar celotehan “pemimpin yang kesepian” atau lonely leader, karena dia merupakan pemimpin yang berjalan sendiri menelusuri rimba institusi tanpa memperoleh dukungan dari segenap koleganya.
Itulah sebabnya tiga kata: “adaptasi, kolaborasi dan emphati” menjadi penting agar “kepintaran” yang menghasilkan inovasi itu bisa dimanfaatkan untuk membangun kebersamaan di dalam mencapai visi dan misi institusi.
Kita memimpin banyak orang dengan ragam latar belakang kehidupannya: ada kepentingan, orientasi kehidupan, sejarah kehidupan, ambisi, dan seabrek masalah yang dihadapi masing-masing. Kita juga menghadapi manusia dan kebutuhannya yang terus berubah. Kita juga menghadapi zaman yang terus berubah. Maka pimpinan institusi harus selalu melakukan adaptasi kepada lingkungan kita itu. Coba bayangkan bahwa kita menghadapi sejumlah staf yang beraneka latar kehidupannya. Bahkan juga etnik dan agamanya. Ada varian penggolongan sosial dan budayanya dan sebagainya. Itulah sebabnya keberhasilan seorang pemimpin akan sangat ditentukan pada sejauh mana, pemimpin tersebut dapat melakukan adaptasi minimal terhadap mereka itu.
Saya menyatakannya sebagai adaptasi minimal sebab tidak mungkin juga rasanya kita akan melakukan adaptasi maksimal terhadap latar kehidupan seluruh staf yang beraneka ragam. Adaptasi minimal itu saya lihat dari bagaimana kita bisa tersenyum kepada semuanya, bisa berbicara dengan semuanya dan juga mengajaknya untuk membicarakan dirinya di dalam mencapai tujuan kebersamaan. Di dalam Islam, misalnya kita memiliki konsep yang sangat bagus seperti menyebarkan keselamatan, menyenangkan hati orang dan juga menjaga lesan kita kepada orang lain serta saling menolong di dalam kebaikan. Oleh karena itu, mengucapkan kata-kata yang baik, memberikan ucapan selamat kepada mereka dan juga membuat mereka merasa senang dan nyaman merupakan suatu sistem adaptasi minimal di dalam kompleksitas kehidupan staf kita. Jadi harus dikembangkan “friendly management”. Jangan sampai sebagai seorang pemimpin kita menanamkan nuansa yang tidak bersahabat. Jangan sampai staf kita merasa tertekan di dalam pekerjaannya.
Jika kita sebagai seorang pemimpin bisa mengembangkan sikap “menyenangkan kepada staff kita”, maka saya berkeyakinan bahwa kehadiran kita itu akan dianggap ada oleh staf kita. Makanya, perkuat emotional intelligent di dalam memimpin institusi kita agar kebersaman untuk bekerja keras dan cerdas akan dapat diperoleh.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..