MEMILIH PEMIMPIN DI ERA PERUBAHAN (2)
MEMILIH PEMIMPIN DI ERA PERUBAHAN (2)
Drama pilkada DKI Jakarta untuk putaran pertama usai sudah, 15/02/2017. Hiruk pikuk kampanye sudah diketahui hasilnya melalui quick count atau hitungan cepat oleh berbagai lembaga survey pilkada. Tulisan ini tidak akan mengomentari tentang hasil quick count tersebut, siapa mendapatkan persentase berapa, akan tetapi lebih menukik kepada pandangan sosiologis tentang pilkada itu.
Secara sosiologis, masyatakat Jakarta bisa digolongkan sebagai masyarakat metropolitan dengan kehadiran seluruh etnis di dalamnya. Mereka ini telah membentuk suatu system masyarakat perkotaan dengan segala cirinya. Hampir di seluruh dunia, bahwa masyarakat ibukota adalah masyarakat yang plural dan multicultural.
Di dalam penggolongan agama tentu mayoritas adalah muslim dengan varian pengamalan agama yang sangat kentara. Ada sebagian kecil yang sangat taat kepada agamanya dan ada sebagian besar yang sangat permisif dengan agamanya. Mereka bisa disebut sebagai kaum abangan –sebagaimana konsepsi Geertz—sebab mereka beragama Islam tetapi tidak menjalankan ritual prinsipil di dalam Islam, misalnya shalat.
Sebagian kecil lainnya beragama Kristen dan Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Mereka ini terdiri dari kebanyakan adalah kelas menengah ke atas ataupun mungkin ada yang kelas bawah tetapi jumlahnya tentu jauh lebih kecil dibanding yang kelas menengah. Mereka kebanyakan adalah orang yang sadar akan agamanya dan apa kewajibannya sebagai pemeluk agama. Misalnya memberikan berbagai donasi untuk agamanya.
Secara tipologis, maka para pemilih tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, massa ideologis. Mereka tersegmentasi dalam garis demarkasi yang jelas. Ideology ini yang saya maksudkan bukan ideology partai politik—sebagaimana pandangan politik—akan tetapi lebih kepada pandangan agama, etnis dan latar kesukuan. Ketiganya menyatu dalam suatu system pengetahuan yang menghasilkan pilihan politik di dalam pilkada. Segmentasi rigid tersebut misalnya bisa dinyatakan bahwa pemilih Ahok-Jarot pastilah mereka yang beragama Kristen atau Katolik, baik yang berlatar social etnis dalam berbagai variannya dan juga latar kesukuan dalam berbagai variannya. Jika ditelusur lebih jauh, maka perekatnya bukan etnis atau kesukuan akan tetapi agama. Jadi, agama menjadi penjelas paling rasional untuk menentukan pilihan politik.
Kemudian, segmentasi rigid untuk pemilih Anis dan Agus juga dapat dilihat dari penjelasan agama. Dengan dukungan PKS, maka jelas bahwa pemilih Anis-Sandiaga adalah mereka yang memiliki kesadaran agama luar biasa tersebut. Sementara para pemilih Agus-Selvi adalah kaum massa mengambang yang masih menjadikan SBY sebagai patronnya. Namun demikian, kharisma SBY belum bisa dijadikan sebagai ukuran keterpilihan Agus-Selvi. Para pemilih NU dan Muhammadiyah bisa jadi terpilah menjadi dua, ada yang memilih kepada Anis dan juga Agus. Tetapi kiranya Orang Muhammadiyah lebih memilih ke Anis dibandingkan memilih ke Agus.
Kedua, massa non ideologis. Massa non ideologis sering disebut sebagai massa mengambang atau floating mass. Mereka tidak memiliki pilihan khusus. Yang ada adalah pilihan mengambang tergantung kepada siapa yang mengajaknya. Mereka memilih bisa karena perkawanan, persahabatan dan kekeluargaan. Sebagai floating mass maka pilihannya tidak ditentukan oleh ideology apapun. Bahkan mereka juga berkecenderungan untuk menjadi golput. Tingginya angka golput di pilkada ditentukan oleh besar atau kecilnya mereka yang digolongkan sebagai floating mass ini.
Dalam kasus pilkada DKI, saya kira floating mass ini berada di belakang Ahok-Jarot dan Agus-Silvi. Besarnya suara Ahok-Jarot dan suara Agus-Silvi tentu didukung oleh kelompok floating mass. Jika suara Ahok-Jarot menjadi lebih tinggi disebabkan kenyataan bahwa Ahok-Jarot memiliki massa pendukung fanatic atau kelompok ideologis, sementara Agus-Silvi tidak memilikinya.
Dengan demikian, di dalam pilkada atau pilpres sekalipun maka kelompok ideologis itu harus eksis. Keberadaannya tentu sangat menentukan terhadap pilihan politik. Berdasarkan pilkada di beberapa tempat, misalnya di Kota Surabaya, maka kemenangan Risma tentu didasarkan oleh adanya kelompok fanatic atau ideologis PDI-P di Surabaya dan kelompok massa mengambang yang memilihnya. Lalu kasus pilkada di DKI juga menggambarkan hal yang sama. Anis-Sandi dan Ahok-Jarot memiliki massa ideologis berbasis agama dan bukan semata-mata politik, sedangkan Agus-Silvi tidak memilikinya.
Jadi, membangun massa ideologis untuk daerah tertentu ternyata penting di dalam pilkada. Kita harus menunggu siapa yang strateginya lebih unggul dalam memainkan simpati massa dan kemudian memenangkan pertarungan politik di DKI.
Wallahu a’lam bi al shawab.
